Nasional Mondial Ekonomi Daerah Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Kota Pascapandemi Akan Lebih Pintar

A   A   A   Pengaturan Font

Selama masa penguncian (lockdown) diikuti karantina mandiri, pelaksanaan normal baru membuat jalanan menjadi sepi. Keadaan ini membuat orang-orang seperti merindukan berkumpul nongkrong di kafe, pergi ke toko dan sejenisnya. Namun hal positif yang dapat diraih, hilangnya kebisingan, polusi, dan kemacetan.

Saat kota mulai bangun dari antropause atau manusia istirahat, banyak pertanyaan yang diajukan tentang cara masyarakat manusia dapat memperbaikinya secara lebih permanen. Menciptakan kota yang lebih pintar untuk menyesuaikan dengan kondisi perlu dipikirkan.

Prof Phil James mengukur apa yang disebutnya "Heartbeat of Newcastle "atau detak jantung Newcastle dari observatorium kota. Dia telah melihat perubahan luar biasa dalam beberapa bulan terakhir. "Itu dramatis. Jumlah pejalan kaki turun 95 persen. Lalu lintas turun menjadi sekitar 40 persen dari tingkat normal," katanya.

Data yang disampaikan observatorium tersaji secara seketika (real time). "Dewan kota dapat melihat ketika perubahan nasional diumumkan cara perubahan itu terjadi secara real-time di kota. Ketika taman pusat dibuka, kami melihat peningkatan lalu lintas orang pergi membeli macam-macam, termasuk tanaman pot," ungkapnya kepada BBC.

James berharap data real time dari observatorium diteruskan kepada pihak terkait guna mendukung perubahan yang lebih permanen, pascapandemi, seperti mengatasi masalah yang mendesak semacam polusi udara.

Ketika lalu lintas turun 50 pesen dia melihat terjadi penurunan nitrogen dioksida (N02) sebesar 25 persen. Sayangnya, ketika lalu lintas kembali normal, tingkat polusi naik ke angka 80 persen. Maka, pihak berwenang perlu berupaya mengurangi polusi karbon.

Menurut Robin North, pendiri Immense, sebuah perusahaan yang menawarkan simulasi kota-kota masa depan, kota-kota pascapandemi juga perlu mempertimbangkan apakah mereka ingin melakukan perubahan transportasi yang lebih permanen atau tidak. Misalnya, melalui kendaraan listrik dan sepeda.

"Ada peluang besar untuk mendesain ulang sistem transportasi yang disebabkan pandemi dan respons terhadapnya. Jika ingin mengambil keuntungan, kita harus dapat merencanakan dan berpikir ke depan," katanya.

Kota 15 Menit

Kota semacam Paris, misalnya, sedang memikirkan yang akan dilakukan ketika pandemi berakhir nantinya. Paris sedang bereksperimen dengan gagasan kota 15 menit dengan pusat mini yang terdesentralisasi di mana semua yang dibutuhkan berada dalam jarak 15 menit berjalan kaki atau naik sepeda.

Melalui kampanye "Ville du quart d'heure" atau kota semperempat jam yang digaungkan Wali Kota Anne Hidalgo, diharapkan dapat mengubah Paris menjadi kumpulan lingkungan yang bertransformasikan secara ekologis. Kota semacam ini tentu saja didukung dengan aktivitas bekerja dari rumah yang saat pandemi telah berjalan.

Konsep "Ville du quart d'heure" tidak perlu kantor besar, mahal, dan berlokasi di pusat kota. "Momen gedung pencakar langit mungkin sudah berakhir. Sebagai akibat pandemi, perencana kota harus memikirkan kembali ide ruang," kata Richard Sennett, pakar perencanaan kota. Dia membantu mendesain ulang Kota New York pada 1980-an. Dia saat ini Ketua Dewan Inisiatif Perkotaan di PBB.

Lebih jauh Sennett mengatakan apa yang dibangun sekarang adalah struktur tetap dan tidak bergerak. Hal itu hanya melayani satu tujuan. Gedung yang dibutuhkan harus fleksibel agar dapat beradaptasi dengan kebutuhan jangka pendek untuk jarak sosial dengan perubahan ekonomi. Dengan begitu, kantor perlu menjadi outlet ritel atau bahkan rumah.

Bagi Sennett pelajaran terbesar dari pandemic, kota harus menjadi tempat yang ramah. Dia mengatakan itu, bukan hanya karena kehilangan minum bir di bar kota, tetapi juga karena telah melihat teknologi bekerja lebih baik kalau digunakan untuk membantu orang berkomunikasi. hay/G-1*

Penulis : Haryo Brono

Komentar

Komentar
()

Top