Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Meski Telah Diturunkan OJK, Bunga Pinjol Masih Mencekik

Foto : istimewa

pinjol

A   A   A   Pengaturan Font

Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja meluncurkan aturan bunga untuk fintechpeer-to-peerlending menjadi 0,3 persen per hari sejak Januari 2024 lalu. Bunga tersebut juga direncanakan akan menurun menjadi 0,2 persen pada 2025, dan tahun seterusnya menjadi 0,1 persen.

Bukan hanya bunga saja, Denda keterlambatan untuk pendanaan pun menurun menjadi 0,1 persen pada 2024. Untuk selanjutnya akan turun lagi menjadi 0,067 persen.

Penurunan bunga terhadap fintechlendingini tentunya diharapkan dapat memberikan kemudahan bagi masyarakat. Pasalnya, selama ini banyak tragedi yang menghampiri masyarakat ketika gagal bayar ketika meminjam pinjol (pinjaman online) karena bunga yang begitu besar.

Tragedi pun baru saja terjadi pada Minggu (10/03), di mana empat orang dalam sekeluarga memilih bunuh diri di Penjaringan, Jakarta Utara. Motifnya pun diduga karena tak sanggup membayar pinjaman online (pinjol). Namun saat ini kasusnya pun masih ditelusuri lebih dalam oleh kepolisian setempat.

Tak hanya keluarga di Penjaringan, beragam cerita tentang bunga ini juga dialami oleh beberapa korban pinjol. Salah dua di antaranya, ialah Hamzah Supriatna (31), warga kawasan Jati Asih, Bojongsari, Bekasi. Lelaki yang mengenal pinjol dari iklan di media sosial mengaku menggunakan pinjol karena desakan ekonomi pada 2023 lalu.

Saat itu, pada 2022 Hamzah terkena sakit lambung akut dan harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama satu bulan, hingga akhirnya memutuskan resign dari pekerjaannya di Pasar Bangunan, Bekasi. Keuangan keluarga pun terasa pas-pasan, karena hanya istrinya yang bekerja.

Awalnya Hamzah pakai pinjol dari legal dan diawasi OJK. Namun setelah berhenti bekerja, kewajiban bayar utang pinjol makin seret, hingga akhirnya dia berusaha bangkit dan memutuskan berwirausaha kuliner dengan menjual jajanan takoyaki. Tentu saja dia butuh modal usaha untuk buka gerai kulinernya.

"Kan gaji istri habis buat bayar cicilan dan kebutuhan rumah, makanya saya pakai pinjol buat modal usaha. Ternyata aplikasi ini bunganya lumayan tinggi. Belum lagi ketika saya tak bisa bayar akan kena denda, per hari 50 ribu. Jika telat seminggu, dendanya tambah 30 ribu. Jadi bunga berbunga gitu," ujar Hamzah saat mengisahkan pengalamannya terjerat pinjol.

Hamzah menjelaskan, sebenarnya dia menggunakan aplikasi paylater untuk membeli barang dagangan yang nilainya tak terlalu besar. "Paling sekitar 500 ribu rupiah hingga 1 juta rupiah. Tapi kalau kita telat bayar kita terkena denda harian. Kalau masih belum bisa bayar juga, kena denda lagi. Terus saja (denda) berjalan, sampai kita bisa membayar cicilan pokok utang dan bunga, baru bunga disetop. Tapi kalau enggak bisa bayar, ya terus saja itu bunga dan dendanya berjalan," katanya.

Tidak hanya Hamzah yang mengalami hal serupa korban pinjol lainnya adalah Emilia Leander (44). Ketika ditemui di rumah kontrakannya, di kawasan Pancoran Mas, Depok, Jawa Barat pada Jumat, dengan nada getir, Lia, sapaan akrabnya menceritakan kisahnya terjerat pinjol.

"Saya pinjam 1,6 juta rupiah, dicairkan hanya 1,1 juta rupiah. Setiap minggu saya harus membayar 600 ribu rupiah, dan ini harus terus dibayar selama pokok utang yang 1,6 juta rupiah belum lunas. Nah, di sini yang bikin saya stres setelah hutang tak kunjung lunas. Sayaditeleponinterus, dimaki-maki, bahasanya kasar banget. Sampai saya takut," cerita Lia.

Tidak hanya meneror dengan bahasa yang kasar, kata Lia, dia juga dipermalukan ketika fotonya sedang memegang KTP saat meminjam disebar ke semua nomor telepon yang ada di daftar kontak ponselnya.

"Di foto itu ada tulisan 'Dicari Buronan Pemakan Uang Perusahaan Saya.' Begitu. Itu beneran bikin malu. Mana suamienggaktahu kalau saya kena pinjol. Akhirnya saya kabur dari rumah, kabur ke Karawang, tidur di stasiun kereta. Saya takut kalau debt collector datang ke rumah," ceritanya dengan nada lirih.

