Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Keuangan Negara I Penarikan Utang Harus Sesuai Prioritas, Tidak Membabi Buta

Mengacu Indikator IMF, Pengelolaan Utang RI Sudah Tidak Aman

Foto : ISTIMEWA

International Monetary Fund (IMF)

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 39,13 persen, nyaris mendekati 40 persen terhadap PDB, seperti saat pandemi Covid-19 di mana rasio utang terhadap PDB per Desember 2021 mencapai 40,74 persen.

Kendati pemerintah mengeklaim tingkat utang tersebut masih aman karena konsisten di bawah batas aman 60 persen terhadap PDB sesuai Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, namun tidak ada salahnya pemerintah harus lebih berhati-hati mengelola utang. Sebab, jika menggunakan parameter yang lain maka tentu tingkat kewaspadaannya harus ditingkatkan.

Direktur Riset bidang Makroekonomi dan Kebijakan Fiskal Moneter CORE Indonesia, Akhmad Akbar Susanto, mengatakan apabila menggunakan indikator rasio utang pemerintah terhadap PDB memang masih dalam batas aman.

Sebaliknya, apabila menggunakan indikator lain seperti lembaga internasional, yang menggunakan indikator debt to revenue ratio atau rasio utang pemerintah terhadap pendapatan, maka rasionya sudah mencapai 300 persen pada posisi per 31 Mei 2024. Angka tersebut melonjak tajam dibandingkan posisi 31 Desember 2023 yang hanya 292,6 persen.

Atas indikator itu, Akbar menilai posisi utang pemerintah terhadap pendapatan cenderung tidak aman lantaran melebihi batas yang ditetapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dalam range 90-150 persen.

Tidak hanya itu, angka ini juga melebihi batas yang ditetapkan oleh International Debt Relief yang berada pada kisaran 92-167 persen.

"Itu kalau kita lihat bahwa posisi (utang pemerintah) kita sudah gak aman, baik kalau kita mengikuti versi IMF maupun menurut versi International Debt Relief. Jadi, kalau kita lihat indikator-indikator di situ, kita sudah tidak aman," kata Akbar baru-baru ini.

Pada kesempatan lain, pengamat ekonomi dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Y Sri Susilo, mengingatkan pentingnya pengendalian utang pemerintah meskipun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih di bawah batas yang ditetapkan UU Keuangan Negara yaitu maksimal 60 persen terhadap PDB.

Meskipun masih dalam ambang batas aman, tetapi dia menekankan bahwa angka 40 persen saat ini tidak boleh menjadi alasan untuk tidak mengendalikan utang.

"Tahun depan, beban cicilan utang yang jatuh tempo diperkirakan mencapai sekitar 600 triliun rupiah atau sekitar 25 persen dari APBN kita. Meskipun rasio utang terhadap PDB hanya 40 persen, kita harus tetap mengendalikan utang tersebut," kata Susilo.

Dia juga menekankan pentingnya menetapkan skala prioritas dalam mengambil utang, baik utang luar negeri (ULN) maupun utang domestik.

"Utang harus berdasarkan skala prioritas, apakah untuk infrastruktur atau keperluan lain. Tidak bisa membabi buta. Proyek IKN harus dilanjutkan, tetapi alokasi APBN tidak boleh terus-menerus jor-joran," jelasnya.

Ia juga mengingatkan tentang kebutuhan infrastruktur publik yang mendesak, sehingga menjadi prioritas utama. Dia juga turut menyoroti masalah kebocoran anggaran.

"Sejak era Orde Baru, Sumitro Joyohadikusumo pernah mengatakan bahwa setidaknya 30 persen dana pembangunan bocor. Ini adalah masalah yang masih relevan hingga sekarang dan perlu diatasi," tegasnya.

Dengan pengelolaan utang yang lebih ketat dan prioritas yang jelas, diharapkan pemerintah dapat menjaga stabilitas keuangan negara dan memastikan pembangunan yang lebih merata dan efektif.

Keseimbangan Fiskal

Diminta terpisah, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, mengatakan jika utang terus naik akan berdampak pada berkurangnya cadangan devisa karena digunakan untuk bayar cicilan dan bunga utang luar negeri.

"Kita tahu, cadangan devisa merupakan aset bank sentral fungsinya untuk mendukung nilai tukar mata uang, membayar utang luar negeri dan stabilitas ekonomi," kata Badiul.

Dengan melihat pelemahan rupiah saat ini, ia memperkirakan bank sentral akan menjadikan cadangan devisa untuk menguatkan rupiah. "Pelemahan rupiah akan berakibat pada beban pembayaran utang dalam mata uang asing akan meningkat, dan ini akan menekan cadangan devisa," jelasnya.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengambil langkah menjaga kesimbangan fiskal agar tidak selalu bergantung pada utang, seperti pengetatan pengeluaran yang tidak penting dan mendorong peningkatan penerimaan negara.

Kegemaran berutang ini, lanjut Badiul, akan menghambat daya pacu pemerintahan baru kelak. "Pemerintah harus memoratorium utang agar tidak keteteran, terlebih dengan kenaikan utang luar negeri saat ini," katanya.

Ia juga mengimbau pemerintah agar tidak terus-menerus berlindung di balik Undang-Undang Keuangan Negara yang memberikan mandat rasio utang maksimal 60 persen dari PDB dan memandang sebelah mata rasio utang terhadap penerimaan negara, padahal itu yang jadi pertimbangan kemampuan pemerintah membayar cicilan utang dan bunga utang.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top