Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Nasib Buruh Migran yang Membantu Qatar Mewujudkan Piala Dunia

Foto : Istimewa

Rani, seorang ibu rumah tangga dengan suami yang telah delapan tahun meninggalkan desa untuk bekerja di Qatar.

A   A   A   Pengaturan Font

KATHMANDU - Piala Dunia 2022 hampir berakhir, menandai 12 tahun masa konstruksi mega proyek Qatar. Ratusan buruh migran telah membantu mewujudkan transformasi ajang itu.

Mereka bekerja di lingkungan yang keras dan berbahaya bagi keselamatan. Tapi sekarang bagaimana nasib mereka ?

Adalah Nepal, negara kecil yang selama ini telah mengirim lebih banyak pekerja ke Qatar per kapita daripada negara mana pun.

Pada musim gugur 2022, The New York Times mewancarai hampir tiga lusin pekerja konstruksi asal Nepal di Qatar serta anggota keluarga mereka, untuk mempelajari seperti apa kehidupan mereka sekarang dan masa depan mereka. Sebagian besar telah terlibat proyek konstruksi terkait Piala Dunia, termasuk stadion dan infrastruktur lain yang mendukung ledakan pembangunan Qatar.

Setelah mengalami kondisi eksploitatif atau berbahaya, banyak pekerja mengatakan bahwa mereka tetap terjebak dalam kemiskinan dan hutang, tanpa pilihan selain terus bekerja di luar negeri, apa pun risikonya.

Di provinsi Madhesh, salah satu kawasan pertanian di Nepal, merantau sebagai pekerja migran telah menjadi alternatif selain bercocok tanam. Hidup terpisah telah menjadi budaya bagi sebagian keluarga di sana.

Rani, seorang ibu rumah tangga mengatakan, sang suami telah delapan tahun meninggalkan desa untuk bekerja di Qatar. Ayahnya menderita sakit dan tagihan obat telah membawa keluarga mereka terjerat utang, kondisi yang memaksa suaminya untuk merantau.

"Selama itu dia hanya bisa pulang tiga kali," ujar ibu dari satu anak ini.

Dia mengisahkan, setiap hari suaminya menyempatkan melakukan panggilan video, termasuk untuk menyapa Naida, anak perempuan mereka.

"Biasanya antara 10 sampai 15 menit. Hanya dengan mendengar suara ayahnya Naira bisa tenang dari rewel," ungkap dia.

Suami Rani yang merahasiakan identitas, mengatakan, ia terpaksa menjadi buruh migran meski hidup dalam kondisi yang sulit.

"Ruangan kami tidak nyaman. Mereka mengumpulkan kita seperti ternak," ujarnya menggambarkan bangsal tempat pekerja beristirahat yang penuh sesak.

Dia mengaku sangat rindu dengan keluarga dan ingin pulang ke kampung halaman. Namun setiap mengingat bahwa keluarganya sangat membutuhkan uang yang dikirimkan ke rumah, ia mengurungkan niat itu.

"Dulu rumah kami terbuat dari tanah liat. Setelah lima tahun bekerja, kini keluarga saya bisa tinggal di bangunan yang lebih layak. Saya ingin kerja di sini lima tahun lagi," ujarnya.

Lain lagi, seorang buruh migran, Ganga Bahadur Sunuwar, kini telah kembali ke rumahnya di Kathmandu setelah bertahun-tahun bekerja di sebuah pabrik baja di Qatar, di mana dokter mengatakan dia menderita asma yang parah.

"Dari foto rontgen paru-paru saya, tidak peduli memakai berapa lapis masker, debu tetap masuk. Bahkan di kamar tidur, terkadang saya merasa mau pingsan atau mati," ungkapnya.

Ganga paham bahwa bekerja di luar negeri, yang berarti mengambil lebih banyak utang untuk mendapatkan pekerjaan, dan kemudian memiliki suara terbatas atas kondisi kerjanya, dapat berisiko bagi kesehatannya. Namun terlepas dari kekhawatiran ini, dia serius mempertimbangkannya.

"Bekerja di luar negeri bukanlah pilihan. Kami terpaksa melakukannya," kata pria yang kini bekerja mengangkut galon air mineral di Kathmandu.


Tetap berangkat

Hampir setiap hari pemandangan di bandara internasional utama Nepal di Kathmandu, menampilkan kedatangan peti mati yang membawa jenazah para pekerja migran, terutama dari negara-negara Teluk dan Malaysia. Otoritas bandara mengatakan, rata-rata sskitar tiga peti jenazah tiba setiap hari.

"Sejak 2010, ketika Piala Dunia ditetapkan kepada Qatar, 2.100 orang Nepal telah meninggal di sana karena berbagai sebab," ujar Kementerian Tenaga Kerja Nepal.

Sabin Shrestha, seorang sopir pengantar jenazah mengatakan, tingkat kematian pekerja migran yang tinggi telah membuat ia bepergian ke seluruh penjuru Nepal.

"Saya telah berkunjung ke 72 distrik sejak mulai bekerja. Rasanya berat di hati melihat saudara-saudara sati meninggal seperti ini," tuturnya.

Namun, diperkirakan 2.000 pekerja migran tetap berangkat dari bandara yang sama setiap hari. Terlepas dari kondisi kerja yang melelahkan, seperti panas yang ekstrim di Teluk, banyak yang merasa tidak memiliki pilihan selain memburu kesejahteraan atau terlilit hutang. Mereka terpaksa mempertahankan pekerjaan.

Akibatnya, para remaja laki-laki meninggalkan rumah, dan keluarga menghabiskan waktu bertahun-tahun terpisah dengan mereka. Data menunjukkan, sekitar seperempat dari produk domestik bruto Nepal diperoleh di luar negeri, salah satu persentase tertinggi dari negara mana pun.

"Bagi kami, ini seperti katak yang ingin keluar dengan meloncati tembok tinggi. Bekerja di luar negeri bukan pilihan, kami terpaksa melakukannya," kata Ganga.


Redaktur : Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top