Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Membumikan Isu Perubahan Iklim

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Eka Widodo Soegiri

Perubahan iklim dianggap sebagai persoalan 'langit' bagi banyak orang saat ini. Tak ada salahnya jika hal itu dikaitkan dengan volume gas rumah kaca yang terperangkap di lapisan-lapisan langit alias atmosfer yang akhirnya meningkatkan suhu bumi.

Namun banyak juga yang melihat perubahan iklim sebagai sebuah persoalan 'langit' yang masih mengawang-awang. Tidak jelas dan tidak kongkret. Apalagi isu perubahan iklim selalu dikelilingi banyak istilah yang sulit dicerna orang awam. Masih banyak yang belum mengerti tentang Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) dan konsensus pengendalian perubahan iklim global, Persetujuan Paris. Kebingungan akan semakin menjadi-jadi jika menelusuri istilah-istilah turunannya. COP, NDC, BAU, CMA, MPG, APA, SBI, atau SBSTA (lihat catatan) jelas bukan istilah yang familiar di telinga masyarakat awam.

Ini diakibatkan banyak istilah berbahasa Inggris yang sulit dipadankan dengan bahasa Indonesia. Sudah begitu, sebagian pemilik otoritas dalam pengendalian perubahan iklim kerap lupa bahwa publik tak memiliki level pemahaman yang sama. Mereka asyik menggunakan istilah-istilah itu saat berkomunikasi yang membuat publik semakin bingung dan akhirnya menganggap perubahan iklim sebagai persoalan 'langit' yang hanya diurus dan dipahami segelintir elit.

Jika situasi itu terbentuk tentu sungguh disayangkan. Sebab sejatinya perubahan iklim adalah persoalan yang sangat kongkret. Fenomena alam yang terjadi belakangan ini memberikan bukti nyata. Salah satu bukti adalah menyusutnya lapisan es di Puncak Jayawijaya, Papua. Hasil obersevasi yang dirilis BMKG (2017) bahkan memprediksi, lapisan es tersebut akan hilang pada tahun 2020.

Bukti lain adalah pergeseran musim penghujan dan kemarau yang membuat pola tanam pertanian menjadi kacau. Meningkatnya bencana terkait iklim seperti badai, banjir atau kekeringan juga tak bisa diabaikan.

Dampaknya jelas negatif. Perubahan pola tanam pertanian bisa menggangu ketahanan pangan. Sementara bencana iklim jelas berdampak langsung pada kerugian harta dan jiwa. Perubahan iklim juga bisa meningkatkan vektor penyebab penyakit mematikan seperti nyamuk malaria. Mencairnya lapisan es abadi di Puncak Jayawijaya dan gunung-gunung es di kutub bisa menaikan tinggi muka air laut yang mengancam pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia.

Oleh karena itu, aksi kongkret yang bisa dipahami dan dilaksanakan publik untuk menjawab persoalan kongkret perubahan iklim diperlukan. Diadopsinya Katowice Climate Package, pada konferensi perubahan iklim ke 24 yang berlangsung di Katowice, Polandia, 2-15 Desember 2018 menjadi saat yang tepat untuk meningkatkan aksi-aksi kongkret pengendalian perubahan iklim yang melibatkan publik.

Komitmen Indonesia

Katowice Climate Package adalah panduan untuk mengimplementasikan Persetujuan Paris. Berdasarkan Persetujuan Paris-yang akan berlaku efektif pada tahun 2020-kenaikan temperatur global akan dipertahankan kurang dari 2 derajad celcius dibandingkan dengan saat pra revolusi industri. Setiap negara sesuai dengan prinsip "kewajiban bersama tapi dengan tanggung jawab yang dibedakan dan saling menghargai kemampuan masing-masing" kemudian mendaftarkan dokumen Komitmen Kontribusi Nasional (Nationally Determined Contribution/NDC) untuk pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK). Indonesia termasuk negara yang telah meratifikasi Persetujuan Paris juga telah mendaftarkan dokumen NDC kepada sekretariat UNFCCC.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat sesi tingkat tinggi, Rabu (12/12/2018) pada konferensi di Katowice menyatakan Indonesia mengharapkan negara maju dapat memenuhi komitmen pra-2020 dan perlu meningkatkan ambisi dalam memenuhi Persetujuan Paris, baik dalam mengurangi emisi GRK maupun membantu negara berkembang dalam implementasinya.

Menteri LHK juga menyatakan, Indonesia berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam penanganan perubahan iklim, dan menyerukan perlunya peningkatan kerja sama internasional dan penguatan kerangka multilateral dalam mengatasi isu perubahan iklim. Sesungguhnya telah banyak aksi-aksi nyata yang dilakukan masyarakat Indonesia yang berkontribusi pada pengendalian perubahan iklim. Aksi-aksi ini juga dipaparkan di Paviliun Indonesia sepanjang pelaksanaan konferensi di Katowice. Namun aksi-aksi tersebut perlu terus ditingkatkan.

Melihat dokumen NDC Indonesia, pengurangan emisi GRK sangat mengandalkan sektor kehutanan. Dari target pengurangan emisi GRK sebesar 29% pada tahun 2030, sebanyak 17,2% akan disumbangkan sektor kehutanan. Kontribusi lain datang dari sektor energi (11%) dan sumbangan kecil dari sektor pertanian (0,32%), proses industri (0,1%), serta pengelolaan limbah (0,38%).

Satu sektor yang belum terdaftar pada NDC Indonesia meski berpotensi besar adalah transportasi. Dari sektor inilah aksi-aksi pengendalian iklim punya ruang untuk ditingkatkan. Mendorong peralihan sumber energi kendaraan dari minyak bumi ke energi terbarukan adalah keniscayaan untuk mengurangi emisi GRK. Namun hingga kini masih ada perdebatan soal sumber energi terbarukan apa yang akan dipilih. Hidrogen atau berbasis listrik? Tak heran jika kebijakan yang diharapkan masih belum jelas wujud nyatanya.

Sambil menunggu kebijakan tersebut, aksi kongkret perlu dilakukan. Salah satu yang bisa diambil adalah mewajibkan setiap produksi kendaran untuk menanam sejumlah pohon. Penanaman pohon tak terbantahkan menjadi penyerap emisi GRK yang sangat efektif. Setiap batang pohon yang tumbuh bisa menyerap 10-15 kilogram karbondioksida. Diperkirakan, dalam setiap hektare pohon yang ditanam ada setidaknya 10 ton karbondioksida yang bisa diserap (burung.org, 2012).

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), produksi mobil di Indonesia rata-rata mencapai 1,1 juta unit per tahun. Jika tiap produksi satu mobil dikenai kewajiban menanam 10 pohon, maka ada 11,1 juta batang pohon per tahun yang bisa ditanam.

Tambah lagi hitungan dengan produksi sepeda motor. Menurut data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), produksi sepeda motor di Indonesia rata-rata 6 juta unit per tahun.Jika setiap sepeda motor diberi kewajiban menanam sebanyak 5 batang pohon, maka ada 30 juta batang pohon per tahun yang bisa ditanam.

Kewajiban penanaman pohon ini dipastikan tidak akan memberatkan produsen kendaraan. Sebab harga bibit pohon sangatlah terjangkau. Satu batang bibit kayu-kayuan berkualitas bagus sudah bisa didapatkan dengan harga Rp10.000 per batang. Itu berarti, produsen mobil cukup menyediakan dana Rp100.000 per mobil untuk 10 batang bibit. Jadi kalau ada produsen mobil yang harga satu unitnya saja paling rendah sudah Rp100 juta sampai keberatan dengan kewajiban menanam pohon, rasanya sungguh kelewatan.

Kewajiban penanaman pohon bagi produsen kendaraan bisa diselaraskan dengan proyek-proyek infrastruktur yang kini sedang digencarkan Presiden Joko Widodo khususnya jalan raya. Hingga saat ini, sepanjang 941 kilometer jalan tol dan 3.432 kilometer jalan nasional yang telah dibangun oleh pemerintahan Presiden Jokowi (Kemeterian PUPR, Oktober 2018). Membiarkan jalan tersebut gersang tentu tak elok. Penanaman pohon, selain bisa menghijaukan pemandangan jelas menyerap polusi dan GRK yang dihasilkan dari aktivitas kendaraan yang bergerak di jalan raya.

Jalan raya kita sepantasnya memang tidak kalah dengan jalan tol sepanjang 80 kilometer yang menghubungkan Katowice dengan KrakÏŒw, Polandia, yang banyak ditumbuhi pepohonan.

Selain jalan, proyek infrastruktur strategis lain yang bisa dijadikan target penanaman pohon adalah waduk dan bendungan. Penanaman pohon yang mengiringi pembangunan infrastruktur strategis akan memberi pesan kepada publik tentang kontribusi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada proyek-proyek tersebut. Apalagi, peran KLHK dalam proyek infrastruktur seringkali dilupakan selama ini meski sebagian besar lahan untuk pembangunan infrastruktur strategis berasal dari kawasan hutan.

Penulis Eka Widodo Soegiri Tenaga Ahli Menteri LHK Bidang Analisis Strategis, Akuntabilitas Politik, dan Publikasi

Komentar

Komentar
()

Top