Kawal Pemilu Nasional Mondial Polkam Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Otomotif Rona Telko Properti The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis Liputan Khusus

Masih Menuai Protes, RKHUP Tetap Akan Disahkan DPR Hari Ini

Foto : VOA/Reuters

Ratusan warga melakukan aksi penolakan pengesahan RKUHP yang dianggap membatasi hak-hak warga negara, di Gedung DPR di Jakarta pada Senin (5/12) siang.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah aktivis Hak Asasi Manusia dari berbagai LSM menggelar demonstrasi di depan gedung DPR RI di Jakarta untuk menentang pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Senin (5/12). Rencananya, DPR akan mengesahkan RKUHP dalam rapat paripurna hari ini, Selasa (6/12).

Selama aksi demonstrasi, pengunjuk rasa membawa spanduk dan meneriakkan slogan-slogan yang memprotes pemerintah, serta menggelar aksi simbolik tabur bunga dan membakar kitab RKUHP di depan gedung DPR.

Menurut pernyataan bersama demonstran, rancangan aturan yang baru dipublikasi pada 30 November 2022 ini masih memuat sederet pasal bermasalah yang selama ini ditentang oleh publik karena akan membawa masyarakat masuk ke masa penjajahan oleh pemerintah sendiri.

"Kami berkumpul menolak pengesahan RKUHP karena masih banyak pasal-pasal yang bermasalah di dalamnya," kata seorang demonstran dikutip Anadolu.

"Pasal-pasal bermasalah tersebut menghidupkan kembali pasal-pasal era kolonial, seperti pasal-pasal anti-demokrasi, menghina presiden dan wakil presiden, pemerintah dan lembaga negara, serta mengkriminalisasi pengunjuk rasa, pawai dan demonstrasi dan juga akan ada pasal-pasal yang mendiskriminasi kelompok perempuan," ujar dia.

Beberapa pasal dalam buku KUHP dianggap mengancam dan mengganggu kehidupan berdemokrasi serta melewati batas-batas kehidupan pribadi.

Selain itu, RKUHP juga dinilai mengancam kebebasan berpendapat karena terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap presiden.

Pengacara LBH Jakarta Citra Referandum meminta agar pemerintah tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. "Pemerintah dan DPR seharusnya mendengar dan mempertimbangkan secara bermakna pendapat dari masyarakat, bahwa permintaan kami agar pasal-pasal bermasalah yang ada di RKUHP seperti pasal anti-demokratis itu dicabut," katanya seperti dikutip VOA, Selasa (6/12).

Ia mengkritisi draft resmi yang sebelumnya tidak bisa diakses publik dan hanya bisa dilihat baru-baru ini yang akan segera disahkan.

Jihan Fatihaah dari Perempuan Mahardika mengatakan, salah satu isi RKUHP cenderung memberatkan dan memojokkan kaum perempuan.

"Negara sudah bisa mengatur ranah privat perempuan, salah satunya pilihan mereka tentang alat kontrasepsi dan aborsi. Karena misalnya, perempuan menjadi korban kekerasan seksual, kita tahu perempuan yang paling banyak menjadi korban kekerasan seksual, ketika diperkosa dia akan kesulitan mengakses aborsi atau kontrasepsi," terang Jihan, yang berharap pemerintah mengkaji ulang RKUHP itu.

Pengunjuk rasa lain dari Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Sunarno mengatakan, RKHUP jelas menghambat buruh berdemokrasi.

"Karena kami sering melakukan advokasi-advokasi pelanggaran yang ada di pabrik-pabrik, ke pengadilan lalu ke disnaker. Dalam prosesnya, kami melakukan unjuk rasa protes. Dengan adanya pasal karet yang dihidupkan kembali, yang dianggap menghina pejabat atau instansi pemerintahan, itu bisa terjerat oleh pasal-pasal karet tersebut," Sunarno.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan RKUHP yang akan disahkan sudah disosialisasikan ke seluruh elemen masyarakat dan sudah lebih reformatif dibanding KUHP versi Belanda.

Terkait demo penolakan RUKHP di depan Gedung DPR, Yasonna mengatakan, RKHUP mungkin saja tidak disetujui oleh semua pihak. Untuk itu ia mempersilakan mereka yang tidak setuju untuk menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kalau ada perbedaan, silakan nanti jika sudah disahkan, gugat saja di MK, itu merupakan mekanisme konstitusional," ujar Yasonna usai rapat dengan Komisi III DPR.

Yasonna juga mengatakan bahwa sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar. Menggugat ke MK merupakan langkah yang lebih elegan, jelasnya.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top