Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

KontraS Sebut Korban Penganiayaan oleh Polisi Tuai Intimidasi dan Teror

Foto : LBH Marimoi.

Yolius Yatu, mahasiswa Universitas Halmahera saat menjalani visum di RS Bhayangkara Polres Kota Ternate, Maluku Utara.

A   A   A   Pengaturan Font

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras segala bentuk intimidasi dan teror terhadap Yolius Yatu, mahasiswa Universitas Halmahera (UNIERA) yang merupakan korban dugaan tindak penyiksaan aparat kepolisian Polres Halmahera Utara.

Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Marimoi, KontraS menuturkan Yolius dan orang tuanya kerap mendapatkan sederet tindak intimidasi usai melaporkan tindak penganiayaan yang menimpa dirinya.

Diketahui, Yolius Yatu diduga dianiaya oknum polisi Halmahera Utara karena mengunggah di aplikasi perpesanan, WhatsApp. Kala itu Yolius mengunggah foto anggota polisi memegang anjing pelacak dalam mengawal aksi BBM pada 19 September lalu, yang disertai caption, "tara (tidak) berani tangan dengan tangan baru pakai anjing pelacak."

Sehari setelahnya, Yolius disambangi 4 pria yang kemudian memukul wajah korban dan membawa paksa korban ke Polres Halmahera Utara tanpa surat penangkapan. Di sana, korban kembali mendapatkan sejumlah penganiayaan baik fisik dan sejumlah ancaman.

Adapun KontraS menuturkan korban mulai menghadapi rangkaian teror dan intimidasi terhadap korban bermula pada tanggal 27 September 2022. Saat itu, korban menerima sejumlah panggilan dari dua nomor tak dikenal. Nomor pertama yang menghubungi korban mengaku dari institusi kepolisian, berprofesi sebagai pengacara, dan selaku Sultan Loloda. Dalam percakapan melalui saluran telepon dengan korban, orang tidak dikenal tersebut mengintimidasi korban untuk segera mencabut laporan pidana yang telah dibuat.

"Bahkan, korban sempat dihina dengan kata "orang bodoh" karena tidak mau difasilitasi untuk menyelesaikan masalah melalui jalan damai. Lalu, nomor kedua yang menghubungi korban mengaku dari anggota Polres Halmahera Utara dan menjelaskan mengenai proses penyelesaian perkara melalui mekanisme restorative justice," bunyi pernyataan resmi KontraS pada Senin (24/10).

Tak hanya dari pihak kepolisian, korban juga mendapatkan intimidasi dari tiga orang yang mengaku dari pejabat Kabupaten Halmahera Barat pada 28 September 2022. Ketiganya mendatangi rumah orang tua korban di Laba Besar untuk menawarkan penyelesaian kasus dengan jalan kekeluargaan. Namun, orang tua korban dengan tegas menolak tawaran damai.

Selanjutnya, pada hari Kamis 6 Oktober 2022, orang tua korban dijemput paksa oleh 2 orang yang tidak dikenal mengaku sebagai pegawai Kecamatan Kao dan orang tua dari Fidi K, yang merupakan satu terduga pelaku penyiksaan. Orang tua korban kembali dipaksa untuk menyelesaikan kasus melalui jalan damai;

Sehari berselang, tepatnya pada hari Jumat 7 Oktober 2022, KontraS menuturkan setidak-tidaknya enam kali kediaman korban dikunjungi oleh sejumlah orang yang mengaku sebagai keluarga dari pelaku.

"Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan apabila anak-anak mereka dipecat dari kepolisian, maka keluarga besar pelaku tidak akan tinggal diam, dan mengancam keselamatan korban," lanjut KontraS.

Terakhir, pada hari Sabtu 8 Oktober 2022, sekelompok orang kembali mendatangi rumah korban dan mengancam bahwa korban dapat dilaporkan balik oleh Kepolisian dan keluarga pelaku, dengan tuduhan pencemaran nama baik apabila pelaporan pidana korban tidak segera dicabut. Selain itu, mereka juga menyampaikan ancaman berupa adanya resiko drop out dari kampus bilamana korban terus melanjutkan laporan pidana.

KontraS menilai berbagai rangkaian tindakan intimidasi dapat menimbulkan rasa trauma mendalam bagi korban dan keluarganya.

"Disamping itu, kami menilai bahwa rentetan aksi teror tersebut semakin menguatkan temuan bahwa upaya-upaya semacam ini merupakan bentuk desakan untuk menyelesaikan peristiwa pidana melalui jalan damai atau kekeluargaan. Jalan penyelesaian semacam ini tentu hanya akan menciptakan impunitas dan membuat pelaku bebas dari jerat pertanggungjawaban hukum," ujar KontraS.

Tak hanya itu, KontraS juga menyayangkan proses hukum yang berjalan lambat dan tidak ada kemajuan signifikan atas tindak lanjut dari laporan pidana yang diajukan korban.

"Kami juga menyoroti proses hukum yang sedang berjalan terkesan sangat lamban. Sejak pelaporan dibuat pada 27 September 2022 lalu, hingga saat ini kami belum melihat perkembangan yang signifikan atas tindak lanjut dari laporan pidana tersebut. Padahal, kami menilai melalui berbagai alat bukti yang ada, terdapat bukti yang cukup untuk menindaklanjuti pelaporan dengan segera menetapkan para terduga pelaku sebagai tersangka dan melimpahkannya ke pihak Kejaksaan untuk dapat segera disidangkan," jelas Kontras.

Atas dasar itu Kontras mendesak Kapolda Maluku Utara segera memerintahkan jajarannya untuk menyelesaikan proses penyidikan terhadap terduga pelaku dan kemudian dilimpahkan ke pihak Kejaksaan agar dapat segera dituntut dan diadili melalui mekanisme peradilan pidana.

KontraS juga mendesak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), untuk proaktif melakukan upaya perlindungan agar terjamin keselamatan dan terjaga keamanan korban, keluarga korban, hingga para saksi dari berbagai bentuk serangan, intimidasi, dan teror selama proses hukum berjalan baik secara fisik maupun psikis sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban.


Redaktur : Fandi
Penulis : Suliana

Komentar

Komentar
()

Top