Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mengkaji Ulang Impor Dosen

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh JanuariSihotang

Salah satu tujuan nasional dalam Pembukaan UUD 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya ini tentu tidak dapat dilepaskan dari peningkatan mutu pendidikan, mulai tingkat dasar, menengah, atas, dan perguruan tinggi (PT). Pembenahan sektor pendidikan menjadi sangat penting karena merupakan saka guru pembangunan bangsa dan investasi yang sangat menentukan eksistensi mendatang. Tanpa pendidikan bermutu, bangsa ini akan rentan dikolonialisasi gaya baru, penjajahan dalam bidang ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Sayangnya, bangsa Indonesia termasuk tertinggal dalam bidang pendidikan. Beberapa indikatornya rendahnya angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2017. IPM hanya menempati peringkat 113 dari 188 negara. Bahkan, peringkat ini menurun dari 110 pada tahun 2015. Rendahnya IPM semakin sempurna dengan minimnya minat baca masyarakat. Hanya 1 dari 1.000 orang yang berminat baca. Padahal, tanpa menjadi pembaca yang baik, mustahil mampu memunculkan ide, kreasi, dan inovasi dalam kehidupan sehari-hari.

Menyadari ketertinggalan dunia pendidikan, khususnya PT, Menristekdikti M Nasir baru-baru ini mewacanakan kebijakan mengimpor dosen untuk transfer ilmu, khususnya bidang sains dan teknologi. Kebijakan ini diharapkan mampu mengejar ketertinggalan dunia riset dan pendidikan tinggi. Pengajar asing sebanyak 200 tersebut diharapkan menjadi katalisator dosen maupun mahasiswa Indonesia. Kebijakan impor dosen semakin terbuka dengan keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.

Mungkin kebijakan Menristekdikti ini terinspirasi dari langkah bijak yang dilakukan Malaysia puluhan tahun lalu. Malaysia dengan berani merekrut banyak guru dan dosen dari Indonesia untuk memajukan pendidikan. Terbukti, dunia pendidikan Malaysia berkembang pesat. Bahkan beberapa perguruan tingginya menempati peringkat dunia jauh lebih baik dari PT Indonesia. Publikasi internasional Malaysia juga jauh melampaui Indonesia dibanding jumlah dosen dan mahasiswa kedua negara.

Pertanyaannya, dalam dunia teknologi yang semakin canggih serta semakin mudahnya mendapat referensi ilmiah, apakah kebijakan impor dosen itu masih layak ditiru Indonesia? Harus diakui, kebijakan impor dosen ini layak untuk diapresiasi. Namun, sangat layak juga untuk dikritisi karena memiliki berbagai kelemahan. Dari sisi positifnya, dosen asing setidaknya akan member efek dalam etos kerja, kedalaman ilmu, profesionalitas dan integritas seorang dosen. Namun demikian, kebijakan ini bukan langkah terbaik, bahkan terkesan buru-buru dan pragmatis.

Tak Berimplikasi

Jumlah 200 dosen tersebut tidak akan mampu memberi implikasi signifikan terhadap 63.704 dosen PTN dan 108.067 dosen PTS yang tersebar di sekitar 4.500 PT. Apalagi, dosen asing tersebut akan digaji sekitar 65 hingga 100 juta rupiah sebulan. Angka ini sangat fantastis, disbanding total penghasilan dosen dalam negeri. Hal ini tentu akan menimbulkan kecemburuan dan menimbulkan persaingan tidak sehat. Sudah menjadi rahasia umum di Indonesia betapa prihatinnya kehidupan para dosen, khususnya swasta, yang memiliki penghasilan kecil.

Maka, Kemenristekdikti seharusnya membuat kebijakan jangka panjang yang mampu memperkokoh pondasi pendidikan nasional. Perlu diingat, Indonesia tidak kekurangan orang-orang cerdas. Bahkan sangat banyak di antaranya yang menjadi pakar di luar negeri. Hanya, tingkat kesejahteraan dosen yang memprihatinkan membuat mereka berpikir ulang untuk mengabdi di Indonesia. Kebijakan impor dosen justru lebih bermanfaat jika Kemenristekdikti berusaha memulangkan anak-anak bangsa yang telah banyak berkarya di luar negeri.

Langkah ini juga membuktikan dana puluhan triliun rupiah yang telah dikeluarkan untuk membiayai dosen-dosen dan calon dosen untuk belajar ke luar negeri menjadi terkesan sia-sia. Selain bantuan dari negara maupun universitas asing, tercatat saat ini Indonesia mengeluarkan dana melimpah untuk studi lanjut di luar negeri, khususnya jenjang S-2 dan S-3.

Tercatat beberapa beasiswa yang dikucurkan melalui dana APBN seperti Lembaga Pembiayaan Dana Pendidikan (LPDP) dan Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) sudah menghasilkan ratusan bahkan ribuan ilmuwan lulusan universitas ternama dalam dan luar negeri. Program ini yang seharusnya dimaksimalkan Kemenristekdikti.

Selain itu, perlu juga pemberian sanksi tegas bagi penerima beasiswa yang melanggar perjanjian karena tidak kembali mengabdi di Indonesia. Alangkah lebih baik jika pemerintah menggunakan dana impor dosen asing tersebut untuk perbaikan fasilitas kampus serta dana riset di berbagai PT. Ini termasuk di dalamnya pemerataan sarana dan prasarana antara universitas di Jawa dan luar Jawa, Indonesia bagian barat dan timur.

Harus diakui, saat ini kampus justru kehilangan dosen-dosen berkualitas. Sudah menjadi rahasia umum adanya stigma bahwa dosen berkualitas banyak "nyambi"proyek di luar kampus. Padatnya jadwal di luar kampus mengakibatkan dosen melupakan tugas utamanya sebagai untuk mengajar, meneliti, dan mengabdikan ilmu kepada masyarakat.

Hal yang sama juga terjadi pada dosen yang 'mendekam di kampus. Kebanyakan mereka mengajar dengan berharap dana kelebihan jam sebagai uang masuk tambahan. Ini menyebabkan kelelahan dan tidak punya waktu untuk meneliti. Kesimpulannya, keseimbangan pelaksanaan tridharma PT oleh dosen dan jaminan atas kesejahteraannya merupakan tugas utama yang harus segera diselesaikan Kemenristekdikti, bukan justru mengimpor dosen.

Penulis dosen Nommensen, Mahasiswa Program Doktoral UGM Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top