Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
In Between

Merajut Keabadian dengan Seni Sulam

Foto : foto-foto: koran jakarta/eko sugiarto putro

Kristi Harjoseputro (tengah) saat memberikan pembelajaran pada sejumlah ibu terkait keterampilan menyulam benang yang diaplikasikan pada selembar kain. Menyulam merupakan seni merajut benang yang sudah ada sejak zaman Byzantium pada 330 Masehi.

A   A   A   Pengaturan Font

Bersamaan dengan peringatan 100 tahun Bangunan Heritage Hotel Phoenix Yogya, komunitas Seven Needles bekerjasama dengan Tirana Art Management menyelenggarakan pameran kristik dan sulam bertajuk In Between, pekan lalu, di hotel tertua di Yogya itu.

Seven Needles adalah komunitas ibu-ibu dan anak muda yang tekun merawat keterampilan seni kristik dan sulam.

Sungguh, menyaksikan pameran itu membawa rasa romantisme masa lalu saat nenek kita di bawah lampu temaram dengan tekun menarikan jarum dan benang di lembar pola. Ya, setiap hari selama pameran itu, sejumlah ibu dan nenek-nenek, terlihat asyik menyulamkan benang berwarna-warni sambil bercengkerama.

Bernie Liem, pemilik pertama Hotel Phoenix, kepada Koran Jakarta pada akhir pekan lalu di area pameran menceritakan kenangannya 50 tahun silam. Itu adalah era di mana kaum wanita termasuk Bernie, wajib menguasai seni sulam sebelum beranjak dewasa dan harus berumah tangga.

"Pada zaman itu keterampilan menjahit dan menyulam tangan adalah salah satu kriteria dari seorang wanita yang sudah siap berumah tangga," katanya.

Menurut Bernie, ketekunan para ibu yang dengan sabar senantiasa mau membimbing putri-putrinyalah yang membuat sulam akhirnya mudah dikuasai. Dan yang terpenting, passion atau gairah akan keterampilan dengan jarum dan benang itu bisa tertularkan.

"Kalau sudah ada passion maka akan bisa merasakan elemen relaksasi dari sulam, yang rasanya menenangkan kalbu dan dan pikiran setelah seharian beraktivitas baik di rumah maupun di lingkungan kerja atau kantor," jelasnya.

Maka Bernie merasa senang diundang dalam pameran ini, sehingga bisa menikmati bangunan heritage dengan apa yang disebutnya sebagai Saujana, indah lestari hingga saat ini. Dan sulam, menurut Bernie menawarkan gairah tertentu untuk menghasilkan suatu karya yang indah, yang "abadi" karena bisa dinikmati atau dibanggakan oleh anak cucu kita kelak.

Bernie berharap, terselenggaranya pameran Seven Needles, kaum muda milenial bisa ikut menikmati karya seni sulam. Dan tak hanya menikmati dengan memandang karya-karya ini, tetapi akhirnya tergugahlah hati setiap pemirsa pameran ini untuk ikut melestarikan seni bordir tangan, yang sungguh amat positif karena didalamnya terkandung elemen relaksasi, healing, dan passion akan karya yang abadi.

Mengajarkan Sabar dan Teliti

Seven Needles Yogya didirikan oleh Kristi Harjoseputro bersama beberapa teman sebayanya. Ia adalah seorang perempuan kelahiran 25 Desember 1956 keturunan Belanda-Solo yang sejak kecil sudah diajarkan menyulam oleh ibunya.

Kecintaannya membuat Kristie bisa bercerita panjang mengenai sejarah dan teknik sulam. Di sela-sela workshop pada akhir pekan lalu, Kristie bercerita bahwa sulam telah ada sejak zaman Byzantium pada 330 Masehi sampai abad ke-15.

"Dulu sulam ini keterampilan milik istana karena dipadu dengan emas. Kalau sekarang kan dekorasi di atas kain tanpa paduan emas. Alat bantunya jarum dan benang," katanya.

Kristie merasa sangat trenyuh kalau sampai sulam tak lagi dikenal oleh anak-anak muda hari ini karena dianggap kuno dan jauh dari semangat kekinian yang serba cepat. Padahal, dalam kelambatan dan kerumitan tekniknya, sulam mengajarkan cara hidup yang penting yakni sabar, tekun, dan teliti.

Tidak seperti budaya sekarang yang serba instan, untuk menyelesaikan satu desain sulaman memang membutuhkan ketekunan dan kesabaran luar biasa.

Banyak kenangan dari kecintaan Kristie pada seni sulam. Mulai dari jari tertusuk jarum sampai membongkar lagi hasil sulaman karena ada jahitan salah atau karena warnanya kurang bagus.

Tapi yang paling ia kenang adalah saat benang yang sudah terpilin dalam sulaman dirusak oleh anjing kesayangannya. Saat itu, Kristi akan mengerjakan pesanan sulam. Seperti biasa, ia mempersiapkan peralatan dan perlengkapannya terlebih dahulu, seperti kain, pola, jarum, dan benang. "Saya tinggal sebentar, benang-benangnya sudah hancur digigit anjing. Mau marah juga enggak tega karena itu anjing kesayangan saya," katanya dengan senyum lebar. YK/R-1

Alat dan Bahan untuk Menyulam

Rutin menyelenggarakan workshop menyulam, Seven Needles selalu memulai dengan pengenalan pada alat dan bahan yang dibutuhkan untuk menyulam. Di Yogya dan di beberapa kota besar, alat dan bahan sulam saat ini sangat mudah ditemui.

Yang pertama tentu saja kain, kain bisa apa saja yang penting kuat dan tidak mudah sobek tapi jarum bisa menembusnya dengan mudah. Jarum tentu saja kebutuhan utama. Jarum terdiri dari aneka jenis, tergantung teknik sulam yang akan dikerjakan, apakah perlu jarum tumpul atau runcing. Ada jarum pasti ada benang, pilihan merek beraneka ragam bisa menyesuaikan kondisi keuangan.

Sulam juga memerlukan pita sebagai keperluan ornamen di pola utama yang dibentuk oleh benang. Jenis pita juga bemacam-macam, ada pita satin, pita organdi, pita sutra. Ukurannya bervariasi, mulai dari 1/8 inci sampai 2 inci. Jika kain yang digunakan rapat, jangan menggunakan pita terlalu panjang, karena pita akan terkikis oleh kain yang bisa membuat pitanya rusak.

Pembidang untuk membentangkan kain juga sering diperlukan terutama untuk beberapa jenis kain. Dan terakhir adalah karbon warna untuk menjiplak gambar.

Pelajaran selanjutnya tentu saja berbagai teknik sulam. Ada ratusan teknik sulam namun hanya puluhan saja yang masih familiar digunakan seperti teknik-teknik dasar, sulam pita Jepang, pita Eropa, Back Stitch, Stem Stitch, dan lain sebagainya.

Setiap tahun Seven Needles Yogya rutin menyelenggarakan pameran maupun workshop. Bagi para gadis milenial, pantengin jadwalnya. Seru lho!. YK/R-1

Penulis : Eko S

Komentar

Komentar
()

Top