
Koperasi Harus Menjadi Instrumen Demokratisasi Pangan di Desa
Pekerja memanen padi dengan mesin combine harvester di persawahan Desa Tenggeles, Mejobo, Kudus, Jawa Tengah, Kamis (6/3). Bulog mulai menyerap gabah petani di Kabupaten Kudus dengan harga 6.500 rupiah per kilogram untuk Gabah Kering Panen (GKP)
Foto: ANTARA/Yusuf NugrohoJAKARTA - Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk 70 ribu Koperasi Desa Merah Putih sebagai langkah penting untuk menjaga kesejahteraan petani. Koperasi tersebut kelak akan menjaga harga gabah petani dan memastikan terserap sesuai dengan harga yang ditetapkan Pemerintah.
Hal itu disampaikan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi saat meninjau harga pangan bersama Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan dan Menteri Perdagangan Budi Santoso di Pasar Johar Baru, Jakarta.
“Untuk yang di daerah perdesaan, Bapak Presiden sudah menyampaikan akan membentuk 70 ribu Koperasi Desa Merah Putih, itu juga berita baik,” kata Arief.
Langkah itu kata Arief mendukung petani agar harga gabah tetap stabil karena koperasi desa menyerap hasil panen petani. Adapun, rencana pembentukan koperasi itu sudah dalam tahap persiapan.
Pemerintah sendiri telah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk Gabah Kering Giling (GKG) untuk masa panen raya 2025 sebesar 6.500 rupiah per kilogram (kg), efektif berlaku sejak 15 Januari 2025.
Kementerian Koperasi (Kemenkop) siap mendukung pembentukan 70 ribu Koperasi Desa Merah Putih sebagai upaya untuk memperkuat ekonomi desa serta menuntaskan berbagai permasalahan yang terjadi di pedesaan.
Menteri Koperasi (Menkop) Budi Arie Setiadi mengatakan koperasi itu akan
dikembangkan melalui tiga pendekatan utama yang menyasar 64 ribu kelompok tani yang siap bermigrasi menjadi koperasi distribusi pupuk bersubsidi.
“Jadi ada tiga model. Pertama, membangun koperasi baru. Kedua, merevitalisasi koperasi yang sudah ada. Ketiga, membangun dan mengembangkan,” jelas Budi Arie.
Selain memperkuat ekonomi desa, koperasi ini diharapkan dapat memutus mata rantai distribusi barang yang selama ini merugikan produsen dan konsumen.
Guru Besar bidang Sosiologi Ekonomi, Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, mengatakan rencana pembentukan koperasi untuk memastikan kelayakan harga gabah tersebut sangat positif. Namun demikian, Pemerintah harus memastikan keberadaan koperasi harus bebas dari upaya penyalahgunaan terutama pengurus yang memperkaya diri sendiri.
“Pembentukan badan usaha ini harus diisi oleh orang-orang yang punya kredibilitas serta paham dan dapat memenuhi aspirasi dan kebutuhan pelaku pertanian. Pengurusnya pun harus penduduk lokal yang memiliki dedikasi,” kata Bagong.
Kaidah Demokrasi Ekonomi
Dari Yogyakarta, peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa mengatakan, komitmen Presiden Prabowo untuk memajukan dan menjadikan koperasi sebagai instrumen demokratisasi pangan di desa sangat baik, selama dijalankan dengan mengikuti prinsip-prinsip dan kaidah demokrasi ekonomi dan koperasi.
Koperasi katanya mesti dibangun dari bawah, sebagai gerakan rakyat untuk menolong diri sendiri (self help), sekaligus menjadi gerakan bersama multi pihak yang terkait dengan pertanian dan pangan di pedesaan, termasuk perguruan tinggi.
“Selama ini memang sudah banyak koperasi tani yang sudah berjalan tetapi belum maksimal. Pemerintah bisa meniru koperasi di negara-negara Skandinavia seperti Denmark, dan Jepang yang sudah berjalan baik,” kata Awan.
Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi dalam waktu terpisah mengatakan koperasi tani yang pernah jaya di era Orde Baru dan merupakan gagasan dari Prof. Sumitro sudah saatnya dihidupkan kembali.
“Saat ini sangat relevan dikembalikan semangat koperasi tani, bahkan di negara-negara maju koperasi pertanian tetap eksis untuk menjadi alat penyangga ekonomi kolektif petani dengan pasar,” kata Hafidz.
Pemerintah katanya hanya perlu menyelesaikan masalah mendasar koperasi yang ada seperti ada yang hanya papan nama saja, tetapi tidak ada kegiatan.
“Kebanyakan koperasi-koperasi di desa yang ada saat ini tidak berfungsi dengan baik, bahkan banyak yang praktiknya justru berubah jadi bank plecit atau bank harian dengan bunga tinggi, iming-imingnya kemudahan akses, tetapi tidak ada manajemen kolektif seperti pembagian sisa hasil usaha (SHU) dan pengelolaan manajemen berbasis Rapat Anggota Tahunan,” kata Hafidz.
Ide yang bagus itu katanya harus dibarengi dengan pendampingan manajemen di level komunitas, agar sistemnya benar-benar jalan dan manajemennya juga dikelola dengan baik sehingga koperasi bisa menjadi akses untuk pembiayaan dari perbankan serta bisa berkolaborasi dengan sektor bisnis untuk mengembangkan kolaborasi supply chains.
“Dengan demikian, pertanian menjadi sektor prospektif yang dilirik pembiayaan perbankan dan memberikan nilai tambah tinggi bagi petani karena produktifitasnya tinggi dan harganya kompetitif,”ungkap Hafidz.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 RI-Jepang Perluas Kerja Sama di Bidang “Startup” dan EBT
- 2 Jadwal Liga 1 Indonesia Pekan ke-26: Jamu Persik, Persib Berpeluang Jaga Jarak dari Dewa United
- 3 Bukan Penentu Kelulusan, Mendikdasmen: TKA Pengganti UN Tidak Wajib
- 4 Tiongkok Mengeklaim Telah Menemukan Sumber Energi “Tak Terbatas”
- 5 DPR dan Jampidsus Kejagung Gelar Rapat Bahas Korupsi Pertamina