Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Memulihkan Martabat MK

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Dr Agus Riewanto

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) baru saja memilih Anwar Usman sebagai Ketua baru menggantikan Arief Hidayat. Anwar Usman merupakan Ketua MK pertama dari unsur MA. Secara filosofis, fungsi utama hakim MK sebagai pengawal konstitusi atau meneguhkan paham konstitusionalisme dalam bernegara. MK diharapkan mampu menempatkan hukum sebagai panglima dan berdiri mengatasi politik atau menegakkan prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan di tangan segelintir orang.

Hans Kelsen dalam General Theory of Law and State (1961) menyatakan, dalam menjalankan fungsi sistem bernegara modern berdasarkan prinsip hukum, dipastikan muncul konflik antara norma yang lebih tinggi dan lebih rendah. Ini bukan saja berkaitan antara UU dan putusan pengadilan, tetapi juga antar-institusi dan UU.

Maka, Oleh diperlukan suatu lembaga khusus yang mampu memutus konflik itu. Dia suatu makhamah khusus atau MK untuk meneguhkan paham konstitusionalisme yang berprinsip, pelaksanaan kekuasaan negara oleh organ-organ negara harus berdasarkan ketentuan konstitusi. Pelanggaran terhadap konstitusi tidak dapat ditolerir karena akan menimbulkan kekuasaan tiran dan semena-mena. Untuk menilai secara objektif dan independen, suatu tindakan negara melanggar konstitusi dibutuhkan lembaga dan hakim untuk mengadili dan memutuskan melalui jaminan konstitusi.

Di titik inilah MK menurut Pasal 24 C UUD 1945 memiliki otoritas menguji UU dihadapkan UUD. Dia juga menguji kewenangan lembaga negara yang diberikan UUD, memutus pembubaran partai politik, pemberhentian presiden, dan memutus sengketa hasil pemilu. Otoritas limitatif yang diberikan UUD 1945 pada MK dekat dengan "wilayah politik" karena itu MK dituntut untuk mengerti dan memahami dunia politik. Namun tidak terjebak dan tergelincir dalam "pusaran" dan conflic of interest pada politik tertentu (partisan).

Tahun ini dan 2019 MK akan menghadapi tantangan tidak ringan terkait penyelenggaraan pilkada serentak di 171 daerah. Inisesuai dengan ketentuan UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. MK memiliki otoritas untuk menyelesaikan gugatan sengketa hasil pilkada serentak. Pilkada 2018 diduga eskalasi konfliknya gugatan hasil ke MK lebih berat ketimbang Pilkada Serentak 2017.

Pilkada 2018 merupakan ajang pemanasan menuju pemilu legislatif dan Pemilu Presiden 2019. Ada 5 provinsi padat penduduk yang menguasai separuh penduduk Indonesia ikut serta menyelenggarakan pilkada. Mereka adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara.

Ujian

Lima provinsi ini miniatur Indonesia. Itulah sebabnya semua tenaga dan pikiran elite politik nasional tercurah di pilkada lima tempat ini. Dapat dipastikan kunci kemenangan Pilpres 2019 ditentukan perolehan suara di sini. Parpol yang menguasai lima daerah ini kemungkinan besar menang dalam Pilres 2019 dan meraup kursi DPR dalam Pemilu Legislatif.

Di titik inilah ujian ketua MK baru segera tiba. MK harus mampu menjadi institusi adil, profesional, dan berwibawa dalam memutus sengketa hasil Pilkada Serentak 2018. Dampaknya, separuh tugas untuk menyelesaikan konflik gugatan hasil Pemilu Serentak Tahun 2019 bisa teratasi dengan baik.

Tantangan MK sebagai institusi terletak pada kemampuannya untuk menjauhkan diri dari godaan politik uang. Elite politik yang kalah dalam pilkada kemungkinan menggunakan segala cara untuk menggugat ke MK dan memenangkannya. Mereka tidak tertutup kemungkinan memainkan politik uang. Fakta ini pernah terjadi pada tahun 2015 ketika Ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK dalam kasus suap gugatan sengketa hasil Pilkada Kota Waringin Provinsi Kaliman Timur.

Bahkan dalam setahun belakangan, lembaga tersebut menjadi sorotan publik karena Ketua MK Arief Hidayat diminta mundur sekitar 150 Guru Besar Hukum. Alasannya, dia telah melakukan dua kali pelanggaran kode etik. Arief memberi katebelece pada salah satu pejabat di Kejaksaan Agung pada tahun 2015 dan melakukan pertemuan dengan Komisi III DPR dalam rangka lobi pemilihan ketua MK, pada November 2017. Perilaku buruk ini tak boleh terulang. Tugas ketua baru untuk terus menjaga wibawa MK.

MK tak boleh tergelincir ke dalam kubangan permainan politik uang agar tak merusak citra dan wibawa. Politik uang hanya merusak sendi-sendi kenegarawanan hakim MK. UU No 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU MK dengan tegas menyaratkan, salah satu kriteria yang penting dan membedakan kualitas calon hakim konstitusi dengan pejabat negara lainnya adalah negarawan. Maknanya, para hakim inilah yang bertanggung jawab menjaga alasan dasar berdirinya Republik Indonesia dan jaminan hak-hak konstitusional setiap warga negara.

UU sendiri tidak mendefinisikan makna "negarawan." Namun secara singkat, politicos (Yunani) atau politicus (Latin) mengandung arti "terhormat" (respected) dan figur yang dianggap dapat berdiri di atas semua golongan( notable figure or leader).

Negarawan adalah sosok yang menjunjung kejujuran, keadilan, integritas, dan kebenaran sehingga mampu menuntun warga ke jalan lurus. Dia mampu mengatasi masalah-masalah pelik ketatanegaraan dengan menafsirkan konstitusi secara cermat berdasar moral dan keteguhan akal budi.

Itulah sebabnya seorang ilmuwan Charles Evans Hughes (1907) mengingatkan, "We are under constitution, but the constitution is what the judges say it is." Artinya, hidup rakyat tergantung pada konstitusi. Konstitusi adalah yang ditafsirkan hakim. Itulah sebabnya hakim MK disebut sebagai penafsir otentik konstitusi. Rakyat memerlukan hakim negarawan supaya mampu menafsirkan konstitusi untuk menyelesaikan aneka masalah ketatanegaran dengan benar sesuai tujuan negara.

Karena itu kendati para hakim MK diusulkan MA, DPR, dan Presiden harus tetap mengedepankan aspek kenegarawanan. Realitasnya, putusan hakim MK bersifat final dan berpengaruh pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertimbangan hukum MK, mesti mengedepankan kepentingan jangka panjang. Maka, konsesi dan intervensi semata-mata untuk kepentingan sesaat akan merusak arti dan makna kenegarawanan. Di sinilah relevansinya untuk mengingatkan ketua baru MK, Anwar Usman, agar dapat memulihkan martabat MK yang pernah tercoreng.

Penulis Pengajar Fakultas Hukum dan Program Pascasarjana UNS

Komentar

Komentar
()

Top