Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menghukum Penyebar Kebencian

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Jumlah tersangka pelaku penyebaran berita bohong atau hoax beserta ujaran kebencian sepanjang tahun 2018 sudah mencapai 23 orang. Mereka diamankan oleh aparat kepolisian dari berebagai daerah dengan status sosial yang beragam. Bahkan, salah seorang anggota penyebar ujaran kebencian dalam kelompok Muslim Cyber Army (MCA) merupakan dosen, sebuah status sosial yang seharusnya mengedepankan rasionalitas daripada emosionalitas.

Kian merebaknya hoax dan ujaran kebencian telah meresahkan masyarakat. Sebab, buah ujaran kebencian bukan hanya kebencian berlatar suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), lebih dari itu, ada unsur kekuasaan atau politik.

Lebih dari itu, aksi jahat ini memengaruhi pikiran dan mental para followers atau penggemarnya. Betapa tidak, ujaran kebencian dengan mudah tersebar kala ditopang kebodohan kolektif yang terawat dan terus dibiarkan membodohi. Baik penghasut maupun terhasut sama-sama berada dalam siklus kebodohan. Keduanya tidak menyadari tengah terjebak di dalamnya.

Era internet memang telah menghadirkan berbagai kemudahan yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat akan informasi maupun pemanfaatan untuk kepentingan sosial ekonomi. Namun, dampak lain internet membuka ruang lebar informasi atau berita-berita bohong yang meresahkan.

Kementerian Komunikasi dan Informasi menyebut, ada sekitar 800.000 situs di Indonesia yang telah terindikasi sebagai penyebar informasi palsu. Internet telah salah dimanfaatkan oknum tertentu untuk keuntungan pribadi dan kelompoknya dengan cara menyebarkan konten-konten negatif yang menimbulkan keresahan dan saling mencurigai.

Sejumlah penelitian sebenarnya amat nyata mengungkap maraknya hoax dan penyebar kebencian. Minim program literasi media digital ke masyarakat. Padahal, ini penting untuk menyadarkan masyarakat tentang konten yang berpotensi melanggar hukum. Kemudian, tak menyurutnya penyebaran konten hoax dan kebencian di media sosial bukti ketidakjelasan penegakan hukum. Dalam sejumlah kasus, sering kali pelaku pencemaran nama baik dan ujaran kebencian tidak diproses tuntas. Ada juga pelaku salah tidak dipenjara. Ambiguitas hukum membuat orang merasa terlindung karena tidak ada kepastian hukum tegas dan jelas.

Adanya konflik politik di level elite yang menular ke masyarakat. Para politikus ini orang intelek dan berpengaruh, tapi tidak menggunakan kekuasaan mereka di dunia digital atau di media untuk kebaikan. Jadi, tindakan rakyat sesungguhnya cerminan perilaku elite.

Tak dapat dipungkiri, hampir seluruh aktor politik saling berebut pengaruh melalui media sosial untuk kepentingan politik. Selain elite politik, pengaruh buruk memanfaakan media sosial juga bisa datang dari tokoh publik yang banyak penggemar. Pengaruh sejumlah kecil akun tetap mendominasi sirkulasi wacana tentang kejadian-kejadian teraktual di sekitar kita.

Maka, pengguna media sosial harus bijak dan paham, aparat penegak hukum seperti polisi mampu melacak pelanggar hukum di media sosial. Kemampuan polisi ini didukung Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Pornografi. Jadi, polisi berhak menghukum para pengguna media sosial seperti WhatsApp, Facebook, atau Twitter yang menyalahi UU.

Berpendapat dan mengkritik tidaklah dilarang. Namun, kita harus menyadari konteks dan aturannya. Jangan sampai kita menyebar konten-konten berbau ujaran kebencian dan menimbulkan provokasi. Sebab, sepintar apa pun pelaku bersembunyi di balik akun palsu, akan terlacak.

Komentar

Komentar
()

Top