Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menggugah Bubat

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Masyarakat Jawa dan Sunda sudah lama mengalami "skisma" (pisah) psikologis setelah Perang Bubat abad ke-14. Di kalangan orang tua Jawa mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta melarang anak laki-laki menikah dengan wanita Sunda. Pandangan itu turun-temurun secara otomatis, tanpa diajarkan. Ini seakan terus mewaris di benak dan pendapat orang tua Jawa.

"Skisma" psikologis ini disebabkan dampak Perang Bubat. Secara singkat, Perang Bubat, Raja Majapahit Hayam Wuruk menaksir putri kerajaan Sunda bernama Dyah Pitaloka. Kemudian, orang tua Dyah (Raja Sunda Linggabuana) mengantar sang putri ke Majapahit. Namun, Patih Gajah Mada mengubahnya menjadi penyerahan tanda takluk Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Lalu terjadi perang (kelak dinamakan Perang Bubat) dan seluruh delegasi Sunda tewas di tangan pasukan Gajah Mada. Dyah Pitaloka dan wanita-wanita Sunda lain bunuh diri.

Rupanya sejarah "skisma" ini coba disatukan kembali. Adalah Sri Sultan HB X, Raja Yogyakarta, yang menggagas menyatukan kembali "hati" Jawa-Sunda. Maka diadakanlah berbagai pertemuan untuk menjalin harmoni kedua suku ini. Sebagai buah harmonisasi disepakati Bandung akan menyediakan Jalan Majapahit dan Hayam Wuruk, sedangkan Surabaya akan mengganti Jl Dinoyo dengan nama Jl Siliwangi serta Jl Gunungsari menjadi Jl Pasundan.

Apakah langkah harmonisasi berjalan mulus? Awalnya baik-baik saja. Namun ketika sampai pada implementasi, mulai muncul protes-protes. Di Surabaya, misalnya, masyarakat keberatan dengan penggantian tersebut karena nama Dinoyo dan Gunungsari mengandung banyak sejarah perjuangan kota tersebut.

Mereka mengusulkan dua nama Sunda tersebut diletakkan di jalan baru. Memang ada dampak ikutan di mana warga yang beralamat di Jl Dinoyo dan Gunungsari, kalau jadi diganti, tentu harus mengubah segala data mulai dari KTP. Padahal sekarang mengurus e-KTP susah payah. Memang sebaiknya nama-nama Siliwangi dan Pasundan diletakkan di jalan baru atau yang belum punya nama.

Selama ini memang di tataran Sunda tidak ada nama jalan Hayam Wuruk, Majapahat, apalagi Gajah Mada. Demikian juga di Jawa tidak ditemukan Jl Pasundan atau Siliwangi sebagai dampak Perang Bubat. Pertanyaannya, apakah dengan saling membuat nama jalan lalu terjadi harmoni? Atau apakah harmonisasi Jawa-Sunda ini berjalan baik?

Sebenarnya, acara harmonisasi itu baik, akan tetapi lebih baik tidak diadakan karena seakan justru membuka luka lama. Mungkin sebenarnya orang sudah melupakan, apalagi generasi sekarang tidak lagi mengenal "skisma" tersebut. Namun, karena diadakan acara "harmonisasi" tentu remaja-remaja bertanya, ada apa Jawa dan Sunda?

Jadi, bisa saja maunya meredam, hasilnya malah membangunkan kembali peristiwa Bubat. Istilahnya menggugah Bubat atau membangunkan kembali perasaan yang terjadi pasca-Perang Bubat. Apalagi dengan munculnya penolakan masyarakat. Ini akan menjadi beban tersendiri bagi Gubernur Jatim Soekarwo. Padahal jalan di Kota Surabaya tersebut sudah dijanjikan untuk diubah jadi Jl Siliwangi dan Pasundan dalam pertemuan harmonisasi. Niat baik Sri Sultan boleh dipuji. Namun semestinya dikonsultasikan dulu dengan berbagai pihak untuk melihat baik dan buruknya kegiatan harmonisasi.

Demikian juga Soekarwo mestinya menanyakan dulu kepada warga atau ahli budaya dan sejarawan sebelum menjanjikan Jl Dinoyo dan Jl Gunungsari untuk diganti Jl Siliwangi dan Pasundan. Kalau warga menolak, maka dicari dulu jalan yang akan dianti namanya. Namun kalau sudah telanjur disebutkan dalam pertemuan, posisi Soekarwo menjadi sulit.

Komentar

Komentar
()

Top