Lia yang sempat menghilang selama beberapa hari, akhirnya kembali pulang setelah mendapat dukungan dari suami dan teman-teman. "Akhirnya suami jual motor buat melunasi hutang pinjol saya, ada juga teman yang transfer uang buat ongkos pulang," kenang Lia.

Baik Hamzah dan Lia, keduanya memilih aplikasi pinjaman online karena terdesak keadaan. Mereka pun meminjam di aplikasi yang sudah diakui oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan), namun mereka tidak terlalu memahami tentang bunga yang tercantum dan bagaimana cara kerja bunga yang diatur.

Menurut pengakuan mereka, bunga-bunga yang diberikan oleh pinjol begitu besar sehingga mereka pun selama ini hanya membayar bunga bukan nominal pinjaman utama. Belum lagi prosesdebt collectoryang meresahkan, membuat mereka perlu gali lubang tutup lubang untuk bisa rutin membayar.

Padahal mengutip FAQ yang dimiliki OJK tertulis bahwa "Biaya pinjaman (bunga) di Fintech Lending dapat dibandingkan dengan bunga pinjaman di tempat lain (bisa lebih tinggi atau lebih rendah). Perjanjian di Fintech Lending adalah perjanjian perdata antara pemberi dan penerima pinjaman. Apabila tidak sepakat dengan besarnya bunga (biaya pinjaman), sebaiknya tidak melakukan transaksi.

Tetapi apabila sudah sepakat, maka ada kewajiban dari masing-masing pihak. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) telah mengatur dalamcode of conductAFPI bahwa jumlah total biaya pinjaman tidak melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari.

Juga adanya ketentuan bahwa jumlah total biaya, biaya keterlambatan, dan seluruh biaya lain maksimum 100 persen dari nilai prinsipal pinjaman. Contohnya, bila pinjam 1 juta rupiah, maka maksimum jumlah yang dikembalikan adalah 2 juta rupiah."

Sistem Ilegal yang Menjeratkan

Meskipun OJK menurunkan bunga, namun tidak menutup celah berkurangnya kecurangan pinjol, khususnya pinjol ilegal. Bahkan masih ada yang semena-mena melakukan transfer, tanpa adanya persetujuan peminjaman.

Hal ini pun dialami oleh Veri AFI. Alumni Akademi Fantasi Indonesia ini mengungkapkan bahwa dirinya menjadi korban pinjol ilegal, di mana dia mendapatkan sejumlah uang yang ditransfer ke rekeningnya. Namun, dia tidak pernah sama sekali meminjam di aplikasi tersebut.

"Saya pernah install beberapa aplikasi pinjol untuk dipelajari, niatnya buat jaga-jaga jika nanti butuh tambahan modal usaha. Saya tidak tahu mana yang legal dan mana yang ilegal, dan apa bahayanya pinjol ilegal selain bunga yang tinggi," Tutur Veri AFI melalui siaran pers beberapa waktu lalu.

Veri mengakui bahwa dirinya masih belum terlalu tahu seluk beluk fintech. Berbekal rasa ingin tahu, dia kemudian melakukan registrasi mulai dari mendaftarkan KTP, mengunggahselfie, hingga berbagi kontak dalam aplikasi. Setelah berhasil, dia kaget dengan melihat bunga yang begitu tinggi dengan tenor hanya 7 hari. Dia pun urung mengambil langkah untuk meminjam uangnya.

Namun pada Desember 2023 lalu, tiba-tiba Veri ditagihdebt collector, dia pun heran dan kaget karena merasa tidak pernah meminjam uang dari pinjol. Bahkan tidak pernah memberikan tanda tangan di aplikasinya. Dia pun menelusuri mutasi rekening, dan ternyata oknum pinjol ilegal tersebut memang betul memberikan sejumlah uang ke Veri.

"Padahal saya saja baru sekali klik (masuk aplikasi) kok bisa langsung ada catatan pinjaman? Artinya saat saya pertama klik masuk ke aplikasi langsung di situ sistemnya seperti otomatis memasukkan data pinjaman," ujar Veri AFI.

Veri pun berusaha untuk melunasi hingga merugi puluhan juta rupiah. Dia pun menghapus semua aplikasi pinjaman online karena Veri merasa bahwa sistem pinjol sudah merekam data sejak install aplikasi.

Namun, kasusnya tak hanya Veri saja yang tak sengaja menjadi korban pinjol ilegal. Beberapa korban lainnya juga merasakan kerugian sejak meminjam uang di pinjol, terutama menghadapi inkonsistensi bunganya.

Nah, jika begini, apakah pinjol yang meski telah "berizin dan diawasi" OJK sudah tertib dalam melaksanakan aturan bunga yang ditetapkan?


Redaktur : Aloysius Widiyatmaka
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top