Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mencegah "Stunting" dari Desa

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Fitri Wijayanti

Bonus demografi Indonesia pada 2030 bisa terancam karena terdapat problem gizi yang mengintai generasi emas tersebut. Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara yang mempunyai tiga masalah: stunting, wasting, dan overweight. Lihat saja, semua bisa mudah menjumpai anak yang kurus cekung (wasting) dan berat badan berlebih (overweight). Tapi dari tiga masalah itu, problem balita pendek (stunting) menjadi ancaman utama. Satu dari tiga anak Indonesia mengalami stunting.

Pengatasan balita pendek di Indonesia cenderung berjalan di tempat. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan, prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8 persen. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6 persen. Tapi prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 menjadi 37,2 persen. Prevalensi balita pendek kembali menurun pada tahun 2018 menjadi menjadi 30,8 persen.

Penurunan angka stunting patut diapresiasi, walau jumlahnya masih masuk kategori cukup tinggi. Menurut organisasi kesehatan dunia (WHO), prevalensinya itu harus kurang dari 20 persen. Indonesia menduduki peringkat kelima dunia untuk jumlah anak dengan kondisi stunting. Lebih dari sepertiga anak berusia di bawah lima tahun di Indonesia tingginya berada di bawah rata-rata. Artinya, stunting tetap menjadi ancaman utama dalam menghadpi bonus demografi 2030.

Stunting menjadi ancaman karena membawa konsekuensi yang kompleks. Berdasarkan laporan World Bank Investing in Early Years Brief (2016), stunting berdampak pada tingkat kecerdasan dan kerentanan terhadap penyakit. Dia juga menurunkan produktivitas. Bahkan, dia bisa mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup. Ini jelas menghambat pertumbuhan ekonomi karena bisa mengurangi pendapatan pekerja dewasa hingga 20 persen. Di sisi lain, kondisi stunting meningkatkan kemiskinan dan ketimpangan.

Para ekonom dunia, dalam The Copenhagen Consensus 2012, telah mengidentifikasi bahwa cara yang paling efektif untuk investasi dalam menghadapi ragam tantangan global dengan memperbaiki status gizi. Investasi untuk perbaikan gizi dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) sehingga mampu melahirkan manusia yang kreatif, inovatif, dan bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman. Mengembangkan SDM adalah investasi fundamental untuk membangun peradaban sebuah bangsa.

Membangun infrastruktur yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam beberapa tahun ini memang penting. Namun, ada yang jauh lebih penting dari pembangunan infrastruktur, yaitu pembangunan SDM yang berkualitas. Di tengah anak-anak yang ringkih, kurus, ceking, infrastruktur yang gagah tak ada artinya apa-apa.

Bangsa Indonesia tak ingin infrastruktur megah hanya untuk menfasilitasi perusahaan-perusahaan besar dengan truk dan trontonnya. Seementara itu, anak-anak masih akrab di perempatan lampu merah meminta-minta dengan wajah kumal dan kusut. Hal ini tidak boleh lagi terjadi di era sekarang. Orangtua dan negara harus bertanggung jawab terhadap keberadaan anak-anak di lampu merah.

Fokus Utama

Untuk itu, pembangunan SDM harus menjadi fokus utama dalam beberapa tahun ke depan. Seluruh bangsa ingin generasi kreatif, produktif, dan mampu bersaing dengan bangsa lain. Hanya, perlu diingat bahwa generasi produktif hanya bisa lahir dari jiwa dan raga yang sehat. Untuk itu, problem gizi anak dan stunting yang menjadi musuh utama pembangunan SDM harus secepatnya diatasi bersama untuk melahirkan generi emas berkualitas.

Pemerintah sudah saling bergandengan tangan dengan ragam kementerian dan lembaga swasta untuk melakukan penuntasan stunting. Kalau pada tahun 2018, pemerintan menyasar 100 kabupaten/kota untu menuntaskan stunting, maka pada tahun 2019 pemerintah meningkatkan 60 kabupaten prioritas. Semua berharap semoga perluasan ini dapat berjalan lebih optimal.

Tapi, kebijakan strategis yang telah dibuat pemerintah perlu lebih membumi dengan siasat-siasat praktis di lapangan, yakni dengan cara melibatkan aparat desa. Semua tahu bahwa desa adalah kekuatan untuk menggerakkan elemen masyarakat menyelesaikan masalah stunting.

Setiap desa harus ada kelas parenting yang tidak hanya berlaku untuk kaum ibu, tapi juga kalangan bapak. Aktor kelas parenting harus diinisiasi aparat desa. Aparat desa bisa bekerja sama dengan lembaga PAUD serta Puskesmas untuk sama-sama belajar memenuhi kebutuhan gizi mulai dari saat ibu hamil hingga melahirkan. Format kelas parenting disesuaikan dengan kondisi riil di lapangan seperti jumlah peserta.

Di samping kelas parenting yang sifatnya lebih umum, desa juga harus menggalakkan posyandu yang memang sudah ada. Posyandu merupakan wadah strategis untuk mendeteksi dini terjadinya gangguan pertumbuhan. Selama ini, hadir ke posyandu memang masih belum menjadi kesadaran masayarakat. Untuk itu, posyandu harus melakukan kreasi dan inovasi agar masyarakat tertarik untuk datang.

Dari desa pula, kita bisa meningkatkan akses terhadap air bersih, fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. Di beberapa daerah, banyak aparat desa yang membangun fasilitas sanitasi kurang tepat sasaran. Mereka seperti membangun sanitasi di tempat yang jauh dari permukiman warga atau malah justru dekat dengan rumah aparat desanya yang nilai kemanfaatannya tak berefek pada masyarakat yang benar-benar membutuhkan.

Di samping itu, semua juga harus memberikan perhatian lebih terhadap PAUD baik formal ataupun nonformal. Aparat desa harus memberikan perhatian lebih terhadap lembaga PAUD. Apalagi sudah dijelaskan bahwa dana desa bisa digunakan untuk pengembangan lembaga PAUD.

Di lembaga PAUD anak-anak tiap hari bias dipantau pertumbuhan dan perkembangannya baik perkembangan fisik-motorik, kognitif, maupun sosial emosional. Di sinilah guru PAUD dan orangtua bisa saling memberi informasi dan mengidentifikasi pertumbuhan serta perkembangan anak.

Semua berharap program satu desa satu PAUD yang sudah digulirkan pemerintah bisa menjadi media untuk mencegah stunting. Hal ini terutama bagi orang tua yang pekerja sehingga "terpaksa" menjadikan lembaga PAUD sebagai rumah kedua untuk anak-anak.

Penulis Alumna Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada

Komentar

Komentar
()

Top