
Moratorium Obligasi Rekap Bisa Selamatkan Rupiah dari Keterpurukan
Bank Indonesia Pertahankan BI Rate 5,75 Persen
Foto: antaraJAKARTA - Kebijakan Presiden Prabowo Subianto untuk melakukan efisiensi anggaran dinilai sudah tepat, terutama agar dana-dana hasil efisiensi itu dimanfaatkan untuk membiayai program-program yang bergunabagi peningkatan kesejahteraan rakyat.
Masalahnya, kebijakan efisiensi itu tidak akan efektif mengejar jumlah utang yang terus meningkat seiring dengan kurs rupiah yang terus melemah dan sudah berada di level terendah yaitu 16.531 per dollar AS pada Rabu (19/3).
Pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko mengatakan rupiah yang terus tertekan itu makin mengkhawatirkan jika tidak ada langkah konkret berupa
kebijakan fiskal dan moneter yang bisa menahan rupiah tidak terperosok lebih dalam.
“Daya tahan BI untuk menahan depresiasi rupiah terbatas. Pemerintah harus mencari tahu sebabnya yaitu kebijakan menalangi bank rekap selama 27 tahun terakhir yang tiap tahun dibayarkan dari APBN. Harus ada moratorium terhadap Obligasi Rekapitalisasi (Obligasi Rekap) BLBI,” kata Aditya.
Menurut Aditya, Obligasi Rekap yang diterbitkan sebagai bagian dari kebijakan penyelamatan perbankan pasca krisis 1998 kini justru menjadi beban berat bagi keuangan negara. Sebab, obligasi tersebut berbunga berbunga, dan kini nilainya sudah mencapai 800 triliun rupiah. Alih-alih masyarakat menikmati manfaatnya, justru bank-bank yang mendapat keuntungan dengan membagikan deviden,” jelasnya.
Sekalipun Presiden sudah bertekad menciptakan APBN yang lebih bersih dan berkualitas, namun tetap harus dibantu oleh Menteri Keuangan untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara pembayaran bunga obligasi rekap, agar APBN lebih sehat karena memiliki ruang fiskal yang lebih fleksibel.
“Ini adalah wewenang Menteri Keuangan Sri Mulyani. Beliau yang memiliki otoritas untuk melakukan moratorium. Kita tidak bisa terus-menerus mensubsidi perbankan sementara fungsi intermediasi mereka tidak berjalan optimal, hanya menguras anggaran,” tegasnya.
Dia pun yakin, jika dilakukan moratorium selama tujuh tahun, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,5 persen bukanlah target yang sulit dicapai. Asalkan, perlindungan terhadap sektor ekonomi strategis dan kebijakan fiskal yang lebih berpihak kepada daya saing nasional.
“Sektor riil harus benar-benar dipelihara, dijaga, diproteksi, didukung dan terutana diberi kepastian hukum,” katanya.
Pemerintah harus melindungi dunia usaha dari berbagai macam pajak siluman yang justru menciptakan ekonomi biaya tinggi dan menyebabkan produk nasional sulit bersaing,” kata Aditya.
Pada kesempatan terpisah, pengamat Kebijakan Publik Fitra, Badiul Hadi mengatakan, kebijakan intervensi BI sepertinya tidak berdampak signifikan pada nilai tukar rupiah. Hal ini ditandai dengan pelemah rupiah yang semakin dalam dan diperparah juga kondisi pasar saham yang sempat jeblok.
“Ini momentum pemerintah dan DPR melakukan evaluasi menyeluruh atas kinerja BI. Agar lebih responsif terhadap kondisi pasar dan global,”tegas Badiul.
Kendati Pemerintah sudah melakukan efisiensi belanja, namun APBN hingga Februari tetap mencatat defisit hingga 31 triliun rupiah karena koreksi penerimaan negara dari sektor pajak mencapai 30,19 persen. Situasi seperti itu mengakibatkan pemerintah sangat bergantung pada penerbitan SBN (surat berharga negara) untuk menutupi pembiayaan. Porsi SBN neto pada Februarai 2025 sebesar 238,8 triliun rupiah atau setara 37,2 persendari APBN.
Potensi hilangnya kontribusi Deviden BUMN karena di ahlikan ke Danantara, berpotensi menyebabkan kekurangan pendapatan sekitar 150 -160 triliun rupiah, dan ini bisa berdampak buruk pada kesehatan fiskal negara.
Realisasi pembiayaan pada Februari 2025 mencapai 224, 3 triliun rupiah atau setara 28,9 persen dari APBN.
Salah satu faktor struktural yang menyebabkan utang pemerintah membengkak adalah warisan obligasi rekapitulasi perbankan pasca krisis 1998, setidaknya dalam 27 tahun terakhir, pemerintah harus menanggung bunga berbunga dari obligasi rekap. Dan ini menjadi tekanan serius bagi anggaran negara. Dampaknya ruang fiskal semakin sempit dan memperberat upaya stabilisasi ekonomi.
Pelemahan rupiah tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi ekonomi global seperti kebijakan moneter AS, tetapi juga dari masalah fundamentaldalam perekonomian Indonesia. Pemerintah perlu menyeimbangkan strategi antara menjaga stabilitas rupiah, memperkuat fundamental ekonomi, dan mengelola beban utang secara lebih efektif.
“Dengan strategi dan kebijakan moneter serta fiskal yang dilakukan saat ini, tidak akan efektif menstabilkan perekonomian Indonesia,”pungkasnya.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Polresta Pontianak siapkan 7 posko pengamanan Idul Fitri
- 2 Awak Bus di Purwokerto Cek Kesehatan Jelang Angkutan Mudik Lebaran
- 3 TNBTS menyangkal pelarangan drone berkaitan dengan ladang ganja
- 4 Polda Sulawesi Barat Menggelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis kepada Masyarakat
- 5 Rupiah Tak Kuasa Hadapi Tekanan Bertubi-tubi, Simak Prosyeksinya