Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
GAGASAN

Mengisi Masa "Advent"

Foto : KORAN JAKARTA/ONES
A   A   A   Pengaturan Font

Hiruk pikuk politik semakin tinggi dan kadang cenderung memanas. Padahal, perhelatan masih tahun depan. Di tengah situasi politik seperti ini, umat Kristiani harus mampu merenungi makna penantian menyambut kelahiran Sang Penebus. Masa penantian inilah yang disebut sebagai masa advent.

Hampir satu bulan penuh, umat menjalani masa advent agar mampu menyiapkan diri untuk menyambut peristiwa kelahiran yang menentukan masa depan segala makhluk. Untuk mempersiapkan diri menyambut Natal tahun 2018 ini, Keuskupan Agung Jakarta telah menyiapkan sara permenungan yang berte "Keluarga Berbicara."

Ini dibagi masing-masing untuk empat kali pertemuan dengan tekanan: Cepat Mendengar, Lambat Bicara, Belajar dari Keluarga Allah, Perbedaan Itu Indah, dan Sukacita dalam Keluarga. Semoga kita mengurangi bicara dan lebih banyak mendengarkan. Itulah bagian terpenting seorang pelayan, lebih banyak mendengarkan

Semoga saja para pemimpin yang bertanding alam perlombaan mencapai puncak kepemimpinan nasional tidak melupakan bahwa tujuan mereka adalah melayani. Jangan sampai lupa bahwa tujuan menjadi pemimpin agar mampu seluas- luasnya melayani rakyat. Jangan sampai tujuan utama memimpin adalah untuk menindas rakyat.

Tujuan seperti ini tidak akan direstui. Melayani adalah kunci dan tujuan kehadiran Yesus di bumi. Dia datang untuk melayani, bukan untuk dilayani. Semestinya seperti itulah tujuan calon-calon pemimpin yang tengah berlomba merebut tahta kekuasaan. Kekuasaan harus menjadi jalan melayani. Umat Kristiani harus mampu menyiapkan diri agar selaras dengan hidup Yesus yang datang untuk melayani, bukan dilayani.

Inilah inti pesan kedatangan Tuhan: solidaritas dengan kaum papa yang tak terlayani. Yesus sendiri hadir untuk melayani kelompok yang tak terlayani. Inilah pelajaran masa advent guna menyiapkan hati yang penuh pelayanan. Saat ini dunia penuh dengan tujuan-tujuan duniawi yang kadang bila tidak berhati-hati hanya akan semakin menjauhkan diri dari Tuhan

. Hidup dengan tujuan duniawi bisa menghilangkan nilai-nilai persaudaraan, kebersamaan, dan toleransi. Bahkan perusahaan-perusahaan juga berupaya mengeruk keuntungan dengan segala cara. Ini termasuk merusak lingkungan, mencemari udara, dan menghancurkan aneka hayati. Mereka hanya mementingkan keuntungan.

Cara memperoleh keuntungan seperti ini berlawanan dengan perintah Tuhan untuk memelihara bumi dan segala isinya. Nah, masa penantian advent ini harus menjadi refleksi guna meluruskan kehidupan bila selama ini ternyata bertentangan dengan berbagai nilai yang dikehendaki Tuhan untuk memelihara dan melestarikan lingkungan.

Perusahaan pun harus bertobat bila selama ini cara menjalankan usaha tidak selaras dengan nilai-nilai luhur: kejujuran, keadilan, dan kepedulian pada lingkungan. Para elite yang tengah ramai-ramai mengejar tahta harus menjadikan pelayanan sebagai tujuan utama. Mereka harus mampu menjaga kelestarian kerukunan antarumat, selain tentu saja keberlanjutan persaudaraan dalam bermasyarakata dan bernegara.

Hanya, sangat disayangkan, banyak pejabat publik atau kaum elite yang tidak tahu posisinya bahwa mereka itu pelayan. Situasi ini menjadikan mereka hadir menanti pelayanan. Marilah bertarung dengan tetap berada dalam koridor nilai-nilai luhur: kejujuran, gentle, dan menjauhkan saling menghujat.

