Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

KPNas: Pemulung dan Warga Sekitar TPA Rentan Terkena Penyakit, Siapa Bertanggung Jawab?

Foto : Koran Jakarta/KPNas

Sejumlah organisasi mahasiswa dan pemuda memeberikan edukasi kesehatan kepada pemulung dan warga di sekitar TPST Bantargebang. Kelompok masyarakat ini rentan terkena berbagai penyakit.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Sejumlah organisasi mahasiswa dan pemuda mengunjungi dan melakukan pemeriksaan kesehatan pemulung dan warga yang tinggal di sekitar TPST Bantargebang. Kelompok masyarakat ini rentan terkena berbagai penyakit.

Pada 25 Januari lalu, Centre for Indonesian Medical Student' Activities (CIMSA) dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) melakukan observasi dan pembuatan video berkaitan dengan aktivitas dan kesehatan pemulung.

Sejumlah pemulung anak, perempuan dan pedagang di zona III diwawancara. Selanjutnya wawancara pengepul sampah tak jauh dari kantor TPST Bantargebang. Pengepul ini dulunya pemulung. Kini hidupnya makin mapan.

Menurut Ketua Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) yang juga Ketua Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup dan Persampahan Indonesia (YPLHPI), Bagong Suyoto, pemulung dan orang miskin tidak mudah mendapatkan hak asasi dasar, seperti hak kesehatan, hak pangan, hak pendidikan, dan lainnya.

"Meski sudah diakui oleh PBB dalam Deklarasi HAM, UUD 1945, UU HAM. Semua harus diperjuangkan dengan keras agar pengambil keputusan dan pemerintah mendengar, mengimplementasikan, melayani, memenuhi dan melindunginya," kata Bagong dalam keterangan tertulisnya, Selasa (7/2).

Sampai saat ini, kata Bagong, pemulung hidup di gubuk petak yang dibangun dari bahan-bahan bekas. Mereka mengandalkan material yang ada di sekitar. Atapnya dari terpal bekas, seng bekas, atau material lain yang ditindih dengan ban bekas agar tidak disapu angin. Lantainya plastik atau karpet bekas yang dipungut dari TPST/TPA.

"Para pemulung tinggal dalam pemukiman tercemar sampah. Yang menyedihkan, mereka tinggal di lokasi rawan banjir. Bahkan sejumlah gubuk pemulung nyaris ditelan air hujan bercampur leachate (air dari timbunan sampah yang terkena hujan,red)," katanya.

Bagong melanjutkan, hidup pemulung di pemukiman kumuh dengan sanitasi buruk dan lingkungan tercemar, kekurangan pangan, air bersih, udara bersih dan layanan kesehatan merupakan musibah kemanusiaan.

"Akarnya adalah kemiskinan absolut dan struktural. Biasanya antara kemiskinan dan pencemaran lingkungan memiliki kaitan erat. Setidaknya kaum miskin hidup dalam pemukiman kurang sehat, lebih-lebih mereka yang tinggal di pinggiran kota dan kisaran TPA sampah," paparnya.

Berdasarkan temuan lapangan di kawasan TPST Bantargebang dan TPA Sumurbatu dan sekitar di antaranya, pemulung bekerja di pembuangan sampah tempat tercemar, sebagian pemulung dan tukang sortir bergelut dengan limbah medis dan limbah B3, pendidikan rendah, buta hukum dan HAM, hidup dalam kemiskinan laten dan structural, pendapatan kecil, hidupnya tergantung pada bos lapak, terjerat rente, pemukiman kumuh, sanitasi buruk, dan lingkungan tercemar.

Gubuk pemulung rentan terbakar, ada yang tak punya identitas; tanpa air bersih; MCK seadanya, ketahanan pangan ringkih, mengais sisa-sisa makanan di TPST/TPA, kesehatan terancam, belum punya BPJS kesehatan, sulit berobat ke rumah sakit, jika mati cari tempat pemakaman sulit, anak-anak ikut mengais sampah, tempat bermain rawan dan tercemar.

Bagong menjelaskan, penyakit di Sumurbatu antara lain, pertama, infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berasal dari udara relatif kotor dari TPST/TPA. Kedua, alergi kulit karena kondisi air, kebersihan, lingkungan rumah. Ketiga, infeksi kulit seperti kutu air, menyerang saat musim hujan dan lingkungan sampah yang tergenang air.

Kempat, infeksi paru-paru, secara spesifik merupakan TBC yang dibuktikan dengan hasil rontgen. Gejalanya batuk, batuk darah, berat badan turun, status gizi rendah. Kelima, mencret (muntaber) dialami saat musim hujan, makan atau air minum kotor.

"Ada 20 penyakit lagi di UPTD Bantargebang pada 2017 yang menyerang para pemulung dan warga sekitar TPST. Bila ditidak ditangani segera secara medis akan semakin akut dan akibatnya fatal, bisa menyebabkan kematian," kata Bagong.

"Banyak pemulung tidak cepat periksa ke dokter dengan berbagai alasan. Mereka cukup minum obat warung. Jika sudah parah baru ke dokter atau rumah sakit," katanya.

Upaya yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi berkaitan dengan perlindungan dan pemulihan lingkungan hidup serta kesehatan semakin tampak dan dirasakan manfaaatnya belakangan ini.

Diantaranya pembangunan Puskesmas Rawat Inap di 4 kelurahan: Cikiwul, Ciketingudik, Sumurbatu dan Bantargebang) dan Rumah Sakit; pemberian Kartu BPJS Ketenagakerjaan/Kesehatan bagi 4.000 pemulung; santunan kecelakaan parah di tempat kerja (TPA/TPST); kompensasi Rp400.000/KK/bln untuk 24.000 KK; penyediaan mobil ambulans di 4 kelurahan dan kantor TPST; perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (operasional IPAS, sumur pantau, konservasi kali Ciketing, Kali Asem, Kali Pedurenan, penghijauan, dst.); pembangunan IPAS Induk di sebelah utara TPA Sumurbatu.

Namun, masih ada pemulung yang belum punya identitas (KTP/KPK), BPJS, hak kesehatan belum terpenuhi secara layak. Sebab hak yang paling dasar itu berkaitan dengan kecukupan pangan, sandang, papan, pendidikan, pelayanan air bersih dan hajat hidup lainnya.

"Hampir sebagian besar pemulung hidup miskin dan kesehatannya terancam karena tempat kerja dan pemukiman tercemar berat. Siapa yang bisa melepas jerat belenggu pemulung itu?" kata Bagong.


Redaktur : Lili Lestari
Penulis : Lili Lestari

Komentar

Komentar
()

Top