Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Perlindungan Produsen I "Predatory Pricing" Berupaya Kuasai Data dan Perilaku Konsumen

Lindungi UMKM Dari "Predatory Pricing" Aplikasi Asing

Foto : ANTARA/AKBAR NUGROHO GUMAY

NAILUL HUDA Direktur Ekonomi Digital Celios - Peran pemerintah sangat penting untuk memastikan setiap barang impor yang dijual melalui marketplace sudah mengikuti aturan yang ada, sehingga produk-produk lokal yang selama ini kalah bersaing karena faktor harga bisa lebih terlindungi.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah diminta mengawasi ketat peredaran barang impor yang dipasarkan melalui aplikasi perdagangan elektronik atau e-commerce. Perlunya pengawasan ketat itu karena aturan yang dikeluarkan Menteri Perdagangan hanya memperketat perdagangan lintas batas atau cross border commerce, bukan semua barang impor yang sudah masuk ke Indonesia.

Direktur Ekonomi Digital Celios, Nailul Huda, mengatakan pelarangan dan penutupan operasional platform TikTok Shop justru menguntungkan bisnis niaga elektronik lain yang menjual barang impor murah sehingga produk impor tetap dominan.

"Peraturan Menteri Pedagangan Nomor 31 Tahun 2023 hanya ketat mengatur cross border commerce. Untuk barang impor yang sudah ada di Indonesia, platform masih bebas menjual dan memberikan diskon yang berpotensi memunculkan predatory pricing," kata Huda dalam keterangan di Jakarta, Senin (9/10).

Shopee, kata Huda, bakal menjadi platform yang paling diuntungkan dari keluarnya peraturan yang mengatur niaga sosial tersebut. Shopee dan TikTok Shop sama-sama menjual barang impor secara langsung dari luar negeri.

Menurutnya, penutupan platform TikTok Shop hanya memindahkan barang impor dari TikTok ke platform niaga elektronik lain. Bahkan, termasuk juga transaksi melalui Instagram maupun WhatsApp dengan sistem keamanan tidak terjamin.

"Peran pemerintah sangat penting untuk memastikan setiap barang impor yang dijual melalui marketplace sudah mengikuti aturan yang ada, sehingga produk-produk lokal yang selama ini kalah bersaing karena faktor harga bisa lebih terlindungi, termasuk dari aksi predatory pricing yang kerap dilakukan aplikasi asing," kata Huda.

Lebih lanjut, dia melihat positif Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang mengatur batas minimal impor barang oleh lokapasar minimal 100 dollar AS atau sekitar 1,5 juta rupiah.

Meski demikian, implementasi dari regulasi tersebut menjadi perhatian jutaan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Selama ini, UMKM lokal telah menjadi korban predatory pricing dari produk-produk impor yang dijual oleh lokapasar asing.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga telah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap derasnya barang-barang impor yang dijual sangat murah melalui aplikasi daring.

Menurut Presiden, selain berhasil mengumpulkan data dan perilaku konsumen di Indonesia, 90 persen barang yang dijual melalui aplikasi tersebut adalah barang impor. Bahkan, Presiden menyebut ada baju yang dijual melalui platform daring seharga lima ribu rupiah.

"Ada predatory pricing, bakar uang untuk menguasai data, menguasai perilaku konsumen kita. Jangan sampai kita terlena, nggak sadar tahu-tahu kita sudah dijajah secara ekonomi," ungkap Presiden Jokowi pekan lalu.

Persaingan Tidak Sehat

Pada kesempatan terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Katolik Atmajaya, Yohanes B Suhartoko, mengatakan teknologi informasi telah menciptakan platform e-commerce dan social commerce yang mendunia dan penggunaannya tidak bisa dibatasi. Akibatnya dunia seperti tanpa batas. Persaingan bukan hanya antarplatform, tetapi juga antarpenjual dalam platform tersebut.

"Praktik-praktik persaingan usaha tidak sehat sangat berpotensi terjadi seperti predatory pricing dengan banting harga, bakar uang yang mengarah ke monopoli dapat saja terjadi. Beberapa negara mendorong dan memfasilitasi UMKM dan perusahaan untuk masuk dalam marketplace dengan memberikan pelatihan dan subsidi," kata Suhartoko.

Maka produk mereka bisa dijual dengan harga murah di negara lain dan mematikan usaha di negara lain. Dalam sistem ekspor impor tradisional, model seperti itu bisa dilawan dengan tarif atau kuota. "Dalam perdagangan internasional yang memanfaatkan marketplace semacam ini, situasinya menjadi lebih kompleks melibatkan lebih banyak pedagang dengan volume yang kecil, sehingga pengaturannya harus sangat detail baik secara bilateral maupun multilateral," katanya.

Direktur Eksekutif Information Communication Technology (ICT) Institute, Heru Sutadi, menambahkan kalau predatory pricing harus diwaspadai karena ada produk-produk dari luar yang dijual sangat murah dengan ongkos kirim gratis. "Ini tentu akan membuat pelaku bisnis e-commerce di Indonesia terutama UMKM yang menyediakan produk sebagai produsen akan sulit bersaing dengan produk yang dijual murah tersebut," papar Heru.

Untuk mengawasi praktik perdagangan yang tidak fair itu, dia mendorong Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) agar lebih proaktif memantau jalannya perdagangan di e-commerce.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Komentar

Komentar
()

Top