Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menyiapkan Generasi Penerus

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Anggi Afriansyah

Dalam Laporan Forum Ekonomi Dunia (2016) "The Future of Job: Employment, Skills, and Workforce Strategy for the Forth Industrial Revolution" disebutkan beberapa keterampilan yang dibutuhkan individu untuk memasuki dunia kerja masa depan, di antaranya keterampilan pemecahan masalah kompleks, manajemen sumber daya, sosial, sistem, dan teknis.

Keterampilan memecahkan masalah kompleks penting saat memasuki dunia kerja. Keterampilan manajemen sumber daya dalam mengelola keuangan, material, manusia, dan waktu. Individu juga harus mampu berkoordinasi. Dia juga memiliki kecerdasan emosi, pandai bernegosiasi, berorientasi pada pelayanan, dan kesediaan memberi pelatihan pada rekan kerja.

Manusia juga harus mampu mengabil keputusan. Terkait masalah teknis, pekerja harus menguasai pemrograman dan pengoperasian alat teknologi. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyampaikan agar anak-anak didik memiliki keterampilan abad 21. Mereka mampu berpikir kritis, kreatif, mahir berkomunikasi, dan bisa bekerja sama.

Kondisi-kondisi tersebut tentu menjadi tantangan dunia pendidikan dalam menyiapkan anak didik. Saat ini, dituntut semakin cermat dalam memprediksi pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dibutuhkan siswa agar siap berkompetensi dan berkolaborasi. Sayang, dunia pendidikan seringkali telat merespons dinamika masyarakat. Ini membuat terengah-engah menyiapkan murid dari aspek kebijakan dan praktik di lembaga-lembaga.

David Stillman dan Jonah Stillman (2017) dalam Gen Z @ Work, How the Next Generation is Transforming the Workplace mengategorikan kelahiran 1995-2012 sebagai Generasi Z dalam era digital (fidigital). Mereka selalu berusaha keras mengidentifikasi dan menyesuaikan identitas agar lebih dikenal secara luas. Mereka realistis dalam merencanakan masa depan dan berusaha berada di barisan terdepan dalam kompetisi. Mereka takut ketinggalan perkembangan (Fear of Missing Out). Generasi ini mengutamakan kekuatan bersama dan sangat mengandalkan ekonomi berbagi. Mereka senang melakukan segala sesuatu secara mandiri dan optimal.

Buku tersebut ditulis dalam konteks Amerika Serikat yang sudah lebih maju dan terpapar internet lebih awal. Namun, setidaknya dapat menjadi gambaran umum dan perbandingan bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ini sangat penting untuk memahami karakteristik anak zaman now. Ini dilakukan sebagai salah satu upaya agar dunia pendidikan tidak salah strategi mendidik generasi kini yang tentu berbeda dengan anak-anak masa lampau.

Di Indonesia, saat ini internet sudah digunakan murid-murid. Data Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan 2017 yang dirilis BPS (2017) menyebut, 51,78 persen siswa perkotaan dan 28,44 persen perdesaan berusia 5-24 tahun mengakses internet. Dengan begitu, internet sudah menjadi keseharian siswa untuk membantu proses belajar. Dia juga memengaruhi pola pikir dan cara pandang.

Maka, upaya mencerdaskan pelajar di ruang kelas harus disesuaikan dengan zaman agar pelajaran tidak sia-sia karena tak relevan lagi dengan kebutuhan peserta didik. Siswa akan menghadapi dunia yang jauh berbeda dengan yang dihadapi para guru atau orangtua. Untuk itu, diperlukan arena pendidikan yang memungkinkan tumbuh kembangnya potensi bocah-bocah secara konstruktif. Jadi, mereka memahami beragam karakteristik.

Potensi Lokal

Tuntutan agar siswa kompatibel dengan situasi global, jangan sampai melupakan lingkungan sekitar. Pendidikan jangan sibuk mengejar standar global, tapi luput mengeksplorasi potensi lokal secara optimal. Pendidikan bukanlah area hampa udara yang tercerabut dari lingkungan masyarakat baik sosial maupun alam. Pembelajaran di ruang kelas tak bisa dilepaskan dari kondisi keseharian masyarakat yang merupakan laboratorium terbaik untuk belajar dan mengeksplorasi segala persoalan.

Pencerdasan bangsa akan optimal jika ruang-ruang pendidikan tak hanya terpaku pada jadwal formal, apalagi dibatasi sekat-sekat persekolahan. Pendidikan bisa dilakukan di beragam tempat. Ki Hajar Dewantara mengatakan, setiap orang adalah guru. Setiap tempat itu sekolah.

Jangan lagi mengutamakan hapalan-hapalan rumus, tetapi anak didik diajak secara langsung menyelesaikan persoalan sekitar. P Freire (1972) menyebut, pendidikan sebagai cara menghadapi masalah. Pendidikan jenis ini menghadapkan murid pada persoalan konkret yang membutuhkan jawaban dan penyelesaian. Pola ini akan meningkatkan kepekaan maupun kreativitas siswa. Pola ini, merujuk Freire, jelas bukan jenis pendidikan gaya bank yang membius dan mematikan daya kreatif.

Melalui pola pendidikan, pelajar dibangkitkan kesadaran, kepekaan, serta keterlibatan secara kritis dalam menghadapi realitas sosial masyarakat. Mekanisme pembelajaran macam ini menjadi amat penting.

Sebab, untuk menjaga Indonesia, rakyat harus mengetahui secara persis masyarakat sekitar. Mereka juga harus tahu potensi sumber daya alam. Mustahil menjadi penjaga bangsa andai rakyat tidak memahami secara pasti persoalan negara. Jika pelajar tak mampu merasakan denyut nadi dan keresahan segenap warga, sulit menjadi solutor.

Pendidikan jelas bukan hanya perkara ujian nasional atau pergantian kurikulum yang selalu menjadi ajang perdebatan. Pendidikan melampaui itu. Dia seperti disebut Ki Hajar Dewantara, menuntun segala kekuatan kodrat siswa agar menjadi manusia dan anggota masyarakat yang baik. Mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya (Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 2013).

Makanya, arena pendidikan tetaplah merupakan locus terbaik untuk menyiapkan generasi penerus bangsa yang lebih percaya diri dan bersemangat memajukan Indonesia. Sekolah menjadi kawah candradimuka untuk menggembleng bocah-bocah agar selalu mencintai bangsa ini dan berjuang sepenuh hati demi kemajuan Ibu Pertiwi.


Penulis Peneliti LIPI

Komentar

Komentar
()

Top