Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Media dan Iklan Politik

A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Roy Martin Simamora

Menjelang Pilkada Serentak 2018, politisi sibuk "menjajakan diri" lewat berbagai media untuk meraih simpati rakyat. Mereka berlomba menampilkan diri sebaik mungkin. Sepanjang sejarah perpolitikan, para elite menggunakan banyak metode seperti pidato singkat, menyebarkan kartu nama, memasang spanduk di sudut-sudut kota hingga ke desa. Mereka juga turun ke jalan (blusukan). Namun, seiring perkembangan teknologi gaya tadi berubah dengan memasang iklan politik (IP).

Meski begitu, IP juga bukan barang baru. Ini termasuk komunikasi pemasaran partai, kader, isu-isu, dan lobi-lobi politik. Dia juga berkaitan dengan kebijakan pemerintah. Secara teoritis, IP bertujuan mencapai target utama meraih suara. Tidak mengherankan, apabila politisi menggunakan media sebagai platform terbesar menjangkau konstituen pelosok negeri.

Politisi telah mengambil keuntungan lebih dari itu dengan menyebarkan IP untuk membujuk agar rakyat memilih mereka. Akan tetapi, dalam politik tidak ada yang gratis. Politisi membutuhkan modal besar untuk mengiklankan diri di media komersial seperti televisi dan radio. Hal ini terbukti dari jumlah uang yang dikeluarkan dan dibelanjakan politisi untuk IP meningkat secara eksponensial. Politisi tidak segan merogok kocek dalam-dalam, dari ratusan juta hingga miliaran rupiah untuk IP. Cara yang sedikit murah barangkali mengiklankan diri lewat media sosial.

IP selalu menjadi fitur utama dalam budaya politik Indonesia seperti yang kerap dijumpai di media massa yang meresap dan tak terhindarkan. Dalam beberapa tahun terakhir, IP telah membanjiri lini media massa dan menjadi salah satu faktor penting strategi kampanye. Dia sangat berbeda dengan dunia periklanan komersial. Tidak ada aturan dalam konten dan bentuk. Pengiklan politik tidak terlalu bertanggung jawab atas konten. Mereka yang penting dapat memajang wajah senyum dibumbui visi dan misi. IP harus efektif mempengaruhi pemilih serta persepsi calon pemilih. IP harus mencapai hasil baik dalam waktu singkat. Berbagai teknik periklanan yang biasanya digunakan elite seperti menyerang lawan, iklan negatif, propaganda, serta citra diri dan parpol pengusung. Dulu wajah politisi biasa ditemukan dalam spanduk. Kini cara mengiklankan diri telah bermetamorfosa dengan mengandalkan media komersial atau memilih memasang foto di media sosial.

Biasanya, politisi memulai dengan iklan gambar diri untuk membangun citra positif sebelum pindah ke iklan negatif untuk menyerang lawan. Hal itu dilakukan karena sebagian politisi tidak mampu bersaing secara elegan. Mereka tidak mampu menawarkan program bagus. Meskipun, strategi seperti itu tidak baik, dampaknya kadang luar biasa.

Mereka mengkritik pesaing. Mereka mengeluh tanpa henti tentang ketidakadilan dengan menyerang lawan. Sebaliknya, lawan juga tidak tinggal diam. Mereka pun melakukan langkah serupa dengan menyerang balik. Pertanyaannya, mengapa politisi semakin tertarik dengan lebih mengandalkan iklan negatif ketimbang mencitrakan diri mampu menawarkan kebaruan dan layak dipilih? Apakah itu cara paling efektif untuk membujuk pemilih dalam waktu singkat?

Kontras

Paparan IP memperbesar kontras antara iklan komersial dan politik. Kadang media memiliki efek baik dan buruk tergantung pada narasi yang ditawarkan. Efek baiknya memberi kesempatan politisi untuk mengeksplorasi diri. Media memberitakan politisi dengan citra baik. Mereka mencitrakan diri sebagai pemimpin yang layak dipilih. Efek buruknya, media menggunakan segala sumber berita buruk kehidupan personal politisi. Semua tergantung pada pemesan.

Mengiklankan diri di media berisiko juga. Politisi selalu dengan cepat menyalahkan media ketika sebuah berita tidak menempatkan pada posisi menguntungkan. Di sisi lain, politisi menggunakan media untuk memenangkan pemilu aar mendapat eksposur untuk menjangkau pemilih. Media yang tidak profesional mem-framing berita sesuai dengan pesanan politisi. Dari tahun ke tahun, pemilu telah mengubah persepsi masyarakat terhadap media.

Ada hubungan simbiosis antara politisi dan media. Di satu sisi, politisi ingin mengendalikan informasi yang disajikan media. Di sisi lain, politisi membutuhkan media untuk menyampaikan pesan kepada konstituen. Media yang terlalu konfrontatif atau bermasalah dapat ditutup politisi. Tetapi, nyatanya, untuk media Indonesia agak sulit dilakukan dan dibendung, meskipun berita kontroversi disiarkan dan dikonsumsi. Politisi tidak bisa berbuat apa-apa, meskipun dapat mengajukan tuntutan hukum terhadap media yang menyerang.

Bagaimanapun, media komersial dan medsos turut memperkuat eksistensi politisi. Di radio dan televisi, kontestasi politik negeri ini telah berubah menjadi opera sabun.

Politisi yang paling populer kerap bisa mengubah naskah dan membingkai perdebatan. Dengan kata l a i n , mereka dapat membengkokkan media yang tidak profesional sesuai dengan kehendak sendiri.

Memanipulasi lewat media lebih penting daripada mengendalikan peran organisasi partai. Beberapa politikus bahkan tidak membutuhkan citra partainya untuk menjual diri. Mereka hanya mengandalkan rekam jejak dan pengalaman untuk mempengaruhi minat publik lewat media.

Artinya, politisi dengan advertorial dapat tampil di media sesuai dengan keinginan. Bagi politisi kaya, apalagi berkuasa biasanya memiliki akses ke media. Apabila media memelintir berita atau menyiarkan berita yang tidak sesuai dengan pesan, konten, dan konteks, (zaman dulu) politisi akan menggunakan kekuasaan untuk menekan bisnis media tersebut. Era sekarang lebih sulit. Tidak hanya itu, politisi pun dengan leluasa m e n g o n t r o l persepsi publik d e n g a n kekuatan dan kekuasaan. Yang diperlukan, penilaian dan kecermatan publik dalam memaknai setiap pergerakan politisi saat memainkan peran drama politik sekarang.

Penulis Alumnus Hua-Shih College of Education, National Dong Hwa University, Taiwan

Komentar

Komentar
()

Top