Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Lintang Wuriantari, Pemilik PT Matcha Muda Manggala

Membangun Ekosistem Matcha

Foto : KORAN JAKARTA/EKO S PUTRO
A   A   A   Pengaturan Font

Inovasi bentuk dan bahan sachet mengarahkan Lintang Wuriantari untuk berani jualan ke supermarket hingga gerai jaringan retail waralaba terkenal.

Bermula dari data yang diperoleh Lintang Wuriantari tentang rata-rata konsumsi teh orang Indonesia, yakni berkisar berkisar 500 gram per orang per tahun. Padahal negara tetangga, seperti Malaysia sudah tiga kali lipatnya, sekitar 1,5 kilogram per orang per tahun. Atas dasar itulah Lintang berusaha mengisi ketertinggalan itu dengan menjadi pionir produk kemasan teh hijau terbaik Jepang atau Matcha.

Wanita kelahiran Yogyakarta pada 10 Mei 1988 ini juga tak pernah bermimpin menjadi pemain besar teh kemasan nasional. Bahkan, dia juga tak menyangka bisa memenangkan kompetisi Food Startup Indonesia yang dibuat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf ) untuk pengusaha rintisan (startup) pada 2017.

Lintang menyadari, dari bisnis iseng buka kafe Matchamu, di sela waktunya mengurus biro arsitek yang baru dirintisnya, Bekraf membuka matanya bahwa ada takdir besar lain yang harus dijalaninya. "Bukan berarti bisnis kafe itu nggak oke, tapi kitalah yang nggak oke karena menganggapnya hanya sebagai hobi. Tahun 2013 mulai, tiga tahun berikutnya bangkrut," kata Lintang saat ditemui Koran Jakarta, di Yogyakarta, beberapa waktu lalu.

Gagal di kafe, Lintang tidak mau kru bubar maka ia beralih ke bisnis kemasan (sachet). Matcha Latte menjadi produk pertamanya yang dijual dari teman ke teman, door to door, dan tetap saja belum menggembirakan. Inovasi bentuk dan bahan sachet mengarahkan Lintang untuk berani jualan ke supermarket hingga gerai jaringan retail waralaba terkenal.

Namun, upaya Lintang ditolak karena tak tahu bagaimana bisa masuk daftar produk ke ritel besar berjejaring. Tak menyerah, Lintang terus ngotot memperbaiki apa yang diminta toko berjejaring. Prinsipnya, masuk ke ritel berjejaring adalah kunci dari bisnis minuman sachet yang dirintisnya.

"Kamu buktikan bisa jualan dulu ke market, baru bawa ke sini. Itu kata-kata dari manajemen swalayan yang selalu terngiang sampai sekarang. Produk bagus saja tidak cukup, jualan juga harus bagus," katanya.

Akhirnya, masih di 2017, Matchamu menjadi produk lokal Yogyakarta satu-satunya yang berhasil menembus toko berjejaring. Begitu masuk ke jaringan toko itu, Lintang membawa Macthamu ikut kompetisi Food Startup Bekraf, dan menjadi nomor 1 mengalahkan 100 kompetitor lainnya.

Kerja Sama Komplet

Baca Juga :
Kinerja Bisnis

Bagi Lintang, momen Bekraf adalah momen yang mengubah arah. Ia bertemu dengan banyak key person dan key knowledge. Saat ia masuk 10 besar, sudah banyak investor yang menawari kerja sama. Dari investor sungguhan hingga investor bodong. Investor yang berharap uangnya kembali dua kali lipat dari bunga bank sampai investor yang menawarkan, bukan uang.

Lintang mengatakan banyak yang keliru mengartikan bahwa yang paling penting dari sebuah perusahaan rintisan (startup) adalah uang. Investasi berupa uang menjadi tujuan utama. Padahal, sering kali uang tak bisa menjangkau seluas dan sebesar yang dikira.

"Maka kami ketemu innovation factory, yang tawaran pertama kepada kami bukanlah uang, tapi keberadaan mereka saat ini yang mampu membantu Matchamu punya impact lebih di masyarakat," jelasnya.

Innovation factory punya channel yang bisa membawa Matchamu ke 600 ribu titik distribusi, memiliki ribuan kendaraan yang bisa mengakses sebagian besar kabupaten di Indonesia, suplai gula kelapa terbaik dan termurah karena memiliki akses ke perkebunan kelapa besar di Indonesia.

"Mereka menawarkan kerja sama yang komplet dari yang kita butuhkan untuk scale up. Kadang founder startup sering salah sasaran. Dengan partner strategis yang tepat, kita bertemu dengan ekosistem besar mereka, bukan hanya uang. Scalling up itu bukan hanya fund rising, tapi bagaimana kita bisa konsisten menuju apa yang kita impikan," kata Lintang.

Pada awal April lalu, Matchamu meresmikan pabrik pertama di Yogyakarta menggantikan rumah produksi sebelumnya yang menumpang di rumah sang Nenek. Kepala Bekraf, Triawan Munaf, yang meresmikan langsung pabrik berkapasitas 40 ton bubuk Mactha sehari ini.

Menurut Lintang, operasional tahap pertama hanya akan mengolah 4 ton Matcha atau 300 ribu sachet per hari. Namun pabrik sudah siap untuk tumbuh hingga 10 kali lipatnya.

Saat ini, Matchamu baru memiliki dua varian yakni Matcha Latte dan Hojicha Latte di mana per sachet-nya dibanderol 4.600 rupiah.

Meski murah, Lintang menjamin bahwa Matchamu berbahan dasar Matcha terbaik dari Jepang dengan tambahan gula nonrafinasi dan krimer kelapa asli Indonesia. Partner strategis dan efisiensi mesin pabriklah yang memungkinkan ia mendapat harga bahan baku termurah.

Berbagai produk lainnya akan diluncurkan segera untuk melayani semua segmen masyarakat. Tidak hanya market toko berjejaring dan swalayan besar, bahkan produk yang siap dipasarkan melalui jaringan angkringan dan penjual minuman sepeda keliling.

Matchamu juga menyiapkan sendiri penjualan langsung ke konsumen melalui strategi waralaba pop up store yang ditargetkan ada dua ribu titik di seluruh Indonesia dalam waktu dekat.

"Tantangan terbesarnya adalah mendorong seluruh ekosistem Matchamu sekuat mungkin di masyarakat sehingga Matcha bisa menjadi teh favorit di Indonesia," pungkas Lintang. eko s putra/AR-2

BIODATA

Nama: Lintang Wuriantari

Tempat tanggal lahir: Yogyakarta, 10 Mei 1988

Pendidikan:

- Sarjana Arsitektur UGM Yogyakarta, 2009

Karier:

- Tea Executive Officer PT Matcha Muda Manggala

- CEO PT Desain Sarana Intermatra

Komentar

Komentar
()

Top