Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Partisipasi Publik | Partai Harus Terus Memperkuat Pendidikan Kader

Masyarakat Dapat Membantu Mencegah Dinasti Politik

Foto : ISTIMEWA

WASISTO R JATI, Pengamat Politik dari LIPI

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Untuk meminimalisir praktik dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, diharapkan koalisi masyarakat sipil di daerah dapat memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Hal itu untuk menekan angka korupsi dan nepotisme yang disebabkan praktik dinasti politik.

"Dinasti politik jelas berdampak pada mundurnya pembangunan dan pelayanan publik. Kondisi ini membuat rawan adanya konik vertikal dan horizontal karena semua aktor baik dalam dan luar pemerintahan mendapat jatah dan akses ke kekuasaan," kata pengamat politik dari LIPI, Wasisto Raharjo Jati kepada Koran Jakarta, Senin (16/3).

Penyelenggara Pilkada, sambung Wasisto, perlu melakukan diskusi dan pendekatan dengan partai politik untuk tidak meloloskan kadernya yang menggunakan praktik dinasti politik. Itu untuk menekan partai politik agar tidak bersikeras mencalonkan kader dari dinasti politik.

Usulan Masyarakat

Mengingat agenda revisi Undang-Undang (UU) Pemilu dan Pilkada akan dibahas oleh Komisi II DPR, banyak usulan dari masyarakat sipil untuk membatasi dinasti politik dengan memperkuat regulasinya. Namun, Wasisto menilai ini sulit dilakukan sebab dampaknya akan memicu konik di daerah.

"Saya pikir harapan untuk meminimalisir dinasti politik lewat revisi UU Pilkada itu kecil. Kalau misalnya diterapkan sanksi tegas, itu akan memicu pergolakan daerah yang menuding Jakarta terlalu campur tangan urusan daerah di era otonomi daerah," kata Wasisto.

Menurut Wasisto, dinasti politik seperti naluri politik yang sudah berakar di arena politik lokal. Para kepala daerah petahana selalu memiliki cara untuk menelikung regulasi demi hasrat kuasa.

Pengamat politik dari LIPI, Dini Suryani mengatakan untuk meminimalisir dinasti politik pun perlu didukung dengan menekan politik uang dalam pemilihan. Hal itu diperlukan agar lebih banyak orang berpartisipasi dalam ajang Pilkada.

"Selama ini calon yang muncul berasal dari kelompok dinasti yang notabene telah memiliki sumber daya ekonomi yang banyak sehingga memungkinkan untuk melakukan money politics untuk membuat mereka terpilih," kata Dini.

Dalam survei LIPI 2019, sambungnya, terlihat bahwa 47 persen responden bersifat permisif terhadap politik uang. Cara lain adalah menguatkan pelembagaan partai politik yang masih lemah dengan mendorong partai politik untuk membentuk kader. Dengan demikian, tidak sekadar mencomot calon yang memiliki modal ekonomi dan popularitas tinggi yang biasanya berasal dari dinasti politik.

Dampaknya, tutur Dini, politik dinasti akan mengaburkan dan meniadakan fungsi checks and balances dalam pemerintahan. "Kita tentu sulit mengharapkan seorang anggota DPRD dari dinasti A mengkritisi eksekutif yang juga berasal dari dinasti A, di mana mereka memiliki hubungan kekerabatan. Checks and balances yang buruk akan mengarah ke pratik korupsi," tuturnya.

Terkait dinasti politik ini, pengamat politik Universitas Indonesia, Ade Reza Hariyadi menilai sebagai kewajaran jika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyerahkan tongkat estafet kepemimpinan Partai Demokrat kepada putranya. Tidak bisa dipungkiri bahwa Partai Demokrat memang tidak bisa dipisahkan dari sosok SBY yang memiliki peran sentral.

Mengenai adanya anggapan politik dinasti jika SBY mengestafetkan kepemimpinan ke putranya, Reza mengatakan kecenderungan sama terjadi pula di partai-partai politik yang lain. "Begini, soal dinasti, sepanjang mereka memiliki kapasitas, memiliki pengalaman, tidak ada masalah. Bisa diuji nanti bahwa naiknya semata karena regenerasi dinasti atau karena kapasitasnya di perpolitikan nasional," tuturnya. dis/Ant/N-3


Redaktur : Marcellus Widiarto
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top