Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Pengelolaan Utang

Moratorium Bunga Obligasi Rekap BLBI Kunci Hindari "Debt Trap"

Foto : KORAN JAKARTA/WACHYU AP

BEBANI ANGGARAN I Petugas teller menghitung uang rupiah di counter salah satu kantor cabang Bank Mandiri, Jakarta, beberapa waktu lalu. Bunga obligasi rekap BLBI yang terus bunga berbunga makin membebani anggaran.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Upaya pemerintah menarik pinjaman untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membengkak akan menimbulkan akumulasi penumpukan utang dalam beberapa puluh tahun ke depan, jika tidak diikuti dengan strategi pengelolaan utang yang tepat.

Akumulasi tersebut berpotensi mengantar pengelolaan keuangan negara menjadi jebakan utang yang dalam, kalau tidak ada keberanian untuk memangkas atau moratorium bunga obligasi rekapitalisasi dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang bunga berbunga yang menyedot sekitar 17-44 persen belanja APBN tiap tahunnya.

Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), Badiul Hadi, kepada Koran Jakarta, Senin (7/9), mengatakan sumber mendasar yang berdampak pada kerusakan sistemik fiskal keuangan negara karena selama 22 tahun bunga berbunga dari obligasi rekap BLBI.

Hingga saat ini, jika dikumulatifkan bunga dari Obligasi Rekap Bank Indonesia (BLBI) telah menyentuh angka 4.000 triliun rupiah dan akan terus bertambah sampai masa jatuh tempo pada 2043.

Guna mencegah menumpuknya utang akibat dosa masa lampau tersebut, sudah seharusnya pemerintah berani mengambil kebijakan dengan melakukan moratorium bunga utang BLBI, sebab itu dimungkinkan saat semua negara mengalami kesulitan pembiayaan utang akibat dampak pandemi Covid-19.

Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) sendiri pernah mengimbau negara-negara kreditor untuk memberi keringanan kepada negara-negara yang kesulitan membayar utangnya yang jatuh tempo karena dananya habis dibelanjakan untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri akibat wabah.

"Pemerintah bisa melihat kembali perjanjian kala itu dan meninjaunya kembali. Namun, saya lebih konsen untuk mendorong pemerintah melakukan moratorium," kata Hadi.

Jika pemerintah mau melakukan moratorium, setidaknya tidak akan kembali menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan jumlah yang sangat fantastis, sehingga memaksa Bank Indonesia (BI) menjadi pembeli siaga (stand by buyer) akibat investor sudah jenuh dengan menggunungnya (melimpah) surat utang tersebut di pasar.

Picu Inflasi

Lebih lanjut, Hadi mengatakan penerbitan SBN yang masif itu mendorong lahirnya kebijakan burden sharing atau berbagi beban antara pemerintah dan BI, namun secara tidak langsung yang terjadi adalah meningkatnya uang beredar senilai obligasi yang diserap oleh bank sentral. Pencetakan uang secara tidak langsung itu akan menyebabkan rupiah terdilusi secara masif.

Kebijakan tersebut jika tidak dilakukan secara hati-hati, otomatis berpotensi menyebabkan inflasi (kenaikan harga) yang turut berimbas pada meningkatnya utang luar negeri Indonesia.

"Sudah pasti kalau BI terus mencetak uang, ini akan terjadi inflasi, dan mengganggu stabilitas perekonomian, terutama daya beli masyarakat," jelas Hadi.

Dengan akumulasi utang baru ditambah beban bunga utang obligasi rekap semakin membuat negara sulit keluar dari jebakan utang atau debt trap yang semakin dalam.

Dia mengimbau agar pemerintah lebih hati-hati mengambil kebijakan agar kesalahan di masa lampau dalam menangani krisis tidak terulang saat ini, terutama dalam memulihkan ekonomi akibat Covid-19.

Seperti diketahui, Menteri Keuangan, Sri Mulyani, memastikan BI akan menjadi pembeli siaga (SBN) di pasar perdana hingga 2022 mendatang melalui mekanisme burden sharing guna menanggulangi beban defisit anggaran karena penerimaan negara belum pulih, sedangkan belanja meningkat.

Sementara itu, Pakar ekonomi dari Universitas Surabaya, Bambang Budiarto, mengatakan utang Indonesia saat ini memang berat, karena akumulasi dari beberapa rezim yang tidak pernah diupayakan penyelesaiannya, khususnya BLBI.

"Secara politik bisa, kebijakan ini bisa dijadikan alat meruntuhkan lawan politik. Namun, rakyat sebenarnya tidak butuh perdebatan tentang itu, tapi lebih butuh alternatif solusi atas utang ini," kata Bambang.

Pemerintah, tambah Bambang, perlu melakukan simulasi langkah-langkah strategis termasuk moratorium, meminta pengampunan utang sehingga otomatis dianggap lunas. Kebijakan tersebut tentu akan meringankan langkah pemerintah untuk memulihkan perekonomian dari kontraksi akibat wabah. uyo/SB/E-9


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Djati Waluyo, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top