Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Lindungi Anak dan Perempuan, DPR Aceh Revisi Qanun Hukum Jinayat

Foto : antara

Ketua DPR Aceh Saiful Bahri memimpin RDPU DPR Aceh di ruang sidang utama parlemen Aceh di Banda Aceh.

A   A   A   Pengaturan Font

BANDA ACEH - Kekerasan terhadap anak dan perempuan di Provinsi Aceh kian meresahkan. Hukuman pidana terhadap pelaku selama ini dinilai sejumlah kalangan masih ringan sehingga tidak menjerakan pelaku.

Oleh karena itu, perlu merevisi peraturan. Apalagi perkembangan sosial juga kian dinamis sehinggaQanunHukumJinayatyang berlaku di Provinsi Aceh perlu ada penguatan dan penyempurnaan.

Bertempat di gedung utama DPR Aceh, berbagai elemen masyarakat dan instansi terkait duduk bersama membahas perubahanQanunAceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang HukumJinayat.

Dalam rapat yang dipimpin Ketua DPR AcehSaifulBahriatau PonYahya, para wakil rakyat terpanggil segera melakukan perubahanqanuntersebut mengingat tingginya angka pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan.

Sebagai bagian dari Negara Kesatuan RI, Aceh memang memiliki keistimewaan dan kekhususan, salah satunya untuk melaksanakan syariat Islam dengan menjunjung tinggi keadilan, kemaslahatan, dan kepastian hukum.

Hukumjinayat(pidana) merupakan bagian dari syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh, yang penerapannya sesuai dengan amanat Pasal 125 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Namun, menurut dia, penerapanQanunHukumJinayatsering menimbulkan sejumlah perdebatan terutama berkenaan dengan bentuk hukuman dan peraturan tentang pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Karena itu DPR Aceh pada tahun 2022 sepakat untuk memperkuatQanunHukumJinayatdengan melakukan perubahan.

Rapat dengar pendapat umum ini bertujuan menyempurnakan substansi rancanganQanunAceh tentang HukumJinayatdan untuk memenuhi Pasal 22QanunAceh Nomor 5 Tahun 2011 tentang Tata Cara PembentukanQanun, yang antara lain menyatakan masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis lewatRDPU, sosialisasi, seminar lokakarya, atau diskusi.

DPRAmenaruh harapan besar bahwa melalui kegiatan tersebut mampu mendapatkanmasukan yang tepat untuk menyempurnakan produk hukum daerah itu.

Menjawab Persoalan

Menurut Ketua Komisi IDPRAIskandarUsmanAlFarlaky, revisiQanun(Perda) Aceh tentang HukumJinayatuntuk memperkuat perlindungan anak korban kekerasan seksual di Tanah Rencong.

Pasal-pasal yang dibahas dan diubah berkaitan dengan kekerasan seksual terhadap anak.

Sejauh ini Komisi IDPRAtelah merampungkan pembahasan perubahanQanunAceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang HukumJinayattersebut dan sudah dinyatakan final.

RevisiQanunHukumJinayatdilakukan terbatas, hanya untuk memperkuat pasal terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual.

Adapun pasal yang direvisi berkaitan dengan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak, yakni Pasal 33, Pasal 34, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 50, Pasal 51, dan Pasal 72.

Selain itu, perubahan peraturan tersebut juga fokus pada perlindungan dan pemenuhan hak anak yang menjadi korban kekerasan seksual, seperti pelecehan dan pemerkosaan.

Revisi tersebut merupakan realisasi atas komitmen memberi perlindungan anak. Pertama, merumuskan hukuman pemberat bagi pelaku, yang selama ini hukumannya pilihan antara cambuk, denda, dan/atau penjara.

Setelah perubahan qanun disahkan, terhadap pelaku selain akan dicambuk juga dipenjara sehingga bukan lagi bersifat alternatif, melainkan kumulatif. Hak pemulihan terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual diharapkan juga dapat berjalan baik.

DPR Aceh menargetkan perubahan qanun tersebut bisa disahkan tahun 2022 sehingga tahun 2023 bisa langsung diberlakukan.

"Kami harap revisi ini bisa menjawab permasalahan hukuman terhadap pelaku, yang selama ini dianggap ringan (vonisnya), bahkan sering diputus bebas," kataIskandar.

Revisi Tepat

RevisiQanunAceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang HukumJinayatdinilai juga telah mengakomodasi hak pemulihan terhadap anak dan perempuan korban kekerasan seksual.

LBHBanda Aceh melihat ada niat baik dari revisiQanunJinayat, juga menunjukkan keseriusan menghukum pelaku sekaligus memulihkan korban.\

DirekturLBHBanda AcehSyahrulmenjelaskan sebelum dilakukan perubahan,QanunJinayathanya mengatur bagaimana memberikan hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual dan sanksi ini belum cukup memberikan efek jera kepada pelanggar.

Dalam draf revisi saat ini dimasukkan tentang pemberatan hukuman hampir 10 kali lipat terhadap pelaku serta mengatur pemulihan terhadap korban.

Setelah revisi qanun disahkan maka setiap anak yang menjadi korban kekerasan seksual akan menerima hak restitusi sertamendapatanpendampingan pemulihanpsikisdannonpsikis.

Oleh karena itu, revisi QanunJinayatkali ini dinilai lebih maju, baik dalam upaya pemberian hukuman kepada pelaku kekerasan seksual maupun pemulihan korban.

QanunJinayatini sesungguhnya bagian kecil dari perlindungan anak karena di dalamnya tidak mengatur tentang langkah pencegahan terjadinya kasus.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, sejak Januari sampai September 2022, korban kekerasan terhadap anak dari seluruh kabupaten/kota di Aceh mencapai 443 kasus.

Periode Januari sampai hari ini masih tinggi kasus kekerasan di Aceh, mulai dari pelecehan, sodomi, pemerkosaan, inses, dan lainnya. Kasus paling paling tinggi adalah pemerkosaan dan pelecehan seksual.

Mitigasi

Mitigasi kekerasan berbasisgenderdapat dilakukan dengan pendidikan dan kebijakan pemerintah melalui keberpihakan pada terciptanya keadilan bagi perempuan dan laki-laki.

Salah satu langkah awal untuk mitigasi kekerasan seksual adalah pendidikan yang dimulai dari keluarga.

"Pendidikan menjadi langkah awal mengubah sesuatu. Yang paling utama adalah pendidikan keluarga di rumah kemudian sekolah formal dan lingkungan, bisa berupa agama atau umum," kata kata Presidium Balai Syura,SuraiyaKamaruzzaman.

Selain pendidikan, pemerintah dan pemangku kepentingan juga berperan dengan mengubah kebijakan-kebijakan yang dirasakan masih diskriminatif dan biasgender.

Regulasi tentang kesetaraangenderharus ada, baik itu berbentukqanunmaupun surat edaran gubernur, bupati, maupun wali kota. Segala bentuk kebijakan yang diskriminatif harus dihapuskan.

Revisiqanunyang memberi hukuman lebih berat tersebut diharapkan bakal membuat gentar pelaku. Juga memberi perlindungan lebih besar bagi anak dan perempuan di Tanah Rencong.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Antara

Komentar

Komentar
()

Top