Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menengok Perjalanan Bangsa dalam Fragmen Orde

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Pulang

Penulis : Leila S Choduri

Tahun terbit : Februari 2016, Cetakan Ketujuh

Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia

Tebal buku : viii+461 halaman

Ilustrasi : Daniel "Timbul" Cahya Krisna

Tata letak : Wendie Arswenda

Perjalanan sebuah bangsa memiliki lika-liku. Tak ada alur sejarah yang langsam atau lurus-lurus saja. Ada saja upaya-upaya rezim untuk membentuk, kalau tak bisa disebut membelokkan, sejarah bangsa sesuai dengan tujuan dan tafsirannya. Indonesia pun rasanya, pernah mengalami juga hal yang sama. Ini salah satu yang coba ditangkap novel Pulang sekaligus berupaya meluruskan, sebisanya.

Novel ini mencoba menggambarkan perjalan bangsa Indonesia sejak G30S/PKI hingga Era Reformasi 1998. Tentu di dalamnya ada juga kisah kejatuhan Orde Baru yang merupakan awal Era Reformasi. Meski dikisahkan dalam fragmen-fragmen, Pulang, mencoba merekam alur sejarah bangsa yang juga terdapat kekelaman.

Salah satu tokohnya bernama Dimas Suryo bersama Nugroho, Tjai, dan Risjaf sebagai emat sekawan lama mantan wartawan Kantor Berita Nusantara. Status wartawan membuat mereka dikejar-kejar rezim represif. Mereka tambah kecut setelah mendengar salah satu rekan mereka, Hananto Prawiro, ditangkap. Kejadian April 1968 itu malah mengabarkan Hananto sudah tewas. Saat itu, mereka berada di Paris memotret Indonesia dari jauh.

Hananto sebenarnya teman akrab Dimas Suryo, namun bersaing untuk mendapat Surti Anandari, semasa kuliah. Bagi Dimas, Surti adalah cinta pertama. Malahan Dimas telah menyiapkan nama bakal anak-anak bersama Surti. Mreka adalah Kenanga, Bulan, dan Alam. Mungkin tidak jodoh. Surti lari menghilang dari Dimas dan menjadi istri Hananto. Tapi, nama anak-anaknya tetap seperti diangankan oleh Dimas: Kenanga, Bulan, dan Alam.

Kaum muda itu berlari ke Paris mencoba menghindari kejaran rezim. Namun, sesampai di "Kota Fashion" itu, ternyata hidup mereka tak mudah karena di Paris pun tengah bergolak, demo di mana-mana. Ada pergolakan mahasiswa bersama buruh untuk melawan pemerintahan De Gaulle. Di Paris, Dimas bertemu Vivienne Deveroux yang akhirnya menjadi ibu dari putrinya bernama Lintang Utara. Lintang pula yang akhirnya mendorong Dimas kembali ke Tanah Air pada pada 1998.

Setelah melalui berbagai lika-liku, termasuk mengurus izin masuk Indonesia, akhirnya Dimas dan putrinya, Lintang, berhasil kembali ke Indonesia. Sayang, kelak pada akhirnya, ini benar-benar kepulangan dalam arti dari tanah kembali ke tanah. Itulah manusia berasal dari tanah kembali ke tanah. Dialah Dimas pulang untuk selamanya di pemakaman Karet.

Sementara itu, di luaran, perjuangan mahasiswa untuk meruntuhkan rezim Orde Baru semakin keras. Tentara dan polisi juga semakin merangsek menyerang kampus-kampus, terutama Trisakti di Grogol, Jakarta Barat. Bersama ribuan mahasiswa, Lintang ikut menjadi saksi kekerasan menjelang detik-detik kejatuhan Soeharto dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi. Mahasiswa menguasai DPR yang memaksa Soeharto lengser dengan korban enam mahasiswa yang ditembak sniper.

Diresensi Maria Kartika Widiastuti, SMA Pangudi Luhur Van Lith

Komentar

Komentar
()

Top