Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Komunikasi Politik yang Ramah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Moh Nurul Huda

Kejutan-kejutan perhelatan Pilpres tahun 2019 sangat menarik untuk diamati. Tak disangka-sangka, kedua capres memilih nama-nama yang jauh dari prediksi masyarakat. Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno, dua nama yang saat ini memiliki kapabilitas dan popularitas yang memadai di hadapan politik dan publik. Tentu ini akan menjadi pertarungan menarik antara nasionalis-religius melawan militer-saudagar.

Namun di luar dari kenyataan itu, pascadeklarasi cawapres kedua pasangan, ternyata tak memberikan kabar baik di ranah publik. Sebaliknya, kenyataan itu menimbulkan ironi yang justru menjadi perbincangan panas di ranah masyarakat seperti lewat media sosial. Bahkan digandengnya Ma'ruf Amin sebagai cawapres petahana juga memberikan dampak yang serius di dunia perpolitikan.

Tak hanya petahana yang mendapat bulian. Kelompok Prabowo Subianto juga mendapat tekanan karena dianggap pernah melakukan penculikan para aktivis pada tahun 1998 era rezim Soeharto. Terakhir, Sandiaga Uno juga mendapat tudingan keras karena diduga memberikan mahar politik ke PAN dan PKS, masing-maing sebesar 500 miliar rupiah.

Terlepas dari benar atau tidaknya kabar-kabar buruk tersebut, timbulnya gejala-gejala akut setelah diketahuinya para capres dan cawapres adalah problematika lama yang tak kunjung mereda. Sebab lewat beragam sindiran-sindiran yang telah terpampang di dunia virtual itu, pada hakikatnya merupakan wujud komunikasi politik untuk mengangkat dan/atau menjatuhkan capres-cawapres yang akan bertarung.

Wilbur Schram (1950-1970) menjelaskan Hypodermic needle theory (teori jarum suntik) yang menyatakan, seluruh pesan politik yang disampaikan kepada masyarakat melalui media pasti mempengaruhi dan memberikan efek nyata kepada pembacanya. Maka, media-media sosial itulah secara seksama digunakan sebagai wahana untuk mempengaruhi khalayak.

Masyarakat berharap terwujudnya pemilu yang berintegritas, jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia (Annan: 2012). Terwujudnya pemilu berintegritas dalam operasional sistem demokrasi adalah cita-cita setiap bangsa. Namun, jika awal dari proses pemilu sudah dimulai dengan praktik buli-membuli seperti demikian, harapan pemilu berintegritas tentu akan sulit diwujudkan.

Memang harus diakui, masyarakat juga perlu mengetahui beragam kepribadian capres dan cawapres. Hanya, jika sikap pemberitahuan hanya menunjukkan sisi keburukan, tanpa memperkenalkan kisah heroik yang telah dilakukan para petarung, ini pelanggaran yang mesti dihindari. Karena itulah, pengetahuan tentang sikap keseluruhan termasuk track record kandidat sangat penting.

Berangkat dari kenyataan itulah, dinamika komunikasi politik di Indonesia, dewasa ini sangat memerlukan pembaruan-pembaruan agar tak terkesan saling menjatuhkan. Tujuannya, agar masyarakat bisa kembali memahami hasrat perdamaian politik yang dibangun sedari awal. Bukan malah menjadi wahana cakar-cakaran seperti yang terpampang di media sosial.

filsof Yunani, Plato, mengatakan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut adalah sarana untuk mengembangkan kesadaran kemanusiaan guna menyampaikan kebenaran dan keyakinan positif. Karena itulah, populasi yang senada dengan kebenaran dan hakikat kemanusian perlu disalurkan, agar komunikasi politik tak cenderung jatuh-menjatuhkan.

Mengkhawatirkan

Terlepas dari itu, komunikasi politik yang telah terjadi di kancah politik nasional memang terbilang sangat mengkhawatirkan. Bahkan sudah berbanding terbalik dengan ungkapan Plato tadi. Nabi Muhammad juga pernah mengatakan, jika tidak mampu berbicara baik, lebih baik diam. Ali bin Abi Tholib juga mengingatkan bahaya terpelesetnya lisan. "Seseorang mati karena tersandung lidahnya. Seseorang tidak mati karena tersandung kakinya. Tersandung mulut akan menyebabkan pening kepala, sedang tersandung kaki akan sembuh secara perlahan."

Eki Baihaki (2017) menuturkan, bicara baik diperlukan untuk membangun perspektif positif negara terkait dengan karakter, identitas, dan nilai. Karena itulah, panggung politik yang hanya terkesan menampakkan kepalsuan-kepalsuan dan kegaduhan harus segera dihentikan.

Meminjam istilah Yudi Latif, saat ini bangsa sedang memasuki "peradaban dangkal" yang senang memuja yang terlihat luar biasa. Namun hakikatnya penuh dengan kepalsuan (Bicara Baik di Tahun Politik: 2017). Kepalsuan-kepalsuan yang terbangun dengan mewartakan keburukan setiap orang adalah kejahatan yang tak bisa dimaafkan. Sebab ini memberikan dampak kultural yang mau tidak mau hanya menjuruskan kepada perselisihan.

Pengalaman-pengalaman demokrasi yang telah dijalani pada dasarnya memberi beragam pelajaran berharga yang mesti direnungi bersama. Kampanye hitam, terbelahnya masyarakat, pertengkaran di arena media sosial dengan saling mencaci adalah bebrapa ironi yang mestinya tak terulang. Hanya, jika awal berdemokrasi masih saja diwarnai hujat menghujat seperti terjadi beberapa waktu lalu, akan menggores kesucian demokrasi.

Masyarakat awam yang tentu tidak tahu-menahu post komunikasi politik menjadi "korban politik" ketika memaknai hakikat kebenaran dan kepalsuan demikian. Ujungnya, mereka menjadi masyarakat yang salah memilih pemimpin, hingga terlunta-lunta lagi kehidupannya di lima tahun mendatang.

Sudah saatnya kita kembali pada hakikat perpolitikan yang santun, tanpa mengumbar narasi buram untuk saling menjatuhkan. Mengembalikan hakikat komunikasi politik yang dibangun politisi-politisi moralis seperti yang diharapkan Plato. Yakni sebagai moralis "pemintal kata-kata" yang tak mudah kehilangan inspirasi dan selalu membicarakan kebenaran serta kelayakan hidup di masa depan.


Penulis mahasiswa pascasarjana walisongo

Komentar

Komentar
()

Top