Majikan di Singapura Harus Mempekerjakan Pembantu sesuai Kontrak Kerja
MENUNGGU TRANSPORTASI I Pembantu rumah tangga asal Indonesia sedang menunggu transportasi yang akan membawa mereka ke agen pembantu setelah melalui pemeriksaan kesehatan di Singapura,beberapa waktu lalu.
Foto: ROSLAN RAHMAN/AFPSelama lebih dari lima tahun, Siti (bukan nama sebenarnya) pembantu rumah tangga (PRT) asal Jawa Timur, bekerja selama 16 jam untuk keluarga Ang Mo Kio. Setiap hari antara tahun 2010 dan 2015, mulai pukul 5.30 pagi, ia membersihkan flat lima kamar majikannya di lantai 10, dilanjutkan ke flat lima kamar milik ibu majikannya gedung yang sama. Setelah itu, Siti harus memasak untuk kedua flat itu.
Meskipun kelelahan karena baru menuntaskannya setelah pukul 21.30 setiap hari, dengan waktu istirahat hanya setengah jam untuk makan siang, wanita berusia 35 tahun itu tidak pernah melaporkan pelanggaran penugasan tersebut kepada pihak berwenang.
"Saya tahu itu tidak benar, tapi saya masih muda dan baru. Saya takut mendapat masalah dengan majikan karena saya pikir saya akan masuk daftar hitam. Saya lebih baik tidak bicara, jadi saya ikuti saja," katanya.
"Tujuan saya di sini adalah untuk bekerja dan menghasilkan uang, bukan untuk membuat masalah," tutur Siti.
Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, akhirnya Siti tak kuasa menanggung beban kerja yang begitu berat, lalu ia meminta pulang. Dua bulan kemudian, dia berhubungan dengan agen TKI lain dan kembali bekerja pada majikan baru di Singapura.
Masalah para PRT yang dipekerjakan secara ilegal menjadi sorotan setelah Parti Liyani, mantan PRT yang dipekerjakan oleh Liew Mun Leong dan keluarganya, dibebaskan dari tuduhan mencuri di rumah majiknanya itu. Buntutnya, pekan lalu, Liew mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Kepala Changi Airport Group dan ekskutif di biro konsultan infrastruktur ternama di Asia, Surbana Jurong, serta dua jabatan penting lainnya.
Selama bekerja, Parti diminta membersihkan rumah dan kantor putra Liew, Karl Liew, dan pengadilan menemukan bahwa Liew memecatnya dan membuat laporan pencurian ke polisi yang menuduh pencurian setelah Parti mengancam akan melaporkan pelanggaran tersebut ke Kementerian Tenaga Kerja Singapura (MOM).
Angka resmi menunjukkan penempatan ilegal pekerja rumah tangga asing (PRT) di Singapura dianggap sebagai masalah kecil. Tetapi, hasil wawancara dengan sejumlah PRT telah memberikan gambaran yang berbeda.
The Sunday Times melaporkan, tujuh dari 12 PRT telah diminta oleh majikannya untuk melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya yang tidak sesuai kontrak. Tidak ada dari mereka yang melaporkan pelanggaran tersebut ke MOM.
Seperti Siti, mereka mengaku tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang aturan ketenagakerjaan, ketakutan akan dampaknya, dan khawatir laporannya akan sia-sia.
Seorang PRT yang minta disebut dengan nama Diyah, mengatakan lima majikan sebelumnya memintanya untuk bekerja di rumah anggota keluarga lain, atau tempat kerja mereka. Diyah mengatakan bahwa dia tidak mengetahui aturan tersebut, selama menjalankan tugasnya dengan dua perusahaan pertamanya.
Majikan ketiganya mengaku mendapat persetujuan MOM, meski tidak pernah berkonsultasi dengannya tentang pengaturan tersebut, dan Diyah mengatakan dia tidak tahu bagaimana memverifikasi masalah tersebut.
Demikian pula Lara, warga Surabaya, diminta tidak hanya merawat dua rumah di kondominium yang sama, tetapi selama delapan bulan juga membersihkan kantor majikannya. Pada akhir masa kerjanya, Lara telah memberi tahu agensinya tentang pelanggaran itu, tetapi tidak yakin apakah masalah tersebut telah dilaporkan ke MOM.
"Saya masih kena pemotongan waktu itu," katanya, merujuk pada periode awal kerja dengan sebagian gaji masuk ke agen.
"Saya tidak ingin banyak masalah karena istri bos saya pemarah. Jadi, saya hanya ingin menyelesaikan pemotongan dan menelannya. Saya tahu itu tidak benar," tuturnya pasrah.
Berdasarkan undang-undang di Singapura, majikan harus memastikan bahwa pembantu rumah tangga hanya melakukan tugas rumah tangga dan dapat bekerja untuk majikan mereka hanya di alamat yang tertera pada izin kerja mereka.
Minggu lalu, MOM mengatakan bahwa antara 2017 dan 2019, telah menerima rata-rata 550 laporan per tahun soal pekerja rumah tangga yang dipaksa bekerja secara ilegal oleh majikan, atau anggota rumah keluarganya. Angka itu adalah 0,2 persen dari lebih dari 236.000 majikan PRT di Singapura.
Ketakutan
Kementerian itu mengatakan bahwa setelah diselidiki, sebagian besar kasus adalah PRT yang dipekerjakan ke rumah anggota keluarga dekat untuk merawat anak-anak atau manula di sana.
"Ini diizinkan selama para pembantu menerima pengaturan tersebut, tidak diharuskan untuk melakukan pekerjaan rumah tangga dua keluarga, dan kesejahteraan mereka diurus," kata MOM.
Mereka yang dinyatakan bersalah mempekerjakan PRT secara ilegal dapat didenda hingga 10.000 dollar, dan dilarang mempekerjakan PRT. MOM mengatakan setiap tuduhan ditangani dengan serius melalui penyelidikan, tetapi mereka tidak merinci berapa ambang batas untuk penuntutan.
"Dalam kasus yang serius, seperti di mana PRT asing secara teratur dikerahkan untuk melakukan pekerjaan nonrumah tangga atau untuk bekerja di tempat komersial dalam jangka waktu yang lama, majikan dapat didenda dan juga dilarang mempekerjakan PRT," tambahnya.
Tentu saja, tidak semua PRT yang dipekerjakan secara ilegal memiliki pengalaman negatif. Seorang pekerja berusia 41 tahun mengatakan kepada Straits Times bahwa dia dengan senang hati membersihkan rumah ibu majikannya dua kali seminggu dengan gaji tambahan 50 dollar, karena anak-anak telah dewasa dan beban pekerjaannya jadi berkurang.
"Tidak terlalu melelahkan, dan majikan saya sangat pengertian dan tidak memaksa saya untuk pulang. Biasanya pada hari-hari itu, dia tidak akan menyuruh saya memasak makan malam," kata pria asal Semarang, Jawa Tengah, ini.
Tetapi, Presiden Kelompok Pendukung Jaringan Keluarga Indonesia, Ummai Ummairoh, mengatakan kondisi di mana kedua belah pihak diuntungkan sangat jarang terjadi.
"Bahkan jika pekerja mengatakan kepada majikan bahwa dia baik-baik saja, banyak yang mengatakan ya dan menerima uang itu karena mereka takut," katanya.
Ke depan, Ummai berharap agar pekerja rumah tangga asing dan majikan menjalin komunikasi yang lebih baik dan mengikuti aturan.
Organisasi nonpemerintah (LSM) menunjukkan bahwa ketidakseimbangan kekuatan antara majikan dan pembantu, serta ketakutan akan tindakan pembalasan, membuat banyak kasus tidak dilaporkan.
"Pekerja sering setuju untuk mengambil bagian dalam kegiatan semacam itu (meskipun mereka tahu itu ilegal) karena mereka takut dimarahi atau dipecat jika mereka menolak," kata seorang juru bicara Organisasi Kemanusiaan untuk Ekonomi Migran.
n SB/Straitstimes/P-4
Redaktur: Khairil Huda
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Meminta TNI dan Polri Hindarkan Indonesia jadi Negara yang Gagal
- 2 Rilis Poster Baru, Film Horor Pabrik Gula Akan Tayang Lebaran 2025
- 3 Lestari Moerdijat: Tata Kelola Pemerintahan Daerah yang Inklusif Harus Segera Diwujudkan
- 4 Tayang 6 Februari 2025, Film Petaka Gunung Gede Angkat Kisah Nyata yang Sempat Viral
- 5 Majukan Ekosistem Digital Indonesia, Diperlukan Kolaborasi Pemerintah dan Masyarakat
Berita Terkini
- Carlos Pena: Persija Kini Bidik Empat Besar
- Mantap! DPR Setujui Naturalisasi Romeny, Geypens, dan Markx
- Dukung Ketahanan Pangan, Pemkot Bengkulu Usulkan 15 Ton Benih Padi
- Pemprov DKI: Beli Elpiji 3 Kg Pakai KTP untuk Antisipasi Penyalahgunaan
- Pengecer Minta Pertamina Beri Harga Khusus Gas 3 Kg agar Tetap Untung