Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis
Pembangunan Pertanian I Indonesia Terancam Krisis Jumlah Petani

Mesti Utamakan Kebijakan untuk Sejahterakan Petani

Foto : Sumber: BPS – Litbang KJ/and - KJ/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

>> Masalah kesejahteraan membuat generasi muda tidak tertarik terjun di sektor pertanian.

>> Investasi potensial untuk cetak pertumbuhan tinggi adalah sektor pertanian atau pangan.

JAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan tanpa memprioritaskan kebijakan untuk menyejahterakan petani nasional, maka mustahil sektor pertanian dan pangan Indonesia akan maju, serta menjadi target investasi skala besar.

Apalagi, saat ini Indonesia dinilai sudah krisis petani karena jumlah petani yang makin menyusut. Generasi muda petani pun enggan bercocok tanam karena bekerja menjadi petani tidak menguntungkan.

"Hal itu disebabkan biaya produksi pertanian selalu meningkat sementara margin yang dinikmati petani terlalu kecil, sehingga tidak cukup untuk membiayai musim tanam baru," ungkap pakar pertanian, Ramdan Hidayat, ketika dihubungi, Kamis (21/11).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada Agustus 2019, penduduk yang bekerja pada pertanian, kehutanan, perikanan sebanyak 34,58 juta orang, atau turun 1,12 juta orang (1,46 persen) dibandingkan Agustus 2018. Sedangkan dalam lima tahun terakhir jumlah pekerja di sektor pertanian turun dari 33 persen menjadi 29 persen dari total penduduk bekerja.

Menanggapi hal itu, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), Arif Satria, memprediksi Indonesia mengalami krisis jumlah petani dalam 10-15 tahun mendatang. Untuk itu, regenerasi sektor pertanian kepada kaum milenial mesti menjadi perhatian serius.

Menurut Arif, kondisi tersebut tidak terlepas dari karakter demografi petani di Indonesia. "Rata-rata petani di Indonesia berumur 47 tahun. Petani Indonesia akan menjadi krisis pada 10-15 tahun mendatang," kata dia, pekan lalu.

Ramdan menambahkan peran sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sekitar 12-13 persen, namun kontribusi sektor itu terhadap kesempatan kerja di kisaran 30 persen. Maka, yang sebenarnya terjadi adalah krisis kesejahteraan petani karena pendapatan yang hanya 12 persen harus dibagi di antara 30 persen pekerja.

"Masalah kesejahteraan inilah yang membuat generasi muda tidak tertarik pada pertanian. Karena itu, regenerasi petani menjadi sangat lambat atau hampir tidak ada," jelas Ramdan.

Menurut dia, selama ini keberpihakan pemerintah pada masyarakat petani di grass root masih setengah-setengah. "Presiden dan menteri bilang iya, tapi di tingkat daerah dan dinas-dinas berbeda lagi. Apalagi di mata rantai perdagangan petani tidak punya bargaining," tukas Ramdan yang juga Guru besar pertanian dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jawa Timur, Surabaya itu.

Meskipun ada kenaikan harga di pasar, lanjut dia, petani tidak ikut menikmatinya. Sebab, berapa pun tingkat harga, petani tetap yang high risk, tidak dapat nilai tambah.

Sebelumnya dikabarkan, Indonesia perlu melakukan perubahan struktural agar mampu mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi, rata-rata tujuh persen per tahun, sehingga bisa mengejar target Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar tujuh trilliun dollar AS pada 2045.

Perubahan struktural yang dimaksud adalah menjadikan sektor investasi skala besar dan ekspor sebagai motor utama pertumbuhan ekonomi tinggi. Target investasi yang dinilai paling potensial untuk mewujudkan pertumbuhan itu adalah sektor pertanian atau pangan.

Ubah Orientasi

Ekonom Senior CORE Indonesia, Dwi Andreas Santosa, mengatakan pemerintah perlu memperbaiki orientasi sistem pertanian agar dapat mendukung pertumbuhan ekonomi tinggi. Menurut dia, melalui reformasi kebijakan di sektor pertanian secara serius, pemerintah dapat memulai dengan mengubah orientasi saat ini, yang lebih condong meningkatkan produksi dahulu baru kesejahteraan akan mengikuti.

Dwi mengatakan konsep seperti itu perlu diperbaiki karena seharusnya orientasi kebijakan pertanian dan pangan harus ke arah kesejahteraan petani dahulu dibandingkan dengan kuantitas produksi. "Karena jika petani itu sejahtera maka produksi akan mengikuti dengan sendirinya," ujar dia, Rabu (20/11).

Dwi menjelaskan apabila kesejahteraan petani meningkat maka orang yang bergerak di bidang pertanian akan menjadi daya tarik bagi penduduk lain untuk ikut terjun di sektor pertanian. Hal tersebutlah yang akan menjadi faktor pendorong produksi, jika jumlah petani bertambah maka produksi pertanian akan meningkat. "Anak-anak muda akan lebih tertarik berada di sektor pertanian kalo sektor pertanian tersebut menjanjikan kesejahteraan," ujar dia. SB/uyo/WP

Penulis : Selocahyo Basoeki Utomo S, Djati Waluyo

Komentar

Komentar
()

Top