Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jum'at, 29 Sep 2017, 01:00 WIB

Menyembuhkan Luka 1965

Foto: koran jakarta/ones

Oleh Tri Wahyuni

Membingungkan! Soal pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI tahun 2017 ini banyak versi. Presiden Joko Widodo menganjurkan agar dibuat film baru tentang peristiwa 65 yang lebih objektif. Tetapi, Panglima TNI Jenderal Gatot memerintahkan pemutaran versi lama.

Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir, mengimbau agar film jangan sembarangan dipertontonkan. Sebab film tersebut tidak cocok untuk dilihat anak-anak. Film Pengkhianatan G30S/PKI, kata Mendikbud, berlogo siar dewasa. Namun malangnya, di beberapa daerah, sudah muncul surat edaran (SE) dari kepala daerahnya untuk menonton film Pengkhianatan G30S/PKI di sekolah-sekolah.

Di Kota Padang, misalnya, dalam SE Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang No 421 Tahun 2017, siswa-siswa SD dan SMP dianjurkan menyaksikan tayangan film Pengkhianatan G30S/PKI pada tanggal 30 September 2017.

Yang paling dikhawatirkan, pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI bakal menimbulkan kebencian membabi-buta masyarakat. Pelaku-pelaku penjagalan seperti Anwar Congo dan rekan-rekannya, dalam film dokumenter besutan Joshua Oppenheimer, mengakui merasakan betul hal itu saat menghabisi orang-orang yang dituduh PKI.

Film Pengkhianatan G30S/PKI yang dibuat rezim Orde Baru memberi semangat, seolah-olah penjagalan terhadap PKI memang kebenaran yang mesti dilakukan, tanpa perlu pembuktian-pembuktian pengadilan. Untuk zaman kini, pembunuhan massal mungkin tidak bakal dijumpai lagi. Setidaknya masyarakat sudah sedikit lebih beradab. Tapi stigma, kebencian, dan kekerasan dapat saja menyeruak di masyarakat.

Seperti terjadi pada Minggu 17 september 2017 malam hingga Senin dini hari, ratusan massa mengepung gedung Kantor LBH-YLBHI. Kerumunan massa memuntahkan ancaman, memberi stigma, dan tuduhan kebangkitan PKI. Mereka menyulut kekacauan. Puluhan orang yang telah mengikuti acara #AsikAsikAksi (acara pertunjukan seni, puisi, dan musik dalam rangka keprihatinan atas pembubaran seminar sejarah 65) terkurung dalam gedung LBH-YLBHI.

Berulang kali pengabdi-pengabdi bantuan hukum LBH-YLBHI menjelaskan, tidak ada acara terkait PKI. Aparat pun telah mengklarifikasi langsung. Mereka melihat bahan-bahan dan mengikuti terus-menerus, akhirnya menjelaskan kepada massa tidak ada acara berkaitan dengan PKI atau komunisme. Tetapi massa tidak mau mendengar dan melawan aparat.

Pikiran massa campur aduk, antara penyebaran komunisme, pelurusan sejarah, dan upaya bantuan hukum untuk korban-korban pelanggaran HAM. Semua tidak jelas. Kebencian buta terhadap PKI membuat mereka gelap mata.

Tapi angkat topi untuk para pengabdi bantuan hukum di LBH Jakarta. Meski diperlakukan seperti itu, sebagaimana ungkap Alldo Fellix Januardy. Siapa saja yang mendukung aksi kekerasan terhadap LBH-YLBHI tersebut, jika suatu hari nanti haknya dilanggar oleh siapa tetap akan dibela LBH. Misalnya, digusur, dipecat sepihak oleh perusahaan, dipaksa putus sekolah, didiskriminasi sewenang-wenang, dan disiksa aparat. Atau mereka dilarang beribadah, dilarang unjuk rasa atau diskusi atau bahkan bila organisasinya dibubarkan, silakan mengadu ke LBH.

