Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Tradisi “Ngidang”

Memuliakan Tamu melalui Budaya Kebersamaan

Foto : dok. Tradisi “Ngidang”
A   A   A   Pengaturan Font

Menghormati dan memuliakan tamu dalam budaya melayu yang sangat Islami menjadi sesuatu yang sangat dianjurkan, bahkan diwajibkan bagi kaum Muslim. Tak heran jika Kota Palembang, Sumatera Selatan yang pernah menjadi tempat keberadaan Kesultanan Palembang memiliki tradisi penuh makna peninggalan leluhur, yakni "ngidang".

Ngidang merupakan tata cara penyajian makanan saat ada acara sedekahan (kendurian) dan pernikahan, yang dilakukan secara lesehan dengan membagi setiap hidangan atau kelompok hanya terdiri atas delapan orang. Hidangan digelar pada selembar kain dengan tempat nasi berupa nampan ditempatkan pada bagian tengah.

Dalam tiap hidangan itu terdapat beberapa komponen penting selain nasi putih atau nasi minyak yang berada di tengah hidangan, ada iwak atau lauk seperti rendang, malbi, opor, ayam kecap, kemudian pulur terdiri dari buah-buahan dan sayuran seperti nanas, acar, dan sambal.

Lalu juga disediakan piring dan cangkir. Sementara untuk mencuci tangan, ada petugas khusus yang disebut ngobeng yang akan melayani langsung para tamu. Ia membawa ceret air beserta wadah sisa air bilasan.

Dalam penataan makanan ini dilakukan secara silang, yakni iwak diharuskan berdampingan dengan pulur agar tata krama ketika bersantap benar-benar Islami. Para tamu undangan tidak perlu menggerakkan tangan terlalu jauh untuk menjangkau piring lauk pauk.

Uniknya selama proses ini berlangsung, tak henti-hentinya para tamu undangan dilayani ngobeng. Mereka benar-benar akan diperhatikan kebutuhannya, semisal meminta tambahan nasi atau lauk pauk.

Namun, asal tahu saja ketika berada di dalam satu kelompok hidangan maka dengan sendirinya para tamu undangan menjaga perilakunya. Umumnya tidak akan mengambil makanan secara berlebihan, karena toh bisa minta tambah jika masih ingin.

Ini sungguh berbeda dengan tata cara prasmanan ala prancisan yang kadang membuat makanan terbuang percuma (mubazir) lantaran tamu undangan mengambil terlalu banyak. Belum lagi adanya ketentuan harus mengantre, yang dipandang dalam tradisi Palembang kurang elok dalam memperlakukan tamu.

Memang dalam tradisi ini ada kesan repot karena diperlukan banyak ngobeng dan peralatan makan. Namun jika ditelisik, di sinilah letaknya membangun budaya gotong royong dan kebersamaan karena umumnya jiron dan tetangga akan bahu membahu membantu empu rumah.

Pada masa silam, dipastikan anak-anak muda terutama laki-laki dan kalangan orangtua di sekitar kenduri akan sigap membantu tuan rumah untuk melayani tamu. Mereka berdiri berjajar secara estafet mengoper piring-piring kecil yang berisikan lauk pauk. Belum lagi, ada yang sigap membantu mencucikan tangan dan memberikan gelas berisikan air minum.

Kesibukan yang terjadi inidikenal dengan istilah besaji dan beringkes atau menghidangkan makanan sekaligus merapikan semua kebutuhan.
Saat bersantap bersama dalam satu hidangan ini sudah tentu muncul suasana akrab karena anggota keluarga yang jarang berjumpa akan bertegur sapa melepaskan kangen.

Tata cara bersantap secara Islami tentunya akan benar-benar terasa dalam tradisi ini. Bagaimana yang muda akan mempersilakan terlebih dulu para orangtua untuk mengambil nasi, sembari menyiapkan piring dan air minumnya.

Sebagai penutup, biasanya yang empu rumah akan mengeluarkan kuliner khas Palembang berasa manis seperti kue srikaya hijau. Saat ini biasanya dimanfaatkan para undangan untuk saling bersenda gurau. pur/R-1

Sajikan Hidangan Seperlunya

Sebenarnya, eksistensi tradisi ini masih sangat terasa pada era 80-90-an, namun seiring perkembangan zaman mulai luntur. Meski rumah-rumah adat Palembang yang bisa menampung hingga 10 hidangan masih ada, tapi masyarakat mulai beralih pada cara yang lebih praktis ala prancisan.

Padahal menyantap hidangan secara bersama-sama ala ngobeng ini diyakini warga keturunan asli Palembang lebih berkat jika dibanding cara prasmanan pada masyarakat modern.

"Justru lebih hemat dan tidak mubazir karena undangan mengambil seperlunya saja, mengingat hidangan dibagi dalam piring-piring kecil. Jadi diyakini lebih berkat," kata Khadijah, salah seorang warga keturunan asli Palembang.

Sementara itu, ala ngobeng menyajikan hidangan seperlunya, semisal dalam satu piring hanya terdiri tiga atau empat potong ayam gulai, demikian pula untuk jenis lain.

"Kelihatannya saja rumit karena panitia terlihat sibuk membuat hidangan untuk beberapa orang saja, padahal ngobeng itu sederhana dan masih pantas dilakukan untuk zaman sekarang," kata dia.

Makan bersama dengan duduk bersila di sekitar hidangan, dinilai lebih mencerminkan nilai kekeluargaan dan kebersamaan dibandingkan cara prasmanan. Dengan duduk bersila juga bermakna merendahkan diri kepada Sang Pencipta.

"Ketika duduk mengitari hidangan pasti akan bertegur sapa, anak yang usianya lebih muda pasti akan mendahulukan yang tua seperti mengambilkan nasi. Inilah wujud kebersamaan dan saling menghormati," ujar dia.pur/R-1

Membangun Silaturahim Antarumat

Budayawan Palembang, Andi Syarifuddin mengatakan tradisi ngidang ini merupakan peninggalan leluhur yang sangat tinggi nilai kearifannya. Dalam Islam, tamu merupakan sosok yang harus dihormati dan dimuliakan karena diyakini kedatangannya akan mendatangkan rejeki karena telah membangun silaturahim antarumat.

Sebenarnya tradisi ini masih ada di Palembang, tapi kini hanya bertahan di kawasan perkampungan seperti di kawasan Seberang Ulu. Sementara jika sudah memasuki kawasan pusat kota, perumahan-perumahan, dan kompleks, bisa dikatakan tidak ditemukan lagi.

"Ini tradisi yang luar biasa tinggi maknanya, bagaimana empu rumah menghormati tamu sedemikian rupa. Tidak ada antre, tidak membiarkan tamu menunggu lama, semua dilayani," kata dia.

Namun, ia menyayangkan tradisi ini mulai luntur karena pengaruh masuknya budaya dari luar. Anak-anak muda bahkan banyak yang tidak tahu apa itu ngidang atau ngobeng. Bahkan, bagi anak-anak ini bukan suatu keanehan apalagi canggung ketika mengantre lebih awal dibanding orang yang lebih tua darinya dalam budaya makan ala prancisan.

Sebaiknya pemerintah memiliki perhatian dalam pelestarian tradisi mulia peninggalan nenek moyang ini karena sangat baik dalam pembentukan karakter dan identitas bangsa.

"Misal dalam acara yang dihadiri pejabat, dapat disuguhi tata cara makan ala ngidang ini, jangan prasmanan terus," katanya.

Nah, banyak pelajaran berharga dari tradisi ngidang atau ngobeng ini, salah satunya menumbuhkan keakraban dan rasa persaudaraan dalam kehidupan bermasyarakat sehingga dengan menerapkan tradisi ini sama saja dengan menjaga persatuan bangsa Indonesia. pur/R-1

Komentar

Komentar
()

Top