Krisis Iklim Reduksi PDB Indonesia 0,5 Persen pada 2023
Menkeu, Sri Mulyani
Foto: ANTARA/MUHAMMAD ADIMAJAJAKARTA - Ancaman perubahan iklim semakin nyata, terutama pada kehidupan sosial dan ekonomi. Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati menyatakan ancaman perubahan iklim bahkan lebih parah dibanding pandemi Covid-19.
Emisi gas rumah kaca, kata Menkeu telah meningkat 4,3 persen setiap tahunnya selama 2010 hingga 2018, dan telah menyebabkan permukaan air laut di Indonesia meningkat rata-rata 0,8 hingga 1,2 sentimeter (cm) per tahun.
"Beberapa indikator perubahan iklim seperti emisi gas rumah kaca, rata-rata suhu permukaan dan tinggi muka air laut menunjukkan urgensi untuk segera memulai perubahan iklim," kata Menkeu.
Dia memperkirakan potensi kerugian ekonomi Indonesia akibat perubahan iklim dapat mencapai 0,62 hingga 3,45 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun 2030.
"Kerugian ekonomi akibat krisis iklim ini akan mencapai 0,5 persen dari PDB pada tahun depan (2023), dan dampaknya terhadap manusia dan ekosistem di seluruh dunia akan lebih signifikan," kata Menkeu dalam sambutannya pada HSBC Summit 2022 Powering The Trantition to Net Zero di Jakarta, Rabu (14/9).
Atas ancaman tersebut, dia pun mengajak semua pihak mengurangi emisi karbon dalam rangka mencegah terjadinya perubahan iklim di masa depan.
"Semua pihak harus membantu komitmen pemerintah Indonesia dan negara-negara di dunia dalam upaya mengurangi emisi karbon," katanya.
Melalui Paris Agreement, Pemerintah jelasnya telah berkomitmen mengurangi emisi karbon sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030.
"Agar kita bisa mencapai implementasi strategi ambisius jangka panjang Indonesia untuk rendah karbon dan tahan iklim, kita pasti membutuhkan dukungan secara nyata dan tidak bisa hanya mengandalkan sumber daya pemerintah sendiri," kata Menkeu.
Pemerintah tambahnya telah mengalokasikan anggaran 89,6 triliun rupiah atau 3,6 persen dari total belanja pemerintah dalam aksi mitigasi dan adaptasi menghadapi perubahan iklim setiap tahunnya.
Dukung Transisi
Sementara itu, Presiden Direktur HSBC Indonesia, Francois de Maricourt mendukung Indonesia dalam melakukan transisi energi serta pembangunan berkelanjutan.
Dia mengakui, dalam mempercepat transisi membutuhkan modal besar. Berdasarkan data dari Nationally Determined Contribution, Indonesia memerlukan pembiayaan sebesar 4.520 triliun rupiah untuk melakukan aksi mitigasi dalam peta jalan NDC. Tentunya dana sebesar tersebut tidak semuanya bisa dipenuhi oleh APBN.
Menurut Francois, perlu ada kolaborasi antara institusi keuangan swasta dan juga negara serta juga aliansi keuangan global seperti Glasgow Financial Alliance for Net Zero (GFANZ).
Transisi pembiayaan itu harus dipimpin Pemerintah yang difasilitasi bank dan diadopsi oleh perusahaan besar dan juga kecil.
"Sebagai bank yang mempunyai banyak cabang di Asia, HSBC berkomitmen untuk mendukung semua nasabah kami untuk melakukan transisi ke energi yang lebih bersih, bekerja sama dengan regulator dan juga industri pada banyak sektor untuk mempercepat transisi pembiayaan dan mendukung pembangunan berkelanjutan," kata Francois.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Hari Kamis KPU tetapkan Gubernur
- 2 the Straits Times Memprediksi Presiden Prabowo Bersama Sembilan Presiden dan PM Negara Lain Jadi Pemimpin Dunia Berpengaruh
- 3 Kebijakan PPN 12 Persen Masih Jadi Polemik, DPR Segera Panggil Menkeu
- 4 Masuki Masa Pensiun, Kepala BSSN dan Kepala Basarna Diganti
- 5 Gara-gara Faktor Inilah, Pelantikan Kepala Daerah Terpilih di Provinsi Bali Diundur
Berita Terkini
- PLN Pamekasan Beri Subsidi pada Ratusan Ribu Pelanggan
- Siswa di Makassar diberi hadiah habiskan makanan program MBG
- Kecelakaan bus pariwisata di Batu sebabkan empat orang tewas
- Pemkab Bekasi diminta reaktivasi akses kesehatan warga miskin
- DJP Kalselteng Capai Target Penerimaan Pajak Empat Tahun Berturut-turut