Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Masalah Tata Niaga Telur

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Yulia Kusumaningrum

Harga telur ayam ras yang melonjak membuat rumah tangga kesulitan mengatur gizi keluarga. Harga telur yang kini mencapai 28.000-30.000 rupiah per kilogram mempengaruhi banyak aspek usaha. Sebab telur merupakan bahan baku aneka makanan dan kue yang fungsinya tidak tergantikan. Lonjakan harga telur bukan semata karena bahan baku pakan ternak yang sebagian besar masih impor menggunakan mata uang dollar.

Pemerintah perlu segera membenahi tata niaga telur dari hulu hingga hilir karena menyangkut hajat hidup masyarakat luas dan bahan pangan amat penting. Di semua negara, komoditas telur sangat rentan, baik menyangkut harga maupun proses produksi atau peternakan.

Kualitas telur sangat rentan terhadap kesehatan masyarakat. Contoh kasus di Amerika Serikat (AS) baru-baru ini, ada sekitar 207 juta butir telur dari peternakan North Carolina, AS, tercemar bakteri salmonella braenderup. Kasus tersebut menyebabkan jumlah telur ditarik, lalu dimusnahkan karena menyebabkan puluhan orang sakit.

Masalah telur di AS diawasi ketat oleh Badan Makanan dan Obat setempat (Food and Drug Administration/FDA). Salmonella braenderup merupakan organisme yang dapat menyebabkan infeksi serius dan berakibat fatal pada anak-anak, orang sakit, atau lanjut usia yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah. Telur unsur penting pembuatan makanan olahan protein dalam putih telur bisa menggumpal saat dipanaskan. Dalam dunia tata boga, telur sebagai komponen struktural. Roti, kue, hingga es krim tidak bisa lepas dari telur.

Tata niaga telur perlu dibenahi bersama lintas kementerian (Kemendag, Kementan, Kemenperin, dan Bulog). Kementerian Perdagangan tidak cukup hanya mengeluarkan kebijakan terkait harga acuan telur ayam sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2018. Menyikapi harga telur, Menteri Perdagangan jangan berlindung dengan alasan ada kenaikan biaya produksi pakan seiring dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Jangan juga karena perlambatan produksi ayam bakalan. Kompleksitas pengadaan telur dan daging ayam harus diatasi sampai ke akar.

Selama berabad-abad telur merupakan sumber protein utama warga dunia. Sejarah penggunaan telur dari hasil peternakan bermula di India menggunakan ayam hutan. Jenis ini dikenal sebagai nenek moyang ayam modern yang kemudian tersebar ke daratan Eropa, Tiongkok, dan Timur Tengah.

Jenis-jenis ayam petelur yang relatif unggul mulai mendunia berkat pelayaran kedua Columbus pada abad 15. Sekitar tahun 1800 mulai dilakukan usaha penggemukan ayam secara ilmiah. Setelah Perang Dunia II, teknologi peternakan mulai berkembang pesat dengan dimulainya fabrikasi pakan ternak dan rekayasa genetika untuk mendapat jenis ayam unggul.

Sejak perang dunia II, AS mengalami surplus telur berkat perluasan peternakan ayam Sisir Tunggal Putih Leghorn. Jenis ini mulai bertelur sejak umur 19 pekan. Selain itu, Leghorn bisa memanfaatkan pakan secara efisien dan dapat beradaptasi dengan berbagai iklim. Telurnya juga relatif besar dan berwarna putih digemari masyarakat.

Mengacu pada Permendag 58 Tahun 2018, harga acuan telur ayam untuk produsen dipatok 17.000 sampai 19.000 rupiah per kilogram. Sementara itu, untuk konsumen, harga jualnya telah ditetapkan sebesar 22.000 rupiah per kilogram.

