Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Hari Air Dunia - Air Memiliki Daya untuk Sejahterakan Masyarakat

Momentum untuk Lebih Menghargai Air

Foto : KORAN JAKARTA/Muhaimin A Untung

Tidak Terawat - Kondisi Waduk Setiabudi Barat, Jakarta, Kamis (22/3). Waduk tidak terawat dengan baik dan tercemar air limbah yang mengeluarkan bau tidak sedap ke lingkungan sekitar. Pencemaran dari industri yang tidak bisa didaur ulang berpotensi meracuni masyarakat.

A   A   A   Pengaturan Font

>>Alam sudah memberikan hujan, tapi ini disia-siakan, hanya menimbulkan banjir.

>>Kebijakan koreksi yang hanya tambal sulam tidak bisa menyelesaikan masalah.

JAKARTA - Peringatan Hari Air Dunia setiap tanggal 22 Maret mesti menjadi momentum untuk lebih menghargai air sebagai zat utama bagi kehidupan manusia. Saat ini, sekitar 2,1 miliar dari tujuh miliar penduduk dunia kekurangan air bersih, sehingga mengganggu kesehatan, pendidikan, dan kehidupan mereka.

Oleh karena itu, butuh kepedulian bersama dan langkah konkret yang komprehensif dari semua pemangku kepentingan, terutama pemerintah, untuk membenahi pasokan air bersih bagi masyarakat. Tanpa peran nyata pemerintah sebagai pembuat kebijakan, hal itu sulit diwujudkan.

Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sigit Supadmo Arif, mengatakan hampir di semua kota besar dunia ketiga mengabaikan pengeloaan air. Setiap kali hujan, terjadi banjir, tapi jika kemarau sebentar saja pasokan air bagi warga sulit. Hal itu terutama disebabkan oleh lemahnya negara dalam mengatur air dari hulu sampai hilir.

Di hulu, resapan berganti beton, sampah dibiarkan menumpuk di sepanjang sungai. Akibatnya, jika hujan sebentar saja warga di hilir terancam banjir dan di hulu terancam longsor. "Semua mengatur dirinya sendiri.

Negara tidak tegas, masyarakat juga pragmatis. Air bersih diambil dari sumur dalam, limbah dan sampah dibuang ke sungai," kata dia, saat dihubungi, Kamis (22/3).

Menurut Sigit, upaya memenuhi pasokan air bagi masyarakat harus diikuti penegakan hukum bagi warga atau institusi bisnis yang melanggar undang-undang dan peraturandaerah tentang pemanfaatan air. "Kebijakan koreksi yang hanya tambal sulam tidak bisa menyelesaikan masalah."

Sebab, lanjut dia, tantangan untuk menyediakan air bersih sangat kompleks. Banyak limbah sulit teruraikan, terutama dari sampah plastik. Ditambah lagi dengan pencemaran dari industri yang tidak bisa didaur ulang, sehingga meracuni masyarakat.

"Kita meracuni diri sendiri dengan air yang tidak sehat. Padahal, 60 persen tubuh kita berupa cairan. Zat kehidupan manusia," papar Sigit. Dia juga mengungkapkan ketersediaan air bersih menentukan kesehatan balita.

Di samping itu, air sebenarnya memiliki daya untuk kesejahteraan rakyat. Bisa untuk tanaman holtikultura, pangan, dan pertanian. "Jadi, air yang berlimbah pengaruhi produksi pangan," tukas Sigit.

Oleh karena itu, Sustainable Development Goal 6 berkomitmen agar dunia memastikan setiap orang memiliki akses terhadap air yang aman pada 2030, dan menyertakan target untuk melindungi lingkungan hidup dan mengurangi polusi.

Penurunan Tanah

Mengenai pengelolaan air di Jakarta, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Puput TD Putra, mengatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus serius menangani air perkotaan.

Saat ini, PD PAM Jaya hanya memenuhi separo kebutuhan air bersih rumah tangga, sehingga 50 persen warga Jakarta lainnya memanfaatkan air tanah dengan menyedot air lewat sumur secara masif untuk keperluan sehari-hari. Hal ini mengakibatkan penurunan permukaan tanah yang signifikan, mencapai 7-10 sentimeter per tahun, yang bisa berakibat bencana.

Jakarta tenggelam lebih cepat dari perkiraan, bukan karena air laut rob, melainkan karena penurunan permukaan tanah. "Jika ini terus didiamkan, Jakarta bisa jadi kota mati ditinggalkan warga. Karena sudah tidak ada resapan air. Permukaan tanah turun.

Jika tata kota yang baik tidak dijalankan maka ujung-ujungnya tenggelam dan jadi kota mati," ujar Puput. Dia mencontohkan, Ankor Wat di Kamboja menjadi sejarah kota tenggelam karena mengabaikan lingkungan hidup.

Jika manusia sudah tidak menghormati alam maka mereka tidak memelihara hidupnya sendiri. Hal ini bisa terjadi di Jakarta, jika warganya menyia-nyiakan kualitas lingkungan hidup.

"Alih fungsi RTH (Ruang Terbuka Hijau) menjadi bangunan dan beton bisa mengancam hidup sendiri, karena lingkungan sendiri dirusak.

Jika RTH tertutup beton, bagaimana bisa ada resapan," ungkap dia. Padahal, RTH ini sudah tertata dengan baik dalam Perda Rencana Detail Tata Ruang, tapi ruang terbuka hijau dialihfungsikan. Mengingat bahaya tersebut, kata Puput, makanya Gubernur DKI, Anies Baswedan, serius menangani masalah ini.

Menurut dia, air PAM terbatas karena hulunya tidak dirawat sehingga air hujan tidak bisa dimanfaatkan. "Padahal alam sudah memberikan hujan yang cukup, tapi ini disia-siakan sehingga hanya menimbulkan banjir." YK/pin/WP

Penulis : Eko S, Peri Irawan

Komentar

Komentar
()

Top