Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mengenal Instrumen Indonesia

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Dengan spirit pre-emptive, front loading, dan ahead the curve, Bank Indonesia (BI) terus mencari formula yang tepat untuk mengantisipasi berbagai tantangan ke depan. Prospek kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) dua kali lagi di sisa tahun ini dan perang dagang yang kian meluas menjadi ujian terdekatnya.

Dalam konteks stabilitas pasar uang, misalnya, BI per 1 Agustus 2018 yang lalu merilis instrumen baru Indonia (Indonesia Overnight Index Average) yang akan menggantikan Jakarta Interbank Offered Rate (JIBOR) overnight sebagai suku bunga dasar di Pasar Uang Antarbank (PUAB) mulai Januari 2019.

Instrumen Indonia sejatinya masih tetap berbasis pada JIBOR overnight, namun mekanismenya yang diubah. JIBOR overnight berbasis pada kuota dari 24 bank kontributor. Dalam pandangan BI, penentuan suku bunga PUAB masih didominasi bank-bank tertentu, khususnya bank kelas kakap yang mampu memenuhi ketetapan kuota.

Maka, suku bunga JIBOR overnight tidak mencerminkan transmisi kebijakan moneter lewat BI 7-DRRR. Dengan sifatnya yang tetap (fix) setiap hari, penyesuaian suku bunga JIBOR overnight jadi lambat. Imbasnya, aspek kredibilitas JIBOR overnight sebagai acuan dasar dipersoalkan.

Indonia menawarkan inovasi berbasis transaksi. Suku bunga Indonia dibentuk dari rerata tertimbang suku bunga dibagi dengan volume transaksi. Maka, suku bunga PUAB benar-benar transparan hasil transaksi 102 bank kontributor. Artinya, suku bunga PUAB tidak didikte lagi oleh bank kecil, bank besar, bank asing, atau bahkan bank pemerintah.

Kelebihan lain dari Indonia, suku bunga akan bergerak dalam satu hari. Bank yang membutuhkan likuiditas tidak akan menguotasi terlampau tinggi. Dengan demikian, suku bunga PUAB merepresentasikan kondisi kebutuhan likuiditas perbankan. Harapannya, suku bunga overnight tidak terlalu jauh dari BI 7-DRRR.

Pendalaman pasar keuangan (financial deepening) menjadi tujuan lain yang dibidik BI. Suku bunga Indonia diproyeksikan akan mendorong pasar modal, transaksi derivatif, dan transaksi lindung nilai (hedging) lebih efisien. Premi transaksi lindung nilai yang mengacu pada Indonia sebagai benchmark bakal lebih stabil.

Stabilitas suku bunga overnight membawa dampak pada tenor-tenor yang lebih panjang. Dalam jangka panjang, Indonia juga menjadi basis instrumen lindung nilai yang baru, yakni Overnight Index Swap sebelum beranjak menuju Interest Rate Swap (IRS). Urgensi IRS sangat relevan saat berhadapan dengan fluktuasi kurs.

Tarik Investor

Kebanyakan korporasi tidak mau melakukan transaksi lindung nilai. Saat harus impor, mereka lebih suka membeli dollar di pasar spot meski dengan harga yang lebih mahal. Dengan IRS, korporasi bisa lock-up rupiahnya sehingga permintaan dollar AS lebih terkelola. Akhirnya, stabilitas nilai tukar rupiah juga terpelihara.

Dalam cakupan yang lebih luas, Indonia juga memiliki potensi untuk menarik minat investor asing. Implementasi Indonia sangat membantu pemodal asing dalam meracik portofolionya. Mereka bisa menghitung secara lebih presisi imbal hasil yang akan mereka dapat dari tiap-tiap aset finansial yang dipegang.

Namun begitu, kembali lagi, eksekusi Indonia nantinya masih menyisakan tanda tanya besar terutama kesiapan dari tiap-tiap bank. Indonia ditentukan mekanisme pasar. Jika ada kelebihan pasokan, suku bunga bisa turun drastis. Sebaliknya, jika ada kekurangan pasokan, suku bunga bisa meroket.

Akar persoalannya, tidak semua bank mampu memasok cukup likuiditas di semua tenor. Lagi pula, sejumlah bank memanfaatkan PUAB sebagai alternatif terakhir dalam memenuhi kebutuhan likuiditasnya. Ketika ada sumber lain yang lebih murah, sejumlah bank tersebut memilih tidak aktif di PUAB.

Artinya, BI harus terlebih dulu memperkuat pelaku pasarnya kemudian baru membangun pasarnya. Ketiadaan pelaku pasar yang kuat membuat PUAB sebagai wahana untuk bertransaksi likuiditas menjadi bias dan suku bunganya bisa salah arah (misleading). Padahal, suku bunga PUAB dijadikan indikator untuk menentukan BI 7-DRRR.

Sebagai contoh, kelebihan likuiditas sekelompok bank tersedia untuk tenor 7 hari. Sementara itu, kebutuhan likuiditas bank lain untuk jangka 1 bulan. Bank peminjam terpaksa menggunakan likuiditas tenor 1 bulan dengan suku bunga yang agak condong ke tenor 7 hari. Konsekuensinya, ada dana nganggur (idle fund) yang dipicu masalah mismatching likuiditas.

Problem tadi juga dihadapi ketika kelebihan likuiditas perbankan, misalnya, hanya untuk tenor 1 bulan. Sementara itu, permintaan yang ada hanya untuk jangka 7 hari. Dengan logika sama, perbankan harus bertransaksi di PUAB setidaknya 4 kali berturut-turut dengan biaya lebih mahal daripada bertransaksi langsung tenor 1 bulan. Artinya, kaidah efisiensi tidak tercapai.

Tesis tersebut agaknya mendekati kenyataan. Sejauh ini, term structure suku bunga antara tenor terpendek dengan tenor terlama merentang tipis. Artinya, hampir tidak ada perbedaan imbal hasil yang signifikan bagi bank antara meminjamkan dananya. Contoh, untuk tenor 1 bulan dengan jangka waktu 2 bulan.

Dengan pasar keuangan yang masih dangkal demikian, transaksi kelebihan likuiditas perbankan akan mengumpul pada satu tenor tertentu yang dianggap paling 'aman.' Jika ini terjadi, efek Indonia niscaya gagal mengondisikan suku bunga bertenor lebih panjang. Akibatnya, suku bunga tidak mencerminkan kondisi likuiditas perbankan.

Alhasil, tanpa pelaku pasar yang kuat dan insentif yang kompatibel di tiap-tiap segmen, Indonia sangat boleh jadi, tidak mampu mengendalikan suku bunga PUAB dan likuiditas. Pengalaman JIBOR overnight dalam dollar AS memberi pelajaran berharga lantaran sangat jarang dirujuk pelaku pasar dalam keputusan finansialnya.

Jika Indonia bernasib seperti JIBOR overnight dalam dollar AS, niscaya sangat berisiko. Imbasnya, tidak hanya pada sektor perbankan, tetapi juga merembet pada dinamika inflasi, nilai tukar rupiah, dan bahkan stabilitas sistem keuangan. Jadi, Indonia gagal mencerminkan suku bunga Indonesia.


Penulis Doktor Ilmu Ekonomi Lulusan PPs-UGM Yogyakarta

Komentar

Komentar
()

Top