Semoga semangat advent sungguh merasuki dunia yang terus bergejolak ini agar menjadi lebih kalem dan lemah lembut. Pertarungan dagang harus dihentikan karena hanya akan merugikan seluruh dunia. Sebagai ganti semoga dunia mampu menghadirkan pelayanan di berbagai bidang dan terus meningkatkan kerja sama, bukan malah saling sikut. Dunia harus bergandeng tangan demi bersama-sama menjadi persaudaraan lewat sektor ekonomi, politik, maupun keamanan.

Melayani

Hal ini bertolak belakang dengan kehadiran Yesus Sang Penebus yang datang untuk melayani. Dia hadir bukan untuk dilayani, melainkan melayani. Kelahiran Yesus di dalam kandang hewan yang bau, dingin, dan pengab merupakan bentuk paling nyata dari sebuah kisah solidaritas dengan kaum papa. Solider dengan mereka yang terbuang, tidak punya papan untuk tinggal, kedinginan, dan kelaparan.

Dia hadir dalam bentuk Putra Manusia untuk merasakan sendiri hidup terbuang, diasingkan dan bahkan diancam. Tamu yang menyambut hanya para gembala yang serbabau, butut, dan "gembel." Namun, justru mereka dalam keadaan "gembel" di mata manusia, tetapi hatinya paling bersih di mata bayi yang turun dari surga.

Kabar Gembira hanya diberikan kepada mereka yang berhati bersih yang terejowantahkan dalam diri para gembala. Para tukang angon wedus itu berhati suci, berpikiran lurus, dan tidak neko-neko. Tidak ada intrik di dalam hati mereka. Hati manusia seperti para gembala inilah yang pantas menerima Kabar Gembira.

Kabar sukacita tidak disampaikan kepada raja atau orang cerdik pandai, tetapi kepada kaum sederhana, terpinggirkan, dan terbuang seperti para gembala. Pertanyaannya, bisakah manusia berhati seperti para gembala agar pantas menyambut Natal? Masih ada beberapa hari untuk mempersiapkan diri di masa advent ini.

Siapkan dan luruskan hati yang bengkok-bengkok agar pantas menyambut kehadiran Tuhan di Hari Natal. Hanya, apakah di era serbakonsumerisme sekarang ini apakah masih ada orang yang berhati seperti para gembala? Mari tinggalkan sejenak kelekatan pada dunia agar bisa mempersembahkan diri pada hari kelahiran Yesus nanti.

Kehidupan dunia telah menjadi berhala baru dan menutup hati bagi orang-orang yang berkekurangan. Harta dan kekayaan dunia menjadi tujuan hidup itu sendiri. Manusia lupa bahwa mereka seharusnya kembali kepada Sang Pencipta, akan tetapi mereka malah menuju kepada dunia. Maka, advent ini masa paling baik untuk menyiapkan Natal sebagai peluang terbaik bagi setiap manusia untuk kembali menimba kebeningan dan kebersihan hati agar dimurnikan lagi, dilahirkan kembali berkat pengorbanan dan solidaritas Sang Bayi di Betlehem.

Natal kali ini harus menjadi pilihan manusia untuk merefleksikan kembali makna kehidupan, kembali menggeluti hidup suci. Manusia harus menimba semangat solidaritas dari dalam gua yang sunyi, sepi dan bau. Ini analogi bahwa manusia harus kembali menjadi sepi ing pamrih rame ing gawe (kerja keras tanpa pamrih) dan sunyi dari keinginan berlebih yang bukan haknya serta mau berkotor-kotor melayani masyarakat yang bau (orang yang bau biasanya adalah orang miskin).

Hanya dengan sikap seperti itu, manusia akan berkenan pada Sang Bayi. Memang Bayi yang suci hanya pantas di-sowani orang dengan hati murni juga. Dengan kata lain, semestinya kalau kita tidak bersih dan suci, tidak berani menghadap kandang kelahiran Juruselamat. Hanya, kehidupan dunia semakin memprihatinkan karena tambah menjauh dari "gua" yang sunyi, tenang, mungkin juga dingin, tetapi di situlah ditemukan keabadian. Marilah menimba kesunyian dari gua tempat kelahiran-Nya untuk mendapatkan kekuatan dari dalam.

PErni Damayanti, aktivis gereja

Komentar

Komentar
()

Top