Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Partai Politik -- Hukum Jangan Jadi Pembenar Atas Tindakan yang Langgar Demokrasi

Megawati: Reformasi Lahir untuk Wujudkan Negara Hukum

Foto : ANTARA/M Risyal Hidayat

Nyalakan api saat rakernas -- Presiden ke-5 RI yang juga Ketua Umum Partai PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri (kiri) didampingi Ketua DPP PDIP Puan Maharani (kedua kanan) Bendahara Umum Olly Dondokambey (kanan) menyalakan api di kaldron saat Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V PDI Perjuangan di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta, Jumat (24/5). Rakernas ke-V PDIP Perjuangan yang dihadiri 4.859 orang itu bertemakan Satyam Eva Jayate, Kebenaran Pasti Menang.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengingatkan bahwa reformasi lahir untuk mewujudkan negara hukum yang demokratis.

"Reformasi lahir sebagai koreksi menyeluruh pada waktu itu terhadap watak pemerintahan otoriter untuk mewujudkan sebuah negara hukum yang demokratis," kata Megawati saat berpidato politik di Rapat Kerja Nasional (Rakernas) V partai di Beach City International Stadium Ancol, Jakarta, Jumat (24/5).

Dalam proses tersebut, sambung Megawati, partai politik, pers, supremasi hukum, sistem meritokrasi, dan pemilihan umum (pemilu) yang jujur dan adil harus hadir sebagai suatu ekosistem demokrasi.

"Dalam masa kepemimpinan saya sebagai Presiden Kelima RI, reformasi telah memisahkan TNI dan Polri. Kedua lembaga negara ini dituntut profesional, melepaskan dirinya dari dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) dan bersikap netral dalam setiap pesta demokrasi," katanya.

Lebih lanjut, dia mengkhawatirkan TNI dan Polri kembali dibawa ke ranah politik praktis, seperti dalam kontestasi pemilu. Megawati mengaku sedih atas hal itu.

"Saya tuh sedihnya ya gitu, kok saya ini presiden ketika pemilu langsung pertama loh, bertanggung jawab, berhasil, loh. Loh kok sekarang pemilunya langsung, tapi kok jadi abu-abu, gitu? Sudah direkayasa," ujarnya.

Dia mengingatkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang menjalankan demokratisasi. Karenanya, Megawati tidak ingin reformasi hilang dalam sekejap. "Dulu reformasi kan menempatkan nepotisme, kolusi, dan korupsi itu sebagai musuh bersama dan oleh sebab itu lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi; itu juga saya loh yang buat. Heran loh barang yang bagus-bagus, tapi sekarang dipergunakannya menjadi tidak bagus. Kenapa, ya? Itu kesalahan siapa, ya?" tuturnya.

Dalam pidatonya, Megawati juga menyinggung Putusan Nomor 90 Tahun 2023 Mahkamah Konstitusi (MK) perihal syarat usia calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya, putusan tersebut bernuansa intervensi kekuasaan.

"Dalam sistem politik dalam sebuah negara kesatuan yang berbentuk republik, seharusnya hanya ada satu lembaga di tingkat nasional yang memiliki fungsi legislasi. Dengan demikian, setiap penambahan materi muatan dalam suatu undang-undang harus lahir melalui proses legislasi di DPR RI, bukan melalui judicial review di MK, sebagaimana terjadi akhir-akhir ini," katanya.

Otoriter Populis

Megawati juga berbicara soal pemimpin otoriter populis. Berpijak dari pemikiran seorang pemikir kebhinekaan Sukidi, Megawati menyebut belakangan terjadi anomali dalam demokrasi di Indonesia. Anomali dalam demokrasi itu, kata dia, melahirkan kepemimpinan paradoks dan otoritarian.

"Terjadinya anomali demokrasi, secara gamblang dijelaskan oleh Dr. Sukidi, seorang pemikir kebhinekaan yang disegani. Sosok cendekiawan ini menjelaskan fenomena kepemimpinan paradoks yang memadukan populisme dan Machiavelli, hingga lahirlah watak pemimpin authoritarian populism (otoriter populis)," kata Megawati.

Dalam karakter kepemimpinan yang demikian, lanjut Megawati, hukum dijadikan pembenar atas tindakan yang sejatinya tidak memenuhi kaidah demokrasi. "Di sinilah hukum menjadi alat, bahkan pembenar dari ambisi kekuasaan itu. Inilah yang oleh para pakar disebut dengan autocratic legalism (legalisme otokratis)," sambung Presiden Kelima RI tersebut.

Menurut Megawati, solusi untuk menyelesaikan anomali dalam demokrasi bukan mencabut hak rakyat, melainkan menerapkan adagium Vox Populi Vox Dei bahwa suara rakyat merupakan suara Tuhan sehingga perlu dihargai.


Redaktur : Sriyono
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top