Nasional Luar Negeri Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona Genvoice Kupas Splash Wisata Perspektif Edisi Weekend Foto Video Infografis

Masalah Akses Rakyat Menggapai Keadilan

Foto : ISTIMEWA

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran - Romli Atmasasmita

A   A   A   Pengaturan Font

Akses ke Keadilan (AK) atau Access to Justice (AtJ) merupakan kunci keberhasilan dalam penegakan hukum terutama pemberantasan KKN di Indonesia. Hal ini disebabkan dalam praktik penegakan hukum, tidak pernah tidak terjadi serangan balik (counter-attack) dari pihak lawan, khususnya aparatur negara; begitu pula pihak sengketa perorangan.

Diketahui, Indonesia telah memiliki UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik; yang pada intinya memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyampaikan pendapat, informasi mengenai penyelenggaraan negara terkait masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Merujuk pada peraturan perundang-undangan tersebut dan jaminan perlindungan Konstitusi UUD 1945 khusus Bab XA sampai dengan Bab XJ telah paripurna Indonesia menghomati dan memuliakan hak asasi setiap rakyat Indonesia dan dilengkapi dua lembaga kekuasaan kehakiman tertinggi di dalam wadah Konstitusi RI, UUD 1945.

Menilik skala hukum dalam pengaturan hak rakyat Indonesia untuk menikmati kebebasan kehidupan dan perlindungan dari rasa takut (freedom from fear) tidak dapat diragukan lagi. Namun, bagaimana dalam praktik pelaksanaan peraturan perundang-udangan aquo; inilah yang merupakan masalah besar dan PR besar dalam pemerintahan Kabinet Prabowo Subianto lima tahun yang akan datang, 2024-2029, setelah 79 tahun Indonesia Merdeka.

Kita harus mengapresiasi pernyataan Presiden terpilih, Prabowo Subianto, yang mengemukakan secara lantang bahwa kita harus menghapuskan kemiskinan, dan ini yang lebih utama dan terdepan; kita harus basmi korupsi (seharusnya kolusi dan nepotisme). Sudah dapat dipastikan bahwa 270 juta rakyat Indonesia menantikan dengan penuh harap dan was-was, apakah janji Presiden terpilih Prabowo Subianto dapat diwujudkan dalam tempo lima tahun masa pemerintahannya?

Mengapa muncul tanda tanya ini? Disebabkan sejak RI diproklamirkan dan diselenggarakan pemerintahan dengan silih berganti pimpinan nasional dan jajaran kabinetnya, ternyata masih ada kelemahan di beberapa bidang dan sisi kehidupan bangsa ini, antara lain dalam bidang perekonomian nasional. Negara kita merupakan negara berkembang dan sedang memicu agar termasuk negara maju. Namun di bidang pembanguan dan penegakan hukum telah mengalami pasang-surut, dan lebih banyak surutnya (99 persen) dibandingkan dengan pembangunan perekonomian.

Sejatinya, kedua kelompok pembangunan tersebut memiliki hubungan erat atau interdepensi. Kemajuan perekonomian dapat memajukan kesejahteraan dan serta merta mengurangi kemiskinan yang berdampak pada berkurangnya kriminalitas, tetapi pada "kejahatan kerah putih" (white collar crime), fakta terjadi kemandulan penegakan hukum.

Jadi Tolok Ukur

Hal ini disebabkan kekuasaan eksekutif dan yudikatif yang telah menggunakan kewenangannya tidak sesuai dengan tujuan diberikan kewenangannya oleh undang-undang. Keprihatinan rakyat terhadap penegakan hukum terutama dalam pemberantasan KKN telah memuncak dan di masa pemerintahan Prabowo Subianto merupakan titik kulminasi dan sekaligus tolok ukur apakah negri ini dapat meraih cita-cita Indonesia Emas tahun 2045?

Reaksi masyarakat dengan kemampuan sosial-ekonomi lemah bahwa, "hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas" bukan sekadar jargon dan tidak dipandang sebelah mata karena jika diabaikan dan tidak secara serius disikapi pemerintah akan berbalik menjadi, "hukum harus tajam ke atas dan tidak ke bawah".

Berkaca pada pernyataan terakhir ini, sejak dimulainya era Prabowo Subianto lima tahun yang akan datang, akses kepada keadilan harus dibuka selebar-lebarnya oleh penyelenggara negara sebagai abdi 270 juta rakyat Indonesia, bukan abdi dalem pemimpin yang dipilih rakyat secara demokratis.

Sebaliknya, sikap pemimpin dalam penyelenggaraan negara tidak lagi layaknya raja-raja di Jawa sekian abad yang lalu, antara lain menunggu upeti dari hamba sahaya.

Kemampuan dan keberanian mengambil sikap dan keputusan yang tepat dan bijaksana oleh sang Pemimpin dan jajarannya perlu diutamakan terlebih menyangkut kepentingan sosial-ekonomi rakyat dan tidak lagi terpaku pada pembanguan infrastruktur yang telah dirintis mantan Presiden Joko Widodo karena benar pernyataan Prabowo Subianto, kemiskinan harus ditanggulangi karena faktor kemiskinan dapat melemahkan ketahanan nasional bangsa, tetapi bukan hanya makan siang gratis semata-mata.

Bagi 270 juta rakyat, kabinet gemuk atau kurus bukan masalah besar, tetapi yang penting tidak terjadi yang gemuk justru pemimpin dan jajarannya, tetapi rakyatnya tetap kurus. Rakyat Indonesia tidak perlu serius memikirkan utang RI sampai 8.000 trilun rupiah, namun yang diharapkan kecukupan sandang, papan, dan pangan saja karena masalah utang dan lain-lain urusan pemimpin dan jajarannya.

Meski demikian, dari rakyat diperlukan sikap berani menyampaikan kritik sosial dalam batas-batas norma ksesusilaan, agama, ketertiban, dan keamanan. Kebebasan asasi tidak boleh melanggar hak asasi orang lain atau melecehkan negara dan pemimpinnya. Dalam kenyataan praktik penegakan hukum di dalam kehidupan sehari-hari rdapat fenomena sosial menarik untuk kita perhatikan dengan serius.

Fenomena tersebut adalah saling lapor antara pelapor dan terlapor dalam masalah pidana atau antara tergugat dan pengugat dalam masalah perdata yang dipicu oleh ketidakpahaman tentang hukum dan dalam fenoma hukum inilah diperlukan kesadaran hukum terutama dari para advokasi hukum dan aparatur hukum karena fenomena tersebut telah merusak hubungan sosial antarwarga dalam kehidupan masyarakat yang dikenal paguyuban di mana asas musyawarah dan mufakat merupakan ciri karakteristik kepribadian bangsa ini sejak lama.

Pertanyaan khusus mengenai fenomena ini, apakah segala pertikaian antara warga dan antarwarga dan negara dalam masalah pidana dan perdata tidak dapat diselesaikan sesuai asas tersebut? Apakah penyelesaian melalui proses peradilan merupakan satu-satunya solusi memulihkan hubungan sosial antarwarga yang bertikai? Hal ini juga kerap terjadi dalam hal hubungan antara warga dan negara.

Masalah-masalah hukum dan hak rakyat memperoleh kepastian dan keadilan sejatinya bersumber dari masalah akses keadilan yang tersumbat atau sengaja disumbat. Wallahualam bissawab.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top