Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Masalah Tindak Pidana di Perbankan

Foto : ISTIMEWA

Romli Atmasasmita - Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran

A   A   A   Pengaturan Font

Dunia perbankan era globalisasi memiliki fungsi dan peranan yang strategis dan tidak ada satu sistem perekonomian negara di seluruh dunia yang dapat berkembang tanpa perbankan sebagai sumber dari segala sumber kehidupan transaksi bisnis baik level nasional maupun global. Tinggi rendahnya indeks kegiatan perekonomian khususnya di pasar modal adalah juga dipengaruhi oleh tinggi rendahnya aktivitas di perbankan, termasuk permohonan dan pemberian kredit bagi dunia usaha.

Namun di sisi lain, di samping dampak positif bagi perekonomian suatu negara juga dapat terjadi efek samping negatif, yaitu terjadinya pelanggaran atas prinsip kehati-hatian (prudentiality principle) dalam permohonan dan pemberian kredit sehingga perbankan mengalami kerugian finansial yang tidak kecil dan mempengaruhi kinerja perbankan, terutama bank-bank yang memiliki status sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Semula masalah tindak pidana di perbankan muncul ketika ahli-ahli hukum perbankan khususnya mempertanyakan, apakah harta kekayaan bank dengan status BUMN adalah termasuk keuangan negara atau kekayaan korporasi/ perseroan terbatas? Selain masalah status harta kekayaan Bank BUMN tersebut juga masih menjadi perdebatan para ahli hukum pidana mengenai status pelanggaran atas prinsip kehati-hatian di perbankan, apakah merupakan tindak pidana perbankan atau tindak pidana korupsi hanya karena terdapat kerugian keuangan negara di sana?

Dalam kesempatan ini akan dibahas masalah kedua dengan mengambil contoh kasus Bank BNI 46 atau Bank Mandiri yang dituntut dan diadili sebagai tindak pidana korupsi (tipikor) dan majelis hakim pengadilan tipikor dengan putusan telah terbukti terdakwa pegawai bank melakukan tipikor. Contoh, BNI 46 telah memiliki Pedoman Perusahaan Perkreditan Business Banking khusus mengenai Analisa Kredit yang berlaku sejak tanggal 05 Maret Tahun 2014.

Di dalam Pedoman Analisa Kredit telah dicantumkan antara lain, … untuk meningkatkan kualitas dalam pemberian kredit maka diperlukan pemisahan fungsi antara unit-unit yang terlibat dalam proses pemberian kredit (four eyes principle), antara lain dengan memisahkan fungsi pemasaran di unit bisnis dan fungsi analisa kredit di unit usaha; unit bisnis lebih fokus pada pemasaran nasabah dan ketersediaan data, sedangkan unit risiko bertugas melakukan analisa kelayakan kredit yang meliputi seluruh aspek-aspek dalam pemberian kredit.

Adapun tujuan alur dokumen Perangkat Aplikasi Kredit (PAK) dengan four eyes principles adalah memperjelas tugas serta fungsi unit bisnis dan unit risiko. Sesungguhnya Pedoman Analisa Kredit (PAK) tersebut merupakan wujud nyata dari prinsip kehati-hatian (prudentiality principle) di perbankan.

Di dalam PAK BNI46 telah diatur 10 (sepuluh) alur pemberian kredit, dan di dalam alur proses tersebut terdapat 4 (empat) fungsionaris, relation manager (RM), credit analis (CA), unit kepatuhan (UK), dan komite kredit (KK). Merujuk pada alur proses pemberian kredit tersebut amat mustahil terjadi penyimpangan dalam pemberian kredit, namun telah terjadi dalam perkara pidana di perbankan yang didasarkan pada penyimpangan yang terjadi pada alur PAK proses pemberian kredit perbankan tersebut.

Di dalam doktrin hukum pidana, fungsi dan peranan hukum pidana dan pemidanaan merupakan sarana terakhir yang terpaksa dilakukan jika sarana hukum lain (hukum administratif ) terbukti tidak efektif mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam pemberian kredit atau dikenal dengan sebutan, ultimum remedium; lawan dari primum remedium.

Berangkat dari doktrin hukum pidana tersebut maka jika terjadi penyimpangan dalam praktik alur PAK dalam pemberian kredit, maka penyimpangan tersebut tidak dapat serta merta diklaim sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) karena terdapat perbedaan fundamental antara keduanya.

Pengertian penyimpangan terhadap prosedur pemberian kredit merupakan penyimpangan secara administratif yang harus dipertanggungjawabkan secara administratif dan jika terbukti dikenakan sanksi administratif atau sanksi pidana sebagaimana telah diatur dalam Pasal 49 Ayat (2) huruf b UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan: anggota dewan komisaris, direksi atau pegawai bank yang dengan sengaja: tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam undang-undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi bank, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp6.000.000.000,-(enam miliar rupiah).

Berdasarkan ketentuan pidana dalam Pasal 39 Ayat (2) b tersebut jelas dan terang bahwa pembentuk UU Perbankan menghendaki digunakan pendekatan sanksi administrasi atau sanksi pidana bukan sanksi sebagai tipikor. Pola pendekatan hukum tersebut dikenal sebagai pendekatan hukum pidana administratif sepanjang tidak ditemukan unsur mens rea (niat jahat), kecuali terdapat bukti unsur menerima sesuatu hadiah atau janji atau kick-back dari nasabah/debitur.

Seandainya dengan ketidakpatuhan dalam menjalankan tugas pemberian/pencairan kredit dan telah menimbulkan kerugian keuangan negara maka yang berlaku tetap sanksi pidana atas tindak pidana perbankan sesuai yang dicantumkan di dalam ketetentuan tersebut sekalipun terjadi dilingkungan BUMN perbankan; kecuali tindak pidana perbankan tersebut dicantumkan secara tegas sebagai tindak pidana korupsi dan diancam dengan ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Korupsi.

Hal mana sesuai dengan ketentuan Pasal 14 UU aquo yang menyatakan bahwa Pasal 14 Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

Satu-satunya UU administratif yang memuat sanksi pidana sebagai tipikor terdapat pada Pasal 36A Ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.

Tidak Dapat Dilaksanakan

Selain dari masalah hukum penerapan UU Tipikor terhadap tindak pidana perbankan, juga masalah hukum penting lainnya untuk diperhatikan penyidik di kejaksaan dan KPK, adalah masalah kewenangan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan pengadilan tipikor. Merujuk ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tipikor, maka dapat disimpulkan bahwa penyidikan dan penuntutan perkara tipikor dalam tindak pidana perbankan tidak dapat dilaksanakan karena UU Perbankan tidak menegaskan bahwa tindak pidana perbankan diancam dengan sanksi ketentuan pidana UU Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Korupsi.

Begitu pula pengadilan tipikor tidak berwenang memeriksa perkara tindak pidana tipikor yang merupakan tindak pidana perbankan sebagaimana telah dicantumkan dalam Pasal 6 huruf c UU Nomor 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara: a. tindak pidana korupsi; b. tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya adalah tindak pidana korupsi; dan/atau c. tindak pidana yang secara tegas dalam undang-undang lain ditentukan sebagai tindak pidana korupsi; rumusan yang sama dengan ketentuan Pasal 14 UU Nomor 31 Tahun 1999.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sejatinya penerapan UU Tipikor terhadap setiap pelanggaran yang termasuk UU Pidana Administratif (Administrative Penal law) dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia, dilarang dan jika diabaikan oleh baik Kejaksaan dan KPK mengakibatkan penerapan hukum UU Tipikor dimaksud batal secara hukum atau dapat dibatalkan.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top