Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Mampu Melawan Banyak Varian

Foto : Noriko Hayashi/Bloomberg
A   A   A   Pengaturan Font

Vaksin cacar pertama kali dikembangkan oleh Edward Jenner asal Inggris pada 1796. Vaksin untuk melawan virus vaccinia ini telah terbukti membuat dunia bebas dari penyakit cacar (smallpox), dengan kasus terakhir terjadi pada 1977 di Somalia, setelah Organisasi Kesehatan Dunia melakukan kampanye vaksinasi global terkoordinasi.
"Tidak seperti vektor vaksin adenovirus simpanse AstraZeneca yang digunakan dalam suntikan Covid-19, vaksin yang dikembangkan Michinori Kohara menggunakan jenis vaksin cacar yang telah digunakan sebagai vaksin dan yang kemanjuran dan keamanannya telah ditetapkan sebagai vektor," kata Tetsuo Nakayama, profesor di Kitasato Institute for Life Sciences dan direktur Japanese Society of Clinical Virology yang tidak terlibat dalam pengembangan vaksin.
Meskipun tidak ada vaksin yang dikatakan benar-benar tanpa efek samping, virus vaccinia telah digunakan dengan aman dalam vaksin cacar selama lebih dari dua abad. Varian dari Virus vaccinia yaitu Dairen I (Dis), yang digunakan dalam vaksin membuat virus mampu bereplikasi pada mamalia.
Itu berarti kemungkinan akan menyebabkan reaksi efek samping yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan vaksin Covid-19 lainnya. "Sebelum pemberantasan cacar pada tahun 1980 vaksin cacar digunakan sampai tahun 1976, dan hampir semua orang yang lahir sebelum tahun 1976 telah menerimanya," katanya.
"Meskipun tikus yang menerima vaksin cacar memiliki efek kekebalan yang dikonfirmasi, mungkin ada efek kekebalan yang berkurang pada manusia yang menerima vaksin cacar," lanjut Nakayama seperti tikutip Japan Times.
Kekhawatiran atas berkurangnya kemanjuran juga telah dikemukakan untuk vaksin yang menggunakan adenovirus sebagai vektor untuk mengirimkan gen atau antigen vaksin. Para ahli mengatakan penerima vaksin dapat memiliki kekebalan yang sudah ada sebelumnya terhadap vektor itu sendiri, yang dapat mengurangi kemanjuran vaksin.
Penyelidik emeritus pada Institut Ilmu Kedokteran Metropolitan Tokyo sekaligus peneliti tersebut, Michinori Kohara mengatakan telah menemukan solusi untuk masalah tersebut. Vaksin biasanya diberikan ke dalam otot di bawah kulit atau ke dalam lemak subkutan.
"Jika penerima menerima vaksin virus vaccinia melalui metode konvensional ini, ada bukti yang menunjukkan bahwa metode inokulasi intradermal yang jarang digunakan, suntikan dangkal tepat di bawah kulit, akan memastikan kemanjuran vaksin tanpa masalah," katanya.
Tes laboratorium juga telah mengonfirmasi kemanjuran luas vaksin terhadap varian virus korona, termasuk varian Delta. Meskipun ada empat vaksin berbeda yang dikembangkan secara global untuk berbagai varian flu burung. Kemanjuran terhadap semua varian virus telah ditunjukkan dari kandidat vaksin tunggal vaccinia-nya.
Vaksin yang dikembangkan dari virus vaccinia kemungkinan akan menunjukkan kemanjuran terhadap varian Omicron juga. Keuntungan lain dari vaksin ini adalah kemampuannya untuk disimpan dalam waktu lama dalam bentuk kering pada suhu kamar, yang akan sangat bermanfaat bagi negara berkembang dengan iklim tropis.
Kohara memaparkan, saat ini setiap orang perlu divaksinasi sesering mungkin, setiap tiga atau enam bulan. Selain itu para ahli perlu membuat vaksin baru setiap kali varian baru yang menjadi perhatian muncul.
"Jadi jika kemanjuran vaksin kami bertahan bahkan selama satu tahun, dua tahun atau tiga tahun, itu akan berarti penghematan besar senilai triliunan yen untuk infrastruktur sosial secara keseluruhan. Vaksin ini juga memiliki kekebalan silang yang tinggi untuk bekerja melawan banyak varian, jadi dua hal ini saja yang membenarkan pembuatan vaksin ini," ujar dia. hay


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top