LBH-YLBHI adalah rumah bagi masyarakat miskin buta hukum dan tertindas. Semua didampingi, tanpa pandang bulu, tidak memandang suku, agama, ras, keyakinan politik, golongan dan lainnya. Maka itu juga LBH mendampingi korban-korban yang distigma karena peristiwa 65. Mereka yang sama sekali tidak berafiliasi PKI, tapi jadi korban pelanggaran HAM.

Penuntasan kasus peristiwa 65 menjadi masalah besar yang harus diselesaikan bangsa Indonesia. Sebab di samping korban kekerasan 65 yang belum jelas nasibnya, masalah tersebut telah menimbulkan kerusuhan berkepanjangan. Dalam perspektif yang lebih besar, perkara ini ibarat duri dalam daging negara hukum.

Mengapa disebut duri dalam daging negara hukum? Sebab menurut UUD 1945, Indonesia jelas-jelas disebut negara hukum dan perlindungan HAM juga dijamin di dalamnya. Sedangkan masalah peristiwa 65 sangat membutuhkan kepastian dan keadilan.

Presiden Jokowi pernah berjanji menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat dalam masa kampanye. Janji itu dituangkan dalam RPJMN 2015-2016 dan Nawa Cita Jokowi. Namun dalam perjalanan, semangat tersebut luntur. Alih-alih menyelesaikan kasus HAM, Jokowi malah merangkul tiga purnawirawan jenderal yang diduga terlibat dalam pelanggaran HAM berat.

Bergeming

Komnas HAM telah berkali-kali mendesak supaya para pejabat militer yang terlibat dibawa ke pengadilan. Ketua Tim Penyelidikan Peristiwa 1965/1966 Komnas HAM, Nur Kholis, dalam jumpa pers di kantornya menyatakan, salah satu unit negara yang patut dimintai pertanggungjawaban adalah struktur Komando Pemulihan dan Keamanan (Kopkamtib) yang dipimpin mantan Presiden Soeharto.

Komisi negara independen (Komnas HAM) yakin dengan penyelidikan yang telah dilakukan, memang terjadi pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa. Ada juga perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang.

Perbuatan-perbuatan tersebut ditujukan kepada mereka yang diduga sebagai anggota atau simpatisan PKI. Semua peristiwa itu terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, kecuali Papua. Persoalan ini mendapat perhatian masyarakat internasional. Sejumlah aktivis HAM dan diaspora Indonesia menyelenggarakan sebuah forum International People's Tribunal (IPT) 1965.

Bertempat di Den Haag, Belanda, IPT 1965 yang diadakan dari tanggal 11-13 November 2015 mengangkat isu kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada tahun 1965 di Indonesia. Benedict Anderson dan Ruth McVey dalam Cornell Paper tahun 1971, Harold Crouch dalam The Army and Politics (1978), Bambang Widjanarko et.al dalam The Devious Dalang(1974), WF Wertheim dalam artikelnya Soeharto and the Untung Coup-The Missing Link (1970), John Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (2008) serta Daniel Lev dalam tulisannya Indonesia 1965: The Year of the Coup. telah menemukan beragam versi peristiwa 65.

Sayang perhatian masyarakat internasional dan temuan-temuan akademis tersebut masih membuat rezim bergeming. Sedangkan masyarakat rusuh tanpa kepastian dan keadilan, ditambah isu PKI yang menghangat menjelang pemilu.

Bagaimana bangsa Indonesia mampu menghadapi masa depan, jika terus dikelabui dari sejarah sejatinya? Trauma atas pembunuhan massal pada tahun 1965-66 belum terjelaskan. Beban ini berada di atas bahu kita. Selamanya akan tetap menjadi beban jika kita gagal untuk mengungkap kebenaran. Hanya dengan mengetahui kebenaran, kita dapat mulai menyembuhkan luka dan rasa sakit.

Penulis Peneliti diUniversitas Negeri Padang

Redaktur:

Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fandi, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.