Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Membumikan Hidup Beragama

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Endang Suarini

Kesenjangan sosial di tengah isu globalisasi belakangan mencuat lagi, bukan hanya di Tanah Air, tetapi juga banyak di negara lain. Wikipedia mendefinisikan globalisasi sebuah perubahan sosial, berupa bertambahnya keterkaitan di antara masyarakat dan elemen-elemennya yang terjadi akibat transkulturasi dan perkembangan teknologi di bidang transportasi dan komunikasi yang memfasilitasi pertukaran budaya dan ekonomi internasional.

Istilah globalisasi dapat diterapkan dalam berbagai konteks seperti sosial, budaya, dan ekonomi. Misalnya, globalisasi mendorong pembentukan desa global (global village) yang berarti kontak lebih erat antara berbagai pelosok dunia, meningkatnya interaksi personal, saling kerja sama, dan persahabatan antara penduduk dunia. Kejadian suatu tempat bisa dipengerahui ulah seseorang di tempat lain. Misalnya, merosotnya rupiah saat ini, tidak hanya ditentukan faktor dalam negeri, tetapi juga luar negeri.

Yang perlu dikritisi globalisasi ekonomi dengan makna meningkatnya perdagangan bebas dan hubungan antara pelaku ekonomi berbagai negara. Konyolnya, dalam konteks ini, negara-negara berkembangan atau kecil kerap hanya dijadikan pecundang. Sementara itu, kekayaan negara-negara berkembang dan kecil itu diusung untuk memperkaya negara-negara kaya.

Saat ini ada lebih dari 40 ribu perusahaan transnasional dengan 190.000 anak perusahaan di luar negeri. Ada 90 persen perusahaan-perusahaan transnasional tersebut berkantor pusat di negara-negara maju. Mereka mengusung kekayaan negara berkembang dan miskin.

Seorang akademisi Inggris, Paul Hirst dan Graham Thompson, dalam buku mereka Globalization in Question mencatat, penjualan dan aset perusahaan-perusahaan transnasional terkonsentrasi di negara atau regional "rumah" mereka, di samping semua spekulasi mengenai globalisasi.

Akibatnya timbul kesenjangan luar biasa. Negara-negara kaya makin kaya. Sementara itu, negara-negara miskin, termasuk negri kita makin miskin. Menurut Birdsell (1998) pada abad 18, penduduk dunia kategori miskin mencapai 74 persen. Mereka hanya menikmati 44 persen GDP dunia. Sebaliknya, 26 persen penduduk dunia kaya menguasai 56 persen. Pada abad 20 dan 21, kondisinya justru bertambah buruk karena penduduk dunia miskin makin bertambah jadi 80 persen. Sedangkan mereka hanya menikmati 20 persen GDP dunia. Sebaliknya, 20 persen penduduk dunia kaya menikmati 80 persennya.

Sedangkan menurut laporan terbaru Badan Amal Global di Inggris (Oxfam) pada awal tahun 2018, hanya 62 orang super kaya dunia (tidak sampai 1 persen) memiliki 82 persen kekayaan dunia. Separuh penduduk dunia dalam garis kemiskinan tidak naik pendapatan pada tahun 2017 (CNBC, 22/1/2018).

Jelas kesenjangan seperti itu sangat sulit diterima akal sehat. Menurut mendiang Romo YB Mangunwijaya, bila suatu tata ekonomi dunia tanpa henti memperkaya mereka yang sudah teramat kaya (Utara dan komprador-komprador mereka di Selatan) dengan semakin mempermiskin sekian miliar manusia dunia Selatan yang sudah teramat miskin, pastilah setiap orang yang berakal sehat dan tidak perlu harus ahli ekonomi, dapat menduga bahwa ada sesuatu yang tak beres dalam tata ekonomi semacam itu.

Tidak heran, jika menurut budayawan Emha Ainun Najid, globalisasi dalam konteks negri kita sebenarnya sama saja dengan "gombalisasi." Gombal menggambarkan compang-campingnya orang miskin saat ini. Orang-orang lemah dan miskin memang menjadi korban utama globalisasi yang hanya memenangkan yang kuat.

Relevansi Kenaikan

Lalu, apa relevansi perayaan Kenaikan Yesus Kristus ke surga dengan semua ini? Harus diakui, kalangan agama (termasuk Kristen atau Katolik) sering hanya memfokuskan pada masalah-masalah spiritual (rohani) sehingga isu-isu seperti globalisasi kurang disentuh.

Maka, Kenaikan Yesus ke surga bisa dijadikan momentum menyadari masalah ini. Kalau membaca Injil, Yesus naik ke surga, setelah 33 tahun hidup di dunia. Itu berarti, agama seharusnya tidak hanya sibuk mengurusi masalah surgawi. Jangan terus menatap ke langit seperti dilakukan para murid Yesus ketika menyaksikan Sang Guru naik ke surga, tetapi juga harus kembali menatap ke dunia. Memang harus diakui, kadang ada dua ekstrem, orang hanya memikirkan masalah rohani (agama saja) di satu sisi, di sisi lain ada orang yang terlalu fokus pada sisi duniawi.

Ujung-ujungnya penghayatan keagamaan sering dipisahkan dari persoalan hidup. Tissa Balariya dalam bukunya Planetary Theology (Orbis Books, Maryknoll, New York, 1984) sudah mengkritik, terkait tulisan ini. Menurut teolog progresif asal Srilanka itu, umat Kristiani sangat suka menonjolkan ajaran surga, tetapi lalu "cuek" dengan persoalan dunia (global).

Misalnya, banyak umat Kristiani suka mengagungkan ajaran cinta kasih Yesus dan mengklaim memiliki kavling surge. Di sisi lain ajaran cinta kasih dilepaskan dari konteks keadilan. Menurut Tissa, kita tidak bisa mengatakan sungguh memiliki kasih atau kavling di surga, jika tak acuh dengan mereka yang menderita, dieksploitasi dan ditindas dalam arus deras globalisasi saat ini.

Guna mengatasi masalah ini, sungguh sangat diperlukan sinergi atau semacam koalisi semua agama atau siapa pun yang prihatin atas isu tersebut. Tidak bisa masalah "gombalisasi" yang banyak orang miskin temarjinalkan dan martabatnya diinjak-injak, hanya dihadapi seorang diri. Globalisasi terlalu tangguh!

Dengan demikian, agama tidak hanya sibuk rebutan klaim kebenaran, rebutan pengikut, ribut tempat ibadah, sibuk berpolemik. Mereka juga punya kepedulian nyata bagi kemanusiaan. Jika koalisasi seperti ini tercipta, agama akan bisa menghadirkan surga bagi umat manusia di dunia.

Selama ini karena terlalu terfokus pada masalah dogma atau akidah, agama menjadi lupa akan misi kemanusiannya. Mereka lebih sibuk berpolemik, bahkan berkonflik dan kurang menghadirkan berkat Tuhan bagi kemanusiaan. Akibatnya, ajaran-ajaran indah agama hanya menjadi sesuatu yang asing dan tidak menyentuh realitas kehidupan.

Sudah saatnya yang kuat secara ekonomi membantu kaum lemah agar mereka juga bisa beranjak dari kondisi dunia yang penuh gombalisasi menuju ke surga dunia yang menghargai dan memanusiakan martabat mereka.


Penulis Aktivis Gereja dan Buruh

Komentar

Komentar
()

Top