Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Utang I Kemampuan Membayar Utang Makin Menurun

Moratorium Pilihan Terbaik Ringankan APBN

Foto : Sumber: Kemenkeu - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

» Kekurangan pembayaran obligor atas obligasi rekap yang mereka terima seharusnya ditagih.

» Utang korporasi terutama BUMN sangat rawan default karena sumber penerimaan terganggu.

JAKARTA - Publik mulai khawatir penarikan utang terus-menerus bakal menjadi bom waktu di masa mendatang karena akumulasinya meningkat signifikan, terutama pada masa pandemi Covid-19.

Oleh karena itu, pemerintah diminta melakukan moratorium pembayaran bunga obligasi rekapitalisasi (rekap) yang diberikan kepada penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Sekretaris Nasional (Seknas) Fitra, Badiul Hadi, kepada Koran Jakarta, Jumat (19/2), mengatakan obligasi rekap yang digunakan untuk menalangi beberapa korporasi saat krisis moneter 1998 hingga saat ini masih tercatat sebagai utang negara ditambah bunganya yang sudah berbunga. "Utang ini yang terus menggunung dan lama-kelamaan jadi bola salju yang bisa menggelinding dan menjebol keuangan negara," kata Badiul.

Tumpukan utang tersebut kian membengkak saat krisis akibat pandemi Covid-19, karena pemerintah kembali melakukan hal yang sama yaitu menarik utang baru untuk membiayai krisis. Padahal, krisis di masa lalu saja penyelesaiannya belum jelas.

Dana talangan dari obligasi rekap ke beberapa obligor tetap ditanggung negara, sedangkan sebagai konsekuensi dari dana talangan tersebut para obligor menyerahkan aset yang tidak sebanding dengan utangnya. "Recovery rate dari aset yang mereka serahkan rata-rata hanya 32 persen," kata Badiul.

Kondisi tersebut, paparnya, merupakan akar permasalahan dari utang yang selama ini membebani keuangan negara. Sebagai akibatnya, pemerintah terpaksa menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) baru untuk membayar bunga obligasi rekap tersebut setiap tahun.

Selain itu, belanja negara pun masih dibebani kewajiban membayar cicilan utang lainnya setiap tahun. Akibatnya, ruang fiskal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin terbatas untuk membiayai kegiatan produktif dan yang sifatnya untuk kesejahteraan masyarakat.

"Publik pun semakin khawatir penambahan utang yang signifikan pada akhirnya menyebabkan potensi gagal bayar (default) makin tinggi. Pada akhirnya, pemerintah akan mengoptimalkan penerimaan negara dengan menaikkan tarif pajak yang memberatkan masyarakat dan dunia usaha.

Walaupun Indonesia belum pernah default, tetapi makin rawan gagal bayar jika melihat realisasi pendapatan negara yang tidak sesuai dengan target.

Di sisi lain, korporasi pun sangat rawan mengalami gagal bayar seperti perusahaan BUMN yang utangnya sudah menyentuh 1.600 triliun rupiah per September 2020.

"Debt Overhang"

Secara terpisah, Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Brawijaya Malang, Andi Fefta Wijaya, mengatakan pemerintah diharapkan bijaksana dalam menambah utang agar tidak membebani keuangan negara di kemudian hari. "Pemerintah harus ekstra hati-hati untuk menambah pundi-pundi utangnya, karena sudah lampu kuning yang menuju lampu merah," kata Andi.

Moratorium pembayaran bunga obligasi rekap juga perlu dipertimbangkan, sebagai pilihan terbaik untuk meringankan beban pemerintah di masa sulit ini.

Sebelumnya, Pakar Ekonomi dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Bhima Yudhistira, mengatakan kenaikan akumulasi utang yang signifikan menyebabkan kemampuan membayar kembali makin menurun atau debt overhang. Akibatnya, beban bunga memakan ruang fiskal dan memaksa pemerintah sibuk mencari pembiayaan baru terus-menerus.

"Situasi ini menyebabkan utang tidak lagi digunakan sebagai leverage atau untuk mendongkrak ekonomi, tapi masuk sebagai beban," kata Bhima.

Dengan posisi seperti itu, belanja negara yang seharusnya lebih banyak dimanfaatkan untuk kegiatan produktif beralih ke konsumsi untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang.

Selain itu, sektor ekonomi juga mengalami crowding out effect di mana likuiditas tersedot ke pemerintah. "Dalam jangka panjang overhang utang akan mengarah pada pertumbuhan ekonomi yang rendah. Sulit bagi Indonesia jadi negara maju," katanya. n ers/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top