Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERADA

Menjadi Warganet Eksis dan Bijak di Era Digital

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Akhir-akhir ini ramai diperbincangkan fenomena selfie-seekers di lokasi bencana alam. Bermula dari media asing yang menyoroti gerombolan ibu-ibu yang berswafoto di depan puing-puing bekas tsunami Selat Sunda. Mereka berpose tanpa menunjukkan rasa simpati. Masih di tempat yang sama, seorang perempuan muda sengaja berangkat datang dari Jakarta untuk swafoto dengan latar belakang pemandangan mobil SUV yang hancur.

Demi mendapatkan swafoto yang pas, ia berdiri di dekat mobil SUV, berpose dengan beberapa gaya. Para selfie-seekers ini dengan jujur menjelaskan tujuannya swafoto di tempat bencana untuk meraup likes lebih banyak. Miris memang. Teknologi bukan hanya memudahkan manusia dalam berkegiatan sehari-hari, namun menyingkirkan rasa empati demi sebuah eksistensi diri.

Fenomena ini selaras dengan buku yang ditulis Nadia Mulya dan Joy Roesma berjudul Media Sosialita : Eksis Narsis Jadi Daring Darling". Seorang filsuf Perancis Rene Decartes berkata "Cogito ergo sum" atau "Aku berpikir maka aku ada". Kini, kata-kata itu diplesetkan menjadi "Aku terkoneksi maka aku ada".

Selain, sandang, papan dan pangan, kebutuhan lain manusia zaman now yaitu colokan (hal 19). Siapapun yang memiliki gadget bakalan panik berat ketika indikator baterai smartphone menunjukkan angka 10 hingga 15 alias low battery. Datang ke restoran, yang pertama kali ditanyakan adalah password wifi kemudian colokan baru menu makanan.

Setelah makanan datang, yang dilakukan bukan berdoa sebelum makan -seperti yang diajarkan oleh orang tua dan guru di sekolah- namun memotret makanan dari segala sisi. Suka tidak suka, itulah yang terjadi di masyarakat kita. Selama gadget dan colokan aman, dunia pun ada di genggaman.

Perkembangan media sosial di Indonesia cukup pesat. Per Juli 2017, pengguna Facebook mencapai 115 juta orang dan menempati peringkat pertama. Disusul Instagram dan Youtube. Dari data Global Web Index 2016, disebutkan bahwa rata-rata orang Indonesia menghabiskan 2,5 jam per hari untuk menggunakan ponsel.

Sebanyak 95 % digunakan untuk bermedsos-ria. Angka tersebut cukup fantastis untuk sebuah negara berkembang (hal 26). Kebiasaan bermedsos orang Indonesia sangat bertolak-belakang dengan masyarakat di negara barat yang lebih maju dalam urusan teknologi. Di negara barat, mayoritas hanya menerima pertemanan dengan yang benar-benar dikenal karena tidak ingin privasinya diusik.

Berbeda dengan orang Indonesia yang dengan senang hati menerima pertemanan dari segala penjuru. Tak sedikit yang meminta di-follow meskipun tidak kenal-kenal banget. Namun, meskipun perkembangan dunia digital di Indonesia sangat pesat, masih banyak orang Indonesia menggunakan internet tanpa sadar.

Nukman Luthfie yang kerap dijuluki Bapak Medsos menjelaskan suatu kali ia bertanya pada seseorang di pelosok Indonesia, "Apakah kamu main internet ?. Yang ditanya menjawab "Nggak, aku main Facebook". Kelompok Pengguna Medsos Sementara, warganet yang tinggal di kota-kota besar Indonesia sudah terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok pengguna medsos berdasarkan keaktifan pada akun mereka sendiri dan akun orang lain. Kasta tertinggi di dunia maya disebut dengan sosial media butterfly.

Posisi ini diduduki oleh publik figur yang sebelumnya sudah terkenal sebagai selebritis, sering diberitakan di media konvensional dan sudah memiliki penggemar. Kemudian, ada lagi sebutan Perfectly posted dan Narcissistagram yang dua-duanya merupakan tipe warganet yang selalu ada di medsos. Si Perfectly posted menggunakan medsos sebagai pencitraan bahwa hidupnya sangat sempurna.

Contohnya, seorang Mama Sosialita yang selalu posting kegiatannya menyuapi anak, memandikan anak hingga turun langsung ke dapur untuk membuatkan makanan sehat anaknya. Ternyata, semua itu hanya akting. Karena, di rumahnya ia memiliki armada suster dan asisten rumah tangga.

Diresensi, ibu rumah tangga pegiat buku

Komentar

Komentar
()

Top