Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Antisipasi Krisis - Trump Resmi Teken Tarif Impor Baja dan Aluminium

Krisis Keuangan Pasti Datang, Hanya soal Waktu

Foto : ISTIMEWA
A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah kalangan sepakat dengan pernyataan pendiri Microsoft, Bill Gates, yang memprediksi bahwa krisis keuangan seperti pada 2008 bakal datang lagi dalam waktu dekat. Oleh karena itu, mereka mengingatkan agar pemerintah mewaspadai dan mengantisipasi munculnya krisis yang hanya soal waktu itu.

Sebab, karakter krisis keuangan kali ini dinilai berbeda dengan krisis 10 tahun silam. Pada krisis 2008, Indonesia masih tertolong dengan era dana murah akibat membanjirnya likuiditas global, menyusul kebijakan Amerika Serikat (AS) menggelontorkan dana hingga 3,7 triliun dollar AS dalam program quantitative easing (QE) jilid 1-3 pada 2009-2014.

Peneliti Prakarsa, Irvan Tengku Harja, mengatakan Indonesia patut mewaspadai dan mengantisipasi pernyataan miliarder dunia yang juga pelaku senior pasar global, Bill Gates dan juga Warren Buffet, tentang bakal munculnya kembali krisis keuangan seperti pada 2008 itu. "Sebab, kini program QE tidak bisa dilakukan lagi.

Bahkan, kebijakan AS saat ini justru berdampak pada keringnya likuiditas global yang mengakhiri era dana murah," ungkap dia, ketika dihubungi, Jumat (9/3). Menurut dia, ada dua kebijakan AS yang membuat era dana murah berakhir. Pertama, kebijakan normalisasi neraca Bank Sentral AS yang akan menarik pulang dana 3,7 triliun dollar dari program QE.

Kedua, kebijakan perpajakan Presiden Donald Trump akan memaksa korporasi membawa pulang dana sekitar dua triliun dollar AS yang biasa ditempatkan di pasar global. "Jadi, bagi Indonesia bila krisis keuangan datang lagi, dampaknya akan lebih membahayakan," imbuh Irvan. Oleh karena itu, kata dia, pemerintah sebaiknya tidak berdalih lagi bahwa perekonomian Indonesia masih lebih sehat, dengan indikator rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) yang lebih rendah dari AS, Tiongkok, Jepang, maupun Korea. "

Indonesia bisa cetak rupiah, tapi tidak bisa cetak dollar seperti AS. Maka rasio utang tidak bisa tak bisa dibandingkan mereka. Mereka negara kreditur, sedangkan kita negara debitur, pengutang. Bagaimana kita akan hadapi krisis itu," tukas Irvan. Bahkan, AS yang merupakan negara industri dan kaya raya masih merasa tidak tahan dengan defisit perdagangan, sehingga Trump menerapkan tarif impor dengan alasan keamanan negara untuk melindungi industri dalam negeri.

"Trump 100 persen benar. Jika defisit terus bisa jebol. Jika AS yang negara industri saja tidak tahan, bagaimana kita yang tidak punya industri kuat, hanya jualan komoditas primer bisa bertahan dengan defisit," papar Irvan.

Tren defisit perdagangan Indonesia terus berlanjut. Bank Indonesia (BI) memperkirakan pada Februari 2018, neraca perdagangan akan defisit 230 juta dollar AS, setelah pada Januari defisit 670 juta dollar AS. (lihat infografis) Irvan mengharapkan pemerintah segera mempersiapkan diri untuk mengantisipasi krisis keuangan global dengan membenahi struktur industri nasional sehingga mampu memperkuat produk dalam negeri yang berdaya saing tinggi. "Pemerintah mesti membangun kemandirian nasional, segera mengurangi kegiatan impor yang mematikan industri nasional dan menguras devisa."

Perang Dagang

Sementara itu, ekonom Indef, Eko Listiyanto, mengungkapkan perang dagang tak terhindarkan lagi ketika Presiden Trump menandatangani kenaikan bea tarif impor baja dan aluminium. Sebab, beberapa negara sudah berancang- ancang membalas kebijakan Trump tersebut. "Tapi, buat Indonesia agak sulit karena tidak bisa mandiri menyediakan barang-barang kebutuhan masyarakat.

Jadi, ketika banyak negara melindungi keamanan nasional, Indonesia agak susah," katanya. Presiden Donald Trump, Kamis, secara resmi menandatangani bea tarif impor baja dan aluminium di tengah meningkatnya penolakan dari kelompok bisnis dan mitra dagang di seluruh dunia. Amerika akan mengenakan tarif 25 persen untuk baja impor dan 10 persen untuk aluminium.

Kebijakan ini mulai berlaku dalam 15 hari, kemudian dengan pengecualian awal untuk Kanada dan Meksiko, sambil menunggu renegosiasi Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA). Menurut Eko, AS berani memproteksi diri karena sudah bertekad ingin membangun infrastruktur dan melindungi industri domestiknya.

AFP/SB/YK/ahm/WP

Penulis : AFP, Selocahyo Basoeki Utomo S, Eko S

Komentar

Komentar
()

Top