Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
PERSPEKTIF

Memprihatinkan, Intoleransi di Bantul

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

Yogyakarta belakangan semakin dikenal karena notorious alias terkenal karena keburukan. Yang dimaksud antara lain kemunculan berbagai kasus intoleran mulai dari pembubaran acara sedekah laut di pantai, Bantul, 12 Oktober 2018. Kemudian, pemangkasan salib keluarga Albertus Slamet Sugiardi pada 17 Desember oleh warga kelurahan Purbayan, Kotagede.

Yang terbaru, penolakan warga beragama Katolik bernama Slamet Jumiarto (42) untuk tinggal di Pedukuhan Karet, Desa Pleret, Bantul juga. Dia ditolak karena beragama Katolik. Yang memprihatinkan, secara sepihak Lembaga Pemasyarakatan Desa melarang nonmuslim tinggal di situ.

Melihat berbagai kasus intoleran yang mencuat di Yogyakarta, Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengkritik Keraton Yogyakarta yang tidak berperan merawat keberagaman di Yogyakarta. Memang kritik Halili masuk akal karena dalam beberapa kesempatan intoleran seperti pada pembubaran bakti sosial umat Katolik, di Bantul juga, Sultan HB X tidak tegas dalam membela keberagaman.

Gubernur DIY Sri Sultan HB X setelah kejadian intoleran di Pleret, Bantul, tersebut memang lalu mengeluarkan instruksi Nomor 1/INSTR/2019. Namun, sekali lagi di dalamnya tidak menyinggung kejadian di Bantul. Juga tidak ada penindakan terhadap para pelaku. Barangkali karena sikap tidak tegas pemimpin daerah ini menyebabkan terus saja kasus intoleran bermunculan di daerah istimewa tersebut.

Apalagi hampir tidak pernah ada penindakan terhadap pelaku-pelaku intoleran. Mungkin aparat 'takut' massa. Yogyakarta semakin intoleran. Beberapa waktu lalu juga terjadi penyerangan atas rumah yang sedang mengadakan sembayangan oleh umat Katolik, bahkan terja Untuk kejadian di Bantul, sebenarnya sudah masuk kategori luar biasa.

Bagaimana mungkin ada peraturan yang dibuat warga yang sangat tidak toleran dan didiamkan aparat. Padahal itu sudah ada sejak 2015. Berarti, Babinsa atau intelpam tidak jalan. Setiap warga negara Indonesia, apa pun agama dan suku, berhak tinggal di mana saja di wilayah NKRI. Tidak ada yang bisa melarang, apalagi sekelas aparat dukuh atau desa.

Tentu hal ini sangat tidak menunjang keberagaman dan perlu disesalkan. Lalu, apa tindakan aparat terhadap pembentuk ketentuan ketentuan intoleran tersebut? Biasanya tidak ditindak dan bisa menjadi preseden buruk, walau ketentuan intoleran itu akhirnya tidak diberlakukan lagi. Orang lain akan berpikir, hal seperti itu saja tidak ditindak.

Jadi, orang lain bisa saja tempat berbeda juga membuat ketentuan seperti itu. Maka, mestinya ada langkah hukum terhadap para pencetusnya. Kalau suatu wilayah mayoritas melarang minoritas masuk, tentu akan runyam negeri ini. Misalnya, Bali yang mayoritas beragama Hindu, lalu melarang warga non-Hindu tinggal di Bali, apa jadinya. Hal-hal seperti ini tentu tak boleh terjadi.

Makanya perumahan-perumahan yang sifatnya eksklusif, hanya yang beragama tertentu, boleh tinggal, perlu ditinjau kembali. Pemerintah perlu menertibkan perumahan-perumahan eksklusif. Sebab bisa melahirkan benih-benih eksklusivitas, yang menegasikan orang yang tidak seagama. Perumahan harus multipenghuni agar ada keberagaman. Kembali ke intoleran di Yogyakarta, hendaknya kasus serupa jangan terulang.

Semua harus ikut ambil bagian menciptakan keberagaman, jangan malah menjadi pencipta intoleran. Mari merawat kekayaan bangsa berupa keberagaman agama dan suku ini. Kita tinggalkan jiwa intoleran. Mari bergandengan tangan merawat keberagaman sebagai kekayaan bangsa yang begitu indah.

Komentar

Komentar
()

Top