Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Festival Kethoprak 2018

Mendekatkan Seni Tradisi dengan Masyarakat Kampung

Foto : dok. Festival Kethoprak 2018
A   A   A   Pengaturan Font

Upaya mengangkat kembali kesenian tradisional kethoprak agar kembali digemari masyarakat, merupakan salah satu upaya Pakempalan Kethoprak Surakarta (Paksura) yang menggandeng Pemerintah Kota Solo. Upaya ini kemudian melahirkan Festival Kethoprak.

St Wiyono, seniman kethoprak, bersama Maretha Dinar Cahyono, Kabid Kesenian, Sejarah dan Sastra, Disbud Pemkot Solo, menjelaskan terkait pagelaran Festival Kethoprak VIII, pekan lalu, di Gedung Kethoprak Balekambang, Solo.

"Kami merindukan pamor kethoprak di Kota Solo dapat kembali seperti masa lalu. Kesenian tradisional kethoprak yang lahir di Kota Solo, justru bisa populer di luar Solo, seperti di Yogyakarta yang kini menjadi kiblat kethoprak, di Tulungagung Jawa Timur dengan Kethoprak Siswo Budoyo dan kini di Pati ada Kethoprak Tanggapan," ujarnya.

"Pada festival kethoprak pada 2015, salah satu kelompok yang menampilkan kisah heroik pahlawan Kota Solo, Mayor Achmadi, menyajikan drama berbahasa Jawa dengan rasa kethoprak. Itu genre baru kethoprak yang digarap secara menarik dan menghibur dengan warna kethoprak tradisional yang disebut kethoprak tobong," jelasnya.

Yogi Swara Manitis Aji dari Paksura, mengungkapkan, Festival Kethoprak Solo 2018 dengan tema Ndhudhah Kampung, bertujuan untuk mendekatkan kembali kesenian kethoprak dengan masyarakat di kampung-kampung. Dalam festival tersebut seluruh peserta diharuskan menggarap dinamika kampung dan menyajikan kisah sejarah dan legenda kampung dalam bentuk pementasan kethoprak.

"Paksura memberikan pembekalan kepada peserta festival untuk menggarap kampung, karena di kampung banyak cerita dan legenda yang menarik yang bisa disajikan di panggung kethoprak. Kalau kisah yang akrab dengan masyarakat bisa digarap secara baik, saya yakin kualitasnya tidak kalah dengan tontonan di televisi atau di medsos," ujarnya.

Maretha menambahkan, kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan seni kethoprak saat ini adalah minimnya apresiator, baik pelaku, penikmat atau penonton dan pengamat. Festival kethoprak yang digelar Disbud Pemkot Solo sebagai salah satu cara untuk tetap melestarikan seni kethoprak."Kami berusaha menggalakkan kembali pertunjukan yang berkaitan dengan kethoprak, seperti workshop kethoprak, sarasehan tentang kethoprak, maupun festival-festival kethoprak," tandasnya.

Belum Diimbangi Apresiasi

Upaya pelestarian seni kethoprak yang dilakukan Pemkot Solo belum dimbangi apresiasi dari pelaku, penikmat, penonton, maupun pengamat. Akibatnya, kesenian tradisional itu jalan di tempat.

"Salah satu cara tetap melestarikan seni kethoprak adalah dengan menggalakkan kembali pertunjukan atau kegiatan yang berkaitan dengan kethoprak, seperti workshop, sarasehan, maupun festival," urai Yogi.

Untuk mewujudkan hal tersebut, lanjutnya, membutuhkan dukungan dan kerja sama berbagai pihak, baik penggiat kethoprak, lembaga pemerintah, maupun masyarakat luas khususnya penonton.

"Kami bersama Pemkot Solo mencoba menghidupkan kembali pentas-pentas kethoprak dari kampung. Istilahnya adalah ndudah kampung," terangnya.

Dalam Festival Kethoprak 2018 ini pesertanya adalah lima perwakilan kecamatan se-Kota Solo. Kethoprak Jebres memainkan lakon Prahara Gunung Kendhil, Kethoprak Rama Budaya Banjarsari berlakon Sumber Terangkilan dan Kethoprak Waton Nyonthong Laweyan dengan lakon Wangenan.

Untuk Kecamatan Pasar Kliwon, Kethoprak Setya Budaya membawakan lakon Ontran-Ontran Pinggir Bengawan, sedangkan Kethoprak Pemuda Srawung Serengan ambil lakon Kidhung Kuwung.

Festival dinilai tim Juri yang terdiri dari pakar dan pelaku kethoprak yakni, Suharyoso (Yogyakarta), St. Wiyono (Solo) dan Gigok Anurogo (Solo). Panitia akan menghadirkan satu dewan pengamat yaitu Eko Wahyu Prihantoro dari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.

"Ini sistem kompetisi, memperebutkan nominasi pemeran pria terbaik, pemeran wanita terbaik, sutradara terbaik, artistik terbaik, kelompok penyaji terbaik serta penyaji favorit," kata Yogi.

Penghargaan yang diperebutkan pada event ini adalah piala bergilir, trofi, piagam dan sejumlah uang pembinaan.

"Tahun ini pesertanya bukan sanggar seni, tetapi memaksimalkan potensi warga di kecamatan," jelas Mareta.

Mulai Menggeliat Kembali

Selama ini, menurut Mareta, di Solo tercatat ada 19 grup kethoprak. Namun mereka tidak rutin mengadakan pentas. Selain minimnya fasilitas panggung, mereka lebih sering tampil pada kegiatan insidental seperti festival seperti yang digelar setiap tahun. Sebagai kesenian tradisional yang lahir di Solo, kethoprak justru berkembang di Yogyakarta dan Jawa Timur.

Kethoprak di Solo mulai menggeliat lagi dengan hadirnya ketoprak yang dilakoni Kerabat Kerja Seniman Muda Surakarta (KKSMS). Saat ini grup itu justru sudah melahirkan kelompok baru dengan sejumlah pemain muda dan garapan yang berbeda lewat kelompok Kethoprak Ngampung.

Kelompok ini mengawali dengan pentas keliling di sejumlah kampung dengan properti seadanya. Mereka tidak membutuhkan panggung dengan setting dekorasi yang lengkap. Cukup lampu dan sound system yang memadai, pentas di jalan atau di gang-gang bisa mereka gelar. Lewat pentas keliling itu, kini Kethoprak Ngampung sudah dikenal tidak saja masyarakat Solo tapi juga sering diundang pentas di berbagai kota di Jawa Tengah.

pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top