Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menciptakan Kota Berperadaban dan Bebas Banjir

A   A   A   Pengaturan Font

Kesalahkaprahan mengatasi banjir terlihat nyata dalam penanganan sungai yang dianggap sebagai penyebab utama banjir. Normalisasi sungai dengan betonisasi dan pelurusan alur sungai sebagai langkah keliru. Alih-alih mengatasi banjir, betonisasi akan menyebabkan kehancuran ekosistem tepian sungai, pendangkalan sungai, dan ancaman kekeringan di musim kemarau. Pelurusan alur sungai menyebabkan arus air mengalir cepat sehingga daya rusak di hilir semakin besar.

Sungai justru harus dinaturalisasi dengan lebar dan alur sungai dikembalikan ke bentuk alami. Bantaran sungai ditanami pohon berakar penguat tebing untuk menahan longsor. Ini juga sebagai habitat ekosistem tepian sungai. Bentuk alami sungai yang berkelok-kelok dipertahankan agar arus melambat. Ini juga meresapkan air ke kiri-kanan bantaran sungai sehingga menghidupkan ekosistem tepian sungai dan menjaga ketersediaan air tanah untuk penduduk (hlm 82).

Buku delapan bab ini juga memasukkan hak pejalan kaki dan penyandang disabilitas sebagai ukuran kota berperadaban. Hak pejalan kaki sering diabaikan dalam penataan kota (hlm 204). Berjalan kaki merupakan hak asasi manusia dan cermin puncak peradaban kota yang memungkinkan warga berinteraksi. Pemerintah kota harus membangun trotoar lebar minimal selebar bahu manusia (60 cm). Untuk penyandang disabilitas, lebar minimal 1,5 meter. Trotoar harus menyatu rata, tertutup rapat, dan tidak terputus oleh pintu keluar-masuk bangunan. Dia dilengkapi guiding block untuk kaum disabilitas.

Setiap kota tegas menerapkan Rencana Tata Ruang Wilayah. Jangan pernah tata ruang berubah menjadi "tata uang."

Diresensi Muhamad Ilyasa, alumnus UNJ

Komentar

Komentar
()

Top