Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Kesenjangan Ekonomi

Meski IPM Tinggi, Kemiskinan DIY di Atas Rerata Nasional

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

YOGYAKARTA - Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) tahun lalu menempati peringkat tertinggi setelah DKI Jakarta. Sayangnya, capaian tersebut tak disertai dengan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang ditandai dengan tingkat kemiskinan DIY berada di level 11,81 persen, di atas rerata nasional sebesar 9,66 persen.

Wakil Gubernur DIY, Sri Paku Alam X mengungkapkan tingkat kemiskinan tertinggi terjadi di di Kabupaten Kulon Progo dan Gunungkidul. Pendapatan per kapita masyarakat Gunungkidul dan Kulon Progo di tingkat terendah dibanding kabupaten/ kota lainnya.

Paku Alam menyebutkan tingkat kemiskinan di Kulon Progo turun seiring dengn loncatan pertumbuhan ekonomi di kabupaten tersebut. Pemerintah Provinsi DIY mencatat tingkat kemiskinan di Kulon Progo pada 2018 berada di level 18,30 persen, turun dibandingkan catatan pada 2017 sebesar 20,03 persen.

Penurunan tersebut sebagai dampak dari perbaikan ekonomi di Kulon Progo. "Yang membanggakan saat ini adalah terjadinya loncatan pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Kulon Progo menjadi 10,62 persen pada 2018 dari 5,97 persen pada 2017," ujar Paku Alam saat memimpin rapat Koordinasi Tim Penanggulangan Kemiskinan (TKPD) DIY di Yogyakarta, Rabu (10/7).

Ketidaksinkronan antara peningkatkan IPM dan penurunan angka kemiskinan tersebut disebabkan program yang tak tepat sasaran dan data yang tak valid. Kepala Bappeda DIY, Budi Wibowo menjelaskan beberapa permasalahan yang dihadapi DIY dalam penurunan kemiskinan karena terjadinya inclusion error yaitu kesalahan sasaran penerimaan program kepada masyarakat yang sebenarnya tidak berhak tetapi menerima. Penyebab lainnya adalah exclusion error, yaitu kesalahan yang terjadi karena orang yang seharusnya menjadi sasaran program pengentasan kemiskinan namun kenyataannya malah tidak menerima.

Terkendala Data

Menurut Budi, permasalahan tersebut dipicu oleh ketidaksesuaian data, perubahan kondisi masyarakatyang sebelumnya miskin menjadi tidak miskin, atau sebaliknya, serta tidak maksimalnya proses verifikasi dan validasi.

Untuk itu, lanjut Budi, diperlukan proses verifikasi ulang sesuai aturan yang berlaku guna menghindari inclusion dan exclusion error. "Verifikasi harus sesuai Permensos No 28 tahun 2017 tentang Pedoman Umum Verifikasi dan Validasi Data Terpadu Penanganan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu," katanya.

Tak hanya itu, Wakil Gubernur DIY menilai dibutuhkan strategi untuk menyeimbangkan pertumbuhan antar kabupaten/ kota.

Karenanya, menurut Paku Alam, diperlukan pemikiran tentang parameter tersendiri, termasuk local indicator untuk menghitung angka kemiskinan yang disesuaikan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Tahun 2022. YK/E-10


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top