Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menanti Calon Wakil Presiden

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Tahun politik ini benar-benar menjadi pemanasan pertarungan pemilihan presiden dan wakil yang akan dilaksanakan serentak dengan pemilihan umum legislatif, pertengahan tahun depan. Pembicaraan di televisi, diskusi, dan seminar, justru lebih banyak mengulas peta pertarungan pilpres ketimbang pilkada serentak 27 Juni. Padahal dalam ajang pilkada tak kurang 171 daerah ambil bagian. Politik modern Indonesia tidak bisa lagi dilepaskan dari peran lembaga survei dan konsultan politik. Publikasi hasil survei mengenai elektabilitas capres dan cawapres menjadi konsumsi menarik.

Prokontra selalu mengiringi publikasi mengingat motode dan sampel, serta pertanyaan yang disuguhkan ke publik dinilai beragam. Namun, pertanggungjawaban sosial dan keilmuan penyelenggaraan survei harus terus dipegang demi integritas lembaga survei. Dari sekian banyak lembaga survei, telah memberi gambaran awal tentang kandidat yang bakal bertarung. Kemudian, kecenderungan pemilih dan tingkat elektabilitas para calon petarung baik capres maupun cawapres.

Gambaran awal capres sudah sangat jelas, Joko Widodo (Jokowi) yang kini menjabat presiden dan Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Gerindra. Meski demikian, kedua nama masih sebatas bakal calon. Pencalonan baru akan dibuka Agustus mendatang. Meski demikian, kemungkinan besar Jokowi akan maju. Sebab sudah banyak partai yang mendukung seperti PDIP, Golkar, PPP, Hanura, serta Nasdem. Ada juga partai baru seperti PSI dan Perindo.

Lalu, bagaimana dengan Prabowo Subianto? Inilah figur yang kerap dipolemikkan dalam setiap diskursus dan talkshow. Pertanyaan apakah Prabowo akan maju memang wajar. Alasannya, Gerinda tidak bisa maju sendiri. Dia harus menggandeng mitra lain seperti PKS.

Namun, PKS kini mengajukan syarat cukup rasional. Cawapres Prabowo harus dari sembilan nama tokoh PKS yang direkomendasikan Dewan Syuro. Selain itu, selentingan soal kemungkinan Prabowo hanya menjadi "king maker" atau pendamping Jokowi sebagai cawapres tak kurang menguras perdebatan.

Yang perlu diketahui dalam konteks persyaratan pencalonan pasangan capres-cawapres adalah 20 persen kursi di parlemen. Syarat yang sudah diputuskan dalam UU Pemilu-Pilpres ini memang cukup berat, tetapi partai sudah menyepakati. Implikasinya, parpol harus menjalin koalisi untuk memenuhi syarat tersebut. Dari gambaran peta persaingan partai dan kandidat, kemungkinan yang terbuka hanya tiga pasangan. Namun, kemungkinan besarnya hanya akan ada dua pasangan nanti. Semua perlu ditunggu. Politik itu itu sangat cair, sehingga cepat berubah, tergantung pada perkembangan dan situasi menjelang batas akhir pendaftaran.

Persaingan cawapres juga sengit. Di kubu koalisi Jokowi, ada yang terus terang menyatakan siap seperti Muhaimin, Romahurmuzy, dan Airlangga Hartarto. Para ketua umum partai itu siap menjadi cawapres Jokowi. Begitu juga di kubu Prabowo, selain sembilan nama dari PKS, beredar figur seperti Gatot Nurmantyo. Mantan Panglima TNI ini malah digadang bakal juga sebagai capres pengganti Prabowo.

Di luar kubu Prabowo dan Jokowi, nama Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan bapaknya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tak bisa dikesampingkan. Gerakan dan sosialisasi nama AHY membuatnya di urutan cukup bagus bersama Anies Baswedan dan Susi Pudjiastusi. Kemunculan nama-nama baik yang terus terang ingin maju atau "malu-malu kucing," tidak masalah. Asalkan diskursus itu makin mematangkan calon dan para pemilih dalam menentukan sikap karena banyak preferensi. Kondisi ini secara positif memberi nilai, politik dan demokrasi memasuki dekade kedewasaan.

Namun dengan catatan, berbagai sikap dan ucapan kebencian, hoax, dan pembunuhan karakter harus dihilangkan sejak dini. Sebab itu menjadi benalu yang merusak demokrasi. Mari kedepankan persaingan yang sehat dalam pileg dan pilpres.

Komentar

Komentar
()

Top