Logika Bengkok Proses Demokrasi Jakarta
Foto: istimewaJAKARTA adalah miniatur Indonesia. Maka, apa pun yang terjadi di bekas Ibu Kota Negara ini bisa jadi gambaran nasional, termasuk praktik-praktik “demokrasi.” Mengapa demokrasi tanda petik? Sebab di negeri ini belum pernah ada demokrasi (sejati). Semua hanya klaim baik oleh pemerintah maupun pihak lain bahwa di sini ada demokrasi.
Dari investigasi lapangan dan studi kepustakaan, Jakarta menjadi contoh buruk praktik-praktik atau proses (menuju) demokrasi. Ini bisa dilihat dari Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta. Di sini setidaknya ada dua masalah yang bisa disoroti.
Pertama, Pilgub Jakarta Tahun 2017 yang diikuti (petahana) Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berpasangan dengan Djarot Saiful Hidayat. Lalu mantan Mayor TNI Agus Harimurti Yudhoyono yang menggandeng Sylviana Murni. Kemudian, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Anies Baswedan, dengan Sandiaga Uno. Kemudian Ahok dan Anies berhasil maju ke putaran kedua.
Di putaran dua inilah terjadi praktik-praktik ‘menghalalkan’ segala cara demi meraih kursi nomor satu di Jakarta. Jalan itu perlu ditempuh salah satu kandidat untuk mendongkrak perolehan suara dalam putaran kedua. Sebab dalam putaran pertama, pasangan Ahok-Djarot cukup unggul dengan mendapat 2.364.577 (42,99 persen) suara. Sedangkan kubu Anies-Sandi meraih 2.197.333 (39,95 persen). Sisanya milik Agus-Sylvi (937.955/17,06 persen).
Kubu Anies-Sandi dalam putaran kedua dinilai banyak memainkan politik identitas terutama SARA. Mereka khawatir dengan hasil putaran satu. Maka, untuk menggerus suara lawan, kalau dilakukan secara “normal” mungkin tidak akan mendongkrak suara. Untu itu, dicari cara ekstra. Entah siapa yang menemukan, lalu muncullah kasus identitas yang membawa-bawa agama tersebut.
Jelas, timsesnya banyak disorot telah memainkan politik identitas (SARA). Pengamat politik LIPI, Siti Zuhro, menilai bahwa Pilkada Jakarta 2017 sebagai pilkada terburuk karena tidak mampu mengedepankan rasionalitas dan terjadi penggiringan ke isu sensitif seperti SARA.
Politik identitas berhasil. Semua tahu, akhirnya Anies-Sandi menang dengan memperoleh 3.240.987 (57,97 persen) suara. Sedangkan Ahok-Djarot meraih 2.350.368 alias 42,04 persen suara. Jadi, Pilgub Jakarta ini tak bisa disebut sebuah proses demokrasi.
Kemudian sorotan kedua, terjadi dalam Pilkada Serentak 2024 atau kalau di Jakarta adalah Pilgub 2024 yang diselenggarakan 27 November, pekan depan. Pilgub Jakarta 2024 juga diikuti tiga pasangan. Kekecewaan telah membuat panik dan gelap kubu pendukung Anies Baswedan karena gagal maju. Maka, muncullah gerakan coblos tiga. Ini adalah gerakan untuk mencoblos semua kandidat, ketiga-tiganya pasangan calon.
Dari penelusuran ke lapangan diperoleh informasi bahwa gerakan ini untuk memenangkan golongan putih (golput). Sebab dengan mencoblos ketiga kertas suara, suara mereka hilang atau tidak dihitung. “Kami berharap ada kekacauan, sehingga diadakan pencalonan ulang,” seru salah satu sumber yang tentu saja tak mau disebut namanya. Gerakan ini sempat mendapat respons dari para anak abah.
Namun, belakangan, sumber tersebut mengakui bahwa di kalangan internal sendiri, semangat coblos tiga, menyurut seiring perjalanan waktu. Hanya, mereka tetap akan golput. Semangan coblos tiga, mendapat tanggapan tidak dewasa, saat itu, yang disampaikan Anies Baswedan, dengan mengatakan, “Itu hak warga negara, harus dihargai.”
Jelas ini pernyataan sangat salah. Kalau seorang demokrat, meski gagal maju, tetap harus memberi pencerahan. Anies harus menuntut sikap yang benar dari para pendukung, dengan melarang niat mencoblos ketiga-tiganya, karena itu kekanak-kanakan. Tapi, itu tak dilakukan Anies.
Bahkan Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, menegaskan, gerakan untuk mencoblos tiga pasangan calon dalam Pilkada Jakarta 2024 berbahaya bagi demokrasi Indonesia. Menurut dia, aksi coblos tiga pasangan calon itu muncul dari gerakan anak abah alias pendukung Anies Baswedan. Ini adalah ekspresi kemarahan lantaran tokoh yang mereka dukung gagal bertarung dalam Pilkada Jakarta 2024. Belakangan anak abah apel 15.000 orang untuk menjaga TPS. Itu lebih baik daripada coblos tiga.
Sorotan lain, menggerakkan kelompok-kelompok (agama) garis keras. Salah satu kubu lagi-lagi secara salah menggunakan isu-isu agama untuk tujuan politik. Ini adalah praktik yang tidak perlu ditiru karena itu bukan demokrasi.
Belum lagi aksi-aksi rekayasa KIM plus bersama mitra DPR-nya untuk membuat Pilgub Jakarta agar hanya diikuti satu pasangan calonnya. Untung ada putusan MK, sehingga ada partai lain yang juga bisa mencalonkan kadernya. Maka, gagallah paslon KIM melawan kotak kosong.
Proses demokrasi Jakarta mungkin sudah parah. Tetapi, secara nasional ternyata jauh lebih parah. Lihat saja, salah satu kasus terbobrok adalah kongkalikong MK (dan DPR), sehingga ada calon muda yang belum cukup umur, akhirnya bisa ikut pemilu. Itu berkat peran sang paman. Dengan mudah syarat 40 tahun untuk presiden/wapres, simsalabim, diubah. Syarat itu dinegasikan, bila yang bersangkutan pernah menjadi kepala daerah.
Kegagalan Partai
Partai yang mestinya menjadi gerbang demokrasi, tak bisa diharapkan. Sebab di negeri ini, semua partai milik keluarga, menjadi aset keluarga. Maka, tak pernah akan terjadi nonkeluarga menjadi pimpinan partai. Contoh bagaimana Ketua Umum PDIP Megawati mempertahankan kursi. Dia punya cara sendiri. Warga partai (dilontarkan yang setia) minta agar Megawati mau kembali menjadi ketua umum.
Megawati (pura-pura) mengatakan, “Nanti, saya pikir-pikir dulu.” Kemudian dia bicara, ada yang mau mengambil PDIP. Megawati lalu sontak, “Saya mau lagi menjadi ketua umum.” Alasannya untuk mempertahankan PDIP dari pengambilalihan. Padahal tidak ada yang mau mengambil-alih. Itu isu yang dilontarkan dari internal atau oleh Mega sendiri.
Partai Demokrat juga suksesi internal dari bapak ke anak. Tak mungkin berharap demokrasi lahir dari partai-partai di Indonesia. Di dalam partai saja tidak ada demokrasi, maka tidak mungkin melahirkan demokrasi. Nemo dat quod non habet, kata bahasa Latin. Artinya, kalau tidak punya, tidak bisa memberi. Tidak punya demokrasi, tidak bisa memberi demokrasi.
Sebenarnya yang diharap peran banyak dalam menuju demokrasi adalah pers atau media. Namun, untuk di negeri ini, media sekarang juga tengah berjuang untuk diri sendiri. Mereka berjuang melawan gaji rendah dan melawan kebangkrutan. Ini membuat wartawan tak bisa lepas dari penerimaan ‘transport.’ Jelas ini membuat berita miring. Sedangkan pimpinan media, bermain jauh lebih canggih, sehingga ‘transport’ yang didapat juga jauh lebih banyak.
Selagi masih dalam kondisi seperti ini, entah partai, entah media, jangan diharap untuk melahirkan demokrasi. Lalu dari mana mengharap? Demokrasi mungkin bisa diharap dari kampus dan aksi jalanan. Kampus mungkin masih bisa diharapkan. Sebab aksi jalanan juga penuh pemain bayaran. Kalau sudah direkrut partai, seperti kacang lupa kulit. Lihat saja, mereka yang mengaku-ngaku aktivis sembilan lapan. Sudah duduk di ruang dingin ber-AC (DPR), berbaju bagus, dan wangi, malsa berpanas-panas di jalanan. Mereka sudah duduk di kursi empuk, nyaman, duit banyak. Bahkan tak masalah pindah-pindah partai demi mengejar jabatan.
Dengan kondisi sekarang, memang belum waktunya berharap ada demokrasi di Indonesia. Ini bukan sikap pesimistis, namun memang demikian realitanya.
Berita Trending
- 1 Pasangan Andika-Hendi Tak Gelar Kampanye Akbar Jelang Pemungutan Suara Pilgub Jateng
- 2 Cawagub DKI Rano Karno Usul Ada Ekosistem Pengolahan Sampah di Perumahan
- 3 Kampanye Akbar Pramono-Rano Bakal Diramaikan Para Mantan Gubernur DKI
- 4 Spanyol Ingin Tuntaskan Fase Grup UEFA Nations League dengan Kemenangan
- 5 Transjakarta Beroperasi Hingga 23.00 Saat Timnas Indonesia Lawan Arab