Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Likuidasi Perusahaan I RI Harus Mengantisipasi Melemahnya Ekspor ke Tiongkok

Krisis Utang Pengembang Tiongkok Bisa Berdampak ke Indonesia

Foto : ISTIMEWA

Krisis yang menimpa per­usahaan pengembang ternama Tiong­kok Evergrande

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Krisis yang menimpa perusahaan pengembang ternama Tiongkok Evergrande, berpotensi merambat ke ekonomi global termasuk Indonesia, jika pemerintah gagal mengantisipasi.

Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, di Jakarta, Selasa (30/1), mengatakan krisis bisa merambat ke Indonesia, karena Tiongkok merupakan investor kedua terbesar ke Indonesia setelah Singapura. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat kontribusi investasi terbesar PMA berasal dari Singapura senilai 3,4 miliar dollar AS, lalu Tiongkok 2,6 miliar dollar AS, disusul Hong Kong 2,0 miliar dollar AS, kemudian Jepang 1,0 miliar dollar AS dan Malaysia 0,8 miliar dollar AS.

Dari data tersebut, pemerintah, kata Badiul, harus melakukan antisipasi, terutama ketika hendak membangun kerja sama dengan pemerintah Tiongkok agar tidak berdampak pada perekonomian negara. "Pemerintah juga perlu menyiapkan instrumen pengamanan pembiayaan mengantisipasi dampak terburuk dari krisis tersebut," katanya.

Ia pun mengingatkan soal posisi utang kita. Berdasar data Bank Indonesia (BI), posisi utang pemerintah Indonesia ke Tiongkok mencapai 1,36 miliar dollar AS per Agustus 2023.

"Ini yang perlu diperhitungkan pemerintah Indonesia, terutama dampaknya terhadap keuangan negara," paparnya.

Badiul juga mengingatkan soal ancaman apabila Indonesia berutang untuk pengembangan properti. Dia menjadikan kasus di Tiongkok sebagai gambaran buruknya masa depan utang untuk properti. Utang yang benar harus dialokasikan ke sektor produktif.

Ekonom Celios, Nailul Huda, mengatakan Tiongkok merupakan negara tujuan ekspor terbesar Indonesia. Ekspor nonmigas ke Tiongkok sudah mengalami penurunan di akhir tahun 2023. "Pelemahan kinerja ekonomi Tiongkok sudah berpengaruh ke permintaan ekspor Indonesia," paparnya.

Apalagi, kondisi dalam negeri Tiongkok juga tengah chaos yang mana sektor properti menjadi dampak dari keluarnya beberapa perusahaan asing dari Tiongkok.

Akibatnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi dan pengangguran usia muda meningkat. "Properti banyak yang mangkrak, termasuk Evergrande Group," ungkap Huda.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pengadilan Hong Kong, pada Senin (29/1), memerintahkan likuidasi terhadap Tiongkok Evergrande, pengembang dengan utang paling besar di dunia.

Likuidasi itu diperkirakan dapat memberikan kejutan pada pasar modal dan properti Tiongkok yang sudah rapuh. Kondisi tersebut bisa menjadi rumit dan berpotensi menimbulkan pertimbangan politis, mengingat banyaknya pihak berwenang yang terlibat.

Dikutip dari kantor berita Reuters, setelah perintah likuidasi dikeluarkan, akan ditunjuk likuidator sementara dan kemudian likuidator resmi demi mengambil kendali untuk menjual aset pengembang guna melunasi utangnya.

Selesaikan Masalah Domestik

Pada kesempatan terpisah, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan krisis properti di Tiongkok seperti gelembung yang berdampak ke berbagai sektor pembiayaan. Perusahaan dan lembaga pembiayaan Tiongkok yang sebelumnya masif masuk ke proyek infrastruktur di luar teritori mereka, termasuk ke Indonesia akan berpikir ulang soal kalkulasi risiko.

Fokus utama mereka saat ini adalah menyelesaikan masalah domestik sehingga ekspansi Tiongkok dalam Belt and Road Initiative diperkirakan bisa terpengaruh. "Masalahnya, beberapa proyek strategis Indonesia bergantung pada pembiayaan Tiongkok. Dari sisi kinerja perdagangan perlu diwaspadai adanya kontraksi pada kinerja ekspor ke Tiongkok seiring dengan pelemahan konsumsi dan penjualan ritel di Tiongkok," kata Bhima.

Sementara itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY), Aloysius Gunadi Brata, memperkirakan kolapsnya properti di Tiongkok belum akan berdampak langsung ke situasi finansial global.

"Hal ini karena sumber utang sektor properti ini terutama dari dalam negeri dan Tiongkok dipastikan mencari cara untuk melokalisir krisis tersebut kendati pemulihannya akan butuh waktu bertahun-tahun," katanya.

Indonesia, kata Aloysius, perlu mengantisipasi melemahnya ekspor ke Tiongkok akibat keraguan dan kekhawatiran konsumen Tiongkok untuk merealisasikan belanja mereka. "Seberapa lama kekhawatiran ini berlanjut, akan tergantung langkah-langkah pemerintah Tiongkok," tandas Aloysius.

Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Internasional Semen Indonesia (UISI), Surabaya, Leo Herlambang, memperkirakan Indonesia akan merasakan sejumlah dampak dari likuidasi Evergrande, sedangkan pada pasar modal di Indonesia akan semakin dalam beberapa hari ke depan.

"Jika dampaknya seperti yang dikatakan masif dan merusak, tentunya hari ini sudah akan terasa di market. Namun untuk melihat sejauh mana, mari kita tunggu dalam tiga hari akan semakin jelas.

Bagi Indonesia, pengaruhnya diperkirakan pada kurs mata uang dan surat-surat berharga. "Kalau untuk bursa, saat ini yang sudah merasakan dampak adalah Hang Seng dan Shanghai Stock Exchange. Bursa Shanghai sudah turum 2,3 persen," tegasnya.


Redaktur : Vitto Budi
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top