Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Libur Versus Produktivitas

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Nabila Annuria

Jumlah liburan panjang cuti bersama Lebaran tahun ini sempat membuat publik bingung. Akhirnya, pemerintah memutuskan bahwa cuti bersama saat Hari Raya Idul Fitri Tahun 2018 selama tujuh hari. Hal itu ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani. Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri ditandatangani oleh Menteri PAN-RB Asman Abnur, Menteri Agama Lukman Hakim, dan Menteri Ketenagakerjaan.

Dalam keputusan itu, penambahan cuti bersama diberikan dua hari sebelum Lebaran, yaitu 11 dan 12 Juni 2018, serta satu hari setelah Lebaran, yaitu pada 20 Juni 2018. Jadi, jumlah total cuti bersama 7 hari, yaitu 11, 12, 13, 14, 18, 19, dan 20 Juni 2018. Terbitnya SKB membuat Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) keberatan karena panjangnya cuti bersama berdampak pada penurunan produktivitas dunia usaha, khususnya untuk kegiatan ekspor dan proses industri. Banyaknya jumlah libur nasional bagi penyelenggara negara dan karyawan swasta selama ini telah digugat pelaku ekononi dan industri karena berpengaruh negatif terhadap produktivitas.

Libur panjang juga berimplikasi pada membengkaknya anggaran subsidi pemerintah, khususnya untuk bahan bakar minyak (BBM) bagi kendaraan pribadi. Maka, ada baiknya membuat kebijakan saat hari libur, BBM bersubsidi tidak dijual untuk kendaraan pribadi. Apalagi pemerintah sering mengaku sudah sangat sulit mengatasi pembengkakan subsidi BBM. Dari sudut etos kerja, libur panjang bagi birokrasi bisa memperburuk kinerja. Dalam situasi bangsa yang masih terpuruk sekarang, mestinya birokrasi lebih bekerja keras dengan waktu kerja yang ketat. Tanpa tambahan hari libur pun sebetulnya birokrasi Indonesia kerjanya sangat santai.

Tujuan pemerintah untuk memanjakan birokrasi dengan cara menambah hari libur demi mendorong perekonomian daerah dan sebagai stimulus sektor pariwisata sebagai alasan klise. Pada kenyataannya, yang terjadi jutru mereka bermalas-malasan dan buang-buang waktu dengan aktivitas tidak produktif. Seharusnya, pemerintah mengoptimalkan kinerja birokrasi serta memperpanjang jam kerja dengan merevisi Keppres No 68 Tahun 1995. Di situ jam kerja birokrasi hanya 37,5 jam per pekan. Ini paling rendah di Asia Tenggara. Apalagi, dengan pengawasan yang amat buruk jelas tidak mungkin bisa menyelenggarakan roda pemerintahan secara efektif. Idealnya, jam kerja birokrasi Indonesia minimal 45 jam per pekan dengan deskripsi beban kerja yang lebih jelas dan terukur.

Bangsa Indonesia sering tidak sadar, ada bermacam bahaya mengintip di balik liburan panjang birokrasi. Selain memukul etos kerja, liburan panjang dengan tameng cuti bersama merupakan kondisi kelengahan nasional yang bisa dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan pencurian sumber daya alam dan aktivitas penyelundupan. Bahkan, ini bisa menjadi momen empuk untuk merongrong kedaulatan negara. Meskipun aparat telah bertekad tidak tidur sedetik pun dalam menjaga wilayah NKRI, libur berkepanjangan birokrasi pengaruhnya sangat signifikan bagi kinerja operasional angkatan bersenjata.

Dalam konteks ini, sejarah telah mencatat bahwa libur nasional bisa memporak-porandakan stabilitas sebuah bangsa. Hal itu pernah terjadi ketika Israel yang wilayahnya boleh dikatakan sempit disbanding NKRI. Meskipun kesigapan angkatan bersenjata Israel luar biasa, bisa kocar-kacir ketika menjalani libur nasional Yom Kipur yang hanya 2 hari. Merkea mendapat serangan tiba-tiba dari Mesir pada 1973.

Semua bisa membayangkan, apa yang terjadi dengan Indonesia bila tiba-tiba diserang negara asing atau bila terjadi bencana alam dahsyat. Di sisi lain, bagi penyelundup, pencuri ikan dan pelaku illegal logging, saat libur berkepanjangan bagi birokrasi merupakan waktu paling empuk untuk beraksi. Wajar bila ada yang mengatakan, bangsa Indonesia saat ini semakin malas dan serbaingin jalan pintas. Libur panjang telah menguras sumber daya keluarga. Yang tersisa hanyalah antrean panjang di loket pegadaian. Juga banyak keluarga yang harus mencari utang atau menjual harta benda guna menyambung hidup.

Cermin Etos

Efek liburan panjang juga menjadi cermin etos kerja bangsa. Sosiolog Max Weber menyatakan, etos kerja merupakan kunci kemajuan bangsa. Sayangnya, Indonesia belum juga menemukan cara efektif untuk meningkatkan etos kerja bangsa. Dari aspek ideologi bangsa, etos kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab akan masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial menuju kemakmuran.

Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang terpacu ke masa depan lebih baik. Orientasi ke depan harus diikuti penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan capaian. Orientasi ini akan melahirkan semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern.

Dalam ranah psikososial, alam kehidupan para birokrat negeri ini ada prilaku kontras: mencintai pekerjaan atau mengeluh setiap hari. Banyak pihak setuju bahwa birokrat Indonesia kebanyakan belum mencintai pekerjaan setulus hati. Dengan kata lain masih memiliki integritas rendah. Mereka sehari-hari terkena sindrom "5-ng": ngeluh, ngedumel, ngegosip, ngomel, dan ngeyel.

Masih relevan tesis dari MAW Brouwer penulis buku Indonesia Negara Pegawai. Menurutnya, sebagian besar PNS masih bersifat pemalas, tidak inovatif, konsumtif, suka melakukan pungli, dan korupsi. Pernyataan Brouwer diperkuat Fernando de Soto seperti dalam bukunya The Mystery of The Capital. Dia secara gamblang menyingkap mental birokrasi dunia ketiga yang pemalas, pemeras, dan penjahat. Hal itu menjadi kendala utama pembangunan dunia ketiga.

Untuk menghadapi pasar bebas, setiap bangsa dituntut menggenjot produktivitas agar bisa berdampak positif pada perekonomian nasional. Namun, ini terkendala berbagai masalah dan birokrasi. Produktivitas adalah tingkat kemampuan tenaga kerja atau birokrasi dalam menghasilkan barang dan jasa. Produktivitas rendah selain disebabkan etos kerja juga akibat turbulensi career resilience yang semakin kedodoran dalam mengikuti perkembangan zaman. Secara sederhana career resilience adalah pengembangan karir pegawai atau pekerja beserta portofolio kompetensinya.

Pengembangan karir dan kompetensi di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta pekerja industri saat ini dirasakan semakin stagnan. Definisi karir menurut Gibson merupakan rangkaian dan kumpulan pengalaman terkait kerja serta aktivitas yang dipengaruhi sikap-sikap serta perilaku individu dalam organisasi pemerintah atau korporasi. Sebagian besar ASN dan pekerja belum memiliki career path atau alur karir yang ideal.


Penulis bekerja sebagai Quality Control PT Megasurya Mas Sidoarjo

Komentar

Komentar
()

Top