Harga telur ayam dan pengadaan pakan merupakan masalah klasik yang tak terselesaikan. Usaha peternakan rakyat juga selalu terancam kebangkrutan akibat aksi kartel ayam yang menguasai seluruh mata rantai usaha peternakan negeri ini. Presiden Jokowi pernah menegaskan, akan bertindak tegas terhadap pelaku kartel ayam. Namun, kondisi di lapangan ketegasan tersebut belum dijalankan birokrasi daerah.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) pernah mengusut persekongkolan yang dilakukan 12 perusahaan besar yang selama ini menguasai peternakan. Tim penyelidik KPPU menemukan alat bukti cukup terkait dugaan pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Selama ini. peternak rakyat selalu dihimpit mahalnya pakan akibat praktik monopoli. Pangsa pakan terhadap total biaya produksi mencapai 70 persen. Sedangkan, biaya bahan baku mencapai 85-90 persen dari total pakan. Pangsa biaya lainnya seperti DOC (bibit) hanya mencapai 13 persen. Di sisi lain, sekitar 83 persen produksi pakan dialokasikan untuk unggas, 7 persen untuk budidaya ikan, 6 persen untuk babi, dan 1 persen pakan ternak lainnya.

Struktur industri pakan ternak negeri ini merupakan oligopoli dengan rata-rata nilai rasio konsentrasi pasar sekitar 42 persen. Sementara itu, nilai rata-rata Minimum Efficiency Scale (MES) sebesar 17 persen. Artinya, hambatan masuk pasar termasuk tinggi. Nilai MES yang tinggi menjadi penghalang masuknya perusahaan baru ke pasar industri pakan ternak negeri ini.

Amburadul

Kebijaksanaan terkait pengembangan peternakan menjadi amburadul sejak pemerintah membolehkan penanaman modal asing (PMA). Sejak itu, usaha ternak rakyat terpinggirkan. Kebijakan budi daya yang mengatur pembatasan skala usaha ternak lewat UU Peternakan No 67 tidak efektif alias gagal karena peternak besar dan kecil sulit terintegrasi. Masalah lain yang cukup fatal mengenai lokasi pabrik pakan ternak skala besar yang terletak di wilayah bukan penghasil tanaman butir-butiran seperti jagung, kedelai, kacang tanah dan sebagainya. Kondisi ini membuat industri tidak bisa efisien, sehingga perlu merelokasi pabrik.

Perlu solusi cepat dan komitmen tinggi pemerintah untuk sedapat mungkin menjaga ketersediaan pakan berkualitas. Harganya murah untuk usaha peternakan rakyat. Karena dengan harga pakan murah, para peternak bisa mempertahankan usaha. Di kemudian hari bisa meningkatkan skala usaha.

Sedangkan pakan berkualitas menjadikan proses lebih efisien. Industri pakan ternak juga terkendala bahan baku impor seperti jagung, tepung ikan, dan bungkil kedelai. Kondisinya diperparah karena pabrik pakan ternak skala besar proses bisnisnya belum optimal. Sebab utilitasnya baru terpakai sekitar 60 persen dari kapasitas terpasang. Selain itu, industri pakan ternak skala besar cenderung bersifat oligopoli sehingga sulit menjadi tumpuan bagi usaha ternak rakyat.

Selama ini, harga pakan ternak produk pabrikan besar cukup memberatkan peternak kecil. Maka, sebaiknya pemerintah memberi insentif penyediaan pakan ternak alternaltif untuk usaha ternak rakyat. Misalnya, dengan memperbanyak pendirian pabrik pakan ternak skala kecil atau mini feed mill. Sudah banyak proyek percontohan pabrik pakan ternak skala kecil dikerjakan Kementerian Pertanian. Saatnya pabrik tersebut diperbanyak.

Di negara lain, komposisi pakan ternak sudah sesuai dengan pola pertanian. Sedangkan di Indonesia belum terjadi link and match yang tepat antara industri pakan ternak dan pertanian hortikultura dan sektor perikanan yang memproduksi tepung ikan. Pakan ayam harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral yang tepat untuk kualitas gizi telur.

Di negara maju, semua zat adiktif untuk campuran pakan ayam dilarang. Penggunaan hormon untuk ayam juga dilarang. Sedangkan penggunaan antibiotik sangat dbatasi. Rata-rata, ayam memerlukan 1,8 kilogram pakan guna menghasilkan selusin telur.


Penulis Praktisi UMKM Sektor Pangan

Komentar

Komentar
